Cover Edisi 4 - April 2008

Kejujuran, Kebajikan yang Langka

Terlintas dalam benak saya sebuah pikiran yang sungguh menggugah nurani. Buah pikiranitu adalah: “Kebaikan yang terindah yang harus selalu saya katakan kepada orang lain adalah KEBENARAN”. Saya setuju! Saya kira banyak dari kita tidak akan membantah hal ini. Tetapi masalahnya sekarang ialah BAGAIMANA mengatakan kebenaran.sangat gampang dan menyenangkan bila kita mengatakan kepada seorang teman atau sahabat tentang kebenaran suatu berita yang membawa kepuasan dan ketenangan batin. Bila seorang pria mengatakan kepada seorang wanita yang disayangi bahwa dia sungguh cantik dan manis dalam pakaian yang sedang di pakainya, atau gaun yang di pakai itu cocok dan menarik perhatian. Banyangkan saja, apa yang terjadi….tampil percaya diri atau bisa salah tingkah…..! tida ada masalah!.
Coba katakan kepada seorang gadis yang wajahnya tidak ayu bahwa dia cantik….atau bahwa rambutnya bagi mayang terurai padahal keribo….atau kepada seorang lelaki yang tidak bisa menyanyi bahwa dia memiliki suara yang merdu. Ceritanya jadi lain. Apa benar? Bukankah pernyataan semacam itu justru menyakitkan hati atau membuat orang merasa diri minder atau jadi obyek olokan?
Sadar atau tidak, kita sering menyia-nyiakan banyak waktu dalam hidup ini dengan main topeng. Siapa mau menjadi pemain sandiwara topeng sepanjang hidup? Kita sering mengatakan sesuatu yang tidak kita maksudkan atau kita tidak mengatakan sesuatu yang kita maksudkan. Kita merasa jengkel atas perilaku seorang teman, tetapi kita tidak berani mengatakan secara jujur kepadanya. Kita mendiamkannya namun hati dan pikiran kita tetap terusik…. Kita lalu bersikap pura-pura mengatakan bahwa dia orang baik.
Seorang gadis tidak lagi mencintai pemuda yang sudah lama menjadi pacarnya. Dia takut menyakiti hatinya atau melukai perasaannya. Dia lalu bersikap dan bertingkah seakan-akan tidak ada yang mengganjal hatinya. Mengapa tidak terus terang? Seorang suami mempunyai hubungan intim dengan seorang wanita lain. Istrinya tidak mau peduli dengan perilaku sang suami. Suami tahu tetapi tidak sadar bahwa sang istri tidak peduli, lalu suminya tetap saja meneruskan perbuatannya seolah-olah tidak problem. Bayangkan dua orang dalam suasana konflik tetapi mereka berpura-pura baik dan mesra di hadapan orang lain ….. lagi-lagi tarian topeng di atas panggung kehidupan berlanjut. Mengapa tidak terus terang?
Sungguh benar, “kejujuran adalah suatu kebajikan yang langka”. Mengapa? Karena mempunyai seseorang yang jujur, terus terang dan keras bahkan kasar dapat menjadi suatu pengalaman traumatik. Saya kira jarang bahkan tidak seorangpun akan merasa senang bila terungkap suatu kebenaran yang tidak menyenangkan hatinya. Siapa senang mendengar hal-hal yang tidak menyenangkan tantang diri sendiri – khususnya yang dikatakan itu benar? Memang tidak gampang menerima kenyataan dan menyukai orang yang terus terang, jujur dan berani mengungkapkan hal-hal yang orang lain tidak suka dengar. Tentu saja, saya tidak menunjuk kepada orang yang mau membalas dendam. Maksudnya ialah bahwa orang yang menaruh perhatian ikhlas, sering mengalami kesulitan untuk menyatakan kebenaran, padahal ia melakukannya justru karena rasa tanggung jawab. Seorang memberi teguran kepada temannya karena pola tingkah lakunya yang tak karuan membangkitkan amarah teman, akibatnya ia kehilangan persahabatan. Padahal tujuannya sangat murni yaitu membantu temannya menjadi baik dan membangun persahabatan yang lebih dinamis.
Orang yang tidak puas dengan kadar cinta yang dicapainya, tetapi yang selalu berupaya dari hari ke hari untuk memperdalam cintanya adalah orang yang jujur terhadap diri sendiri dan sesama.
“Berikan aku Cuma seorang seperti ini, dan saya akan menjadi manusia yang kaya dalam hidup.”
Di atas landasan “Kejujuran”, kita membangun ”Kepercayaan” dan ”Kasih” adalah nafas kehidupan kita. (Rm. Thoby M Kraeng, SVD)

Perceraian atau Pembatalan

Yth. Harmoni

Dalam perkawinan katolik tidak ada perceraian, namun pada kenyataannya ada pembatalan pernikahan. Apa beda pembatalan dengan perceraian sebab jika dilihat kenyataannya keputusan tersebut memisahkan ikatan tersebut. Apa yang menjadi alasan tersebut dapat dibatalkan oleh gereja. Mohon penjelasannya.

Bp. Ignatius Bambang D – Surabaya.

Jawaban

Bapak Ignatius Bambang yang terkasih,

Terima kasih atas pertanyaan anda. Beberapa orang memang beranggapan bahwa
Perceraian dan pembatalan perkawinan sama saja, hanya soal istilah. Pandangan tersebut tentu tidak benar.
Kita tahu bahwa sifat dasar perkawinan katolik adalah unitas dan tak terceraikan.
Sekali menikah dengan sah, maka tak bisa terceraikan. Pernyataan pembatalan, bukanlah perceraian. Perceraian berarti mengakhiri kehidupan dari sebuah perkawinan yang sah. Sedangkan pernyataan pembatalan perkawinan, berarti sebuah deklarasi yang dikeluarkan oleh Tribunal Gerejawi yang menyatakan bahwa perkawinan tersebut tidak sah sejak awal, atau tidak pernah ada.
Alasan yang memungkinkan perkawinan dinyatakan tidak ada (caput nulitatis) meliputi: (1) tak terpenuhinya Forma Canonica, (2) adanya halangan yang mengagalkan dan belum atau tidak didispensasi, dan (3) cacat kesepakatan atau konsensus.
Cacat kesepakatan atau konsensus mencakup: (1) kurangnya pengetahuan tentang perkawinan, (2) kurangnya kemauan atau kehendak bebas untuk menikah, dan (3) kurangnya kemampuan karena gangguan emosional atau mental.
Ketiga hal yang tercakup dalam cacat kesepakatan itu masing-masing terbagi dalam tiga perincian berikut. Orang dikatakan memiliki cacat kesepakatan atau konsensus karena kurangnya pengetahuan apabila: (1) tidak tahu (tak memiliki pengetahuan) bahwa perkawinan adalah kesatuan tetap antara seorang pria dan seorang wanita yang terarah kepada kelahiran anak melalui hubungan seksual yang normal (kan. 1096). Orang demikian disebut ignorans. Kurangnya pengetahuan bisa juga terjadi apabila (2) orang memiliki pengertian yang salah atau keliru atas orang atau kualitas orang yang sungguh-sungguh dan secara langsung diharapkan (kan. 1097). Orang yang demikian biasa dikatakan mengalami error. Akhirnya kurangnya pengetahuan terjadi apabila (3) karena tipu muslihat, orang melakukan kesepakatan atau konsensus dan hal itu pada dasarnya sangat berat serta sangat mengganggu hidup perkawinan (kan. 1098). Orang yang demikian adalah kurban dari dolus provocatus.
Orang dinilai memiliki cacat kesepakatan atau konsensus karena kurangnya kemauan atau kehendak bebas apabila (1) kesepakatan atau konsensus yang diberikan bersyarat dengan menunjuk sesuatu yang belum ada atau belum terjadi (kan.1102).
Kurangnya kemauan atau kehendak bebas terjadi pula apabila (2) menyatakan kesepakatan atau konsensus tetapi dalam hatinya menghendaki secara positif hal yang berbeda atau sebaliknya (kan. 1101). Orang yang demikian biasanya di dalam hatinya menghendaki untuk: tidak setia, tidak memiliki keturunan, atau tidak menganggap kesatuan perkawinan itu seumur hidup. Hal ini biasa disebut simulatio atau exclusio.
Kurangnya kemauan atau kehendak bebas terjadi apabila (3) menyatakan kesepakatan atau konsensus karena paksaan dan ketakutan berat (kan. 1103). Hal ini biasanya disebut vis et metus gravis.
Orang dianggap memiliki cacat kesepakatan atau konsensus karena kurangnya kemampuan apabila (1) tidak memiliki kemampuan rasio atau akal budi yang memadai (kan.1095,n. 1). Biasanya hal ini tampak pada orang yang mengalami gangguan atau cacat mental. Kurangnya kemampuan terjadi pula pada orang yang (2) tidak memiliki kemampuan yang memadai untuk menilai hak dan kewajiban pokok perkawinan (kan. 1095, n.2). Hal ini pada umumnya tampak dalam ketidakmatangan atau ketidakdewasaan pribadi. Akhirnya, kurangnya kemampuan terjadi apabila orang (3) karena alasan psikhis tak mampu memenuhi kewajiban pokok perkawinan (kan. 1095, n. 3). Alasan psikhis disini biasanya berupa kelainan atau penyimpangan kejiwaan.demikia penjelasan kami, semoga bermanfaat. Tuhan memberkati.
(Rm. AP. Dwi Joko, Pr)

Selesaikan Masalah Sebelum Tidur

Ironi pendidikan di Indonesia masih menjadi keprihatinan banyak kalangan. Tak terkecuali pasangan pendidik Bonaventura Suprapto (57) dan Sisilia Sri Lestari (57). Kompleksitas masalah pendidikan menjadi perhatian khusus Suprapto, sapaan akrab ayah 2 anak, Thomas Rahadi Utomo (33) dan Xaveria Rahmani Utami (27), yang juga menjabat sebagai Wakil Rektor Universitas Katolik Darma Cendika Surabaya. Kepekaannya dalam persoalan pendidikan membulatkan tekadnya untuk semakin terjun dalam berbagai wadah dan komunitas peduli pendidikan. Hal ini nampak dalam keterlibatannya sebagai anggota Dewan Pendidikan Jawa Timur. Menurutnya, persoalan pendidikan bukan hanya masalah biaya, melainkan penerapan sistem dan visi pendidikan yang belum jelas arahnya.Selain pendidikan formal di sekolah, anak juga harus mendapat pembekalan di keluarga. Keterbukaan, penghargaan satu dengan yang lain serta adanya pola komunikasi yang baik antar anggota keluarga merupakan kunci pembelajaran. “Antar anggota keluarga harus bisa menghargai tanpa basa basi, tanpa menuntut,” ungkapnya. Konflik orangtua jangan sampai diketahui anak. “Pertengkaran jangan dibawa tidur, harus dikomunikasikan secara terbuka. Memang gampang-gampang susah, tapi harus dilakukan,” imbuhnya.

Hidup bersama sebagai pasangan pendidik sepertinya menjadi nilai lebih bagi dua insan yang telah mengarungi bahtera perkawinan selama 33 tahun ini. Latar belakang mereka sebagai pendidik juga diterapkan di dalam keluarga.
Totalitasnya dalam dunia pendidikan nampak dalam pilihan aktivitas yang dilakukan. Sebagai Ketua Komisi Pendidikan Keuskupan Surabaya Suprapto sedang mensosialisasikan perlunya seksi pendidikan di tiap-tiap Paroki. “Tujuannya untuk membantu dan menjembatani umat Katolik yang kesulitan untuk menyekolahkan anak-anaknya di sekolah Katolik. Memang tidak digratiskan begitu saja, tapi paling tidak ada perhatian terhadap permasalahan ini. Pihak sekolah juga harus bertanggung jawab ketika banyak umat Katolik yang tidak bisa sekolah di sekolah Katolik.”
Di rumahnya yang nyaman di jalan Cendrawasih Bunderan Rewin I/14, umat Paroki Salib Suci Tropodo ini lebih senang menghabiskan waktu dengan membaca, menulis dan menimang dua cucunya. Di Surabaya, Suprapto dikenal sebagai kolumnis yang produktif. Artikelnya tentang pendidikan banyak tersebar di surat kabar. Keterlibatannya di Dewan Pendidikan Jawa Timur juga membanggakan gereja Katolik mengingat minimnya tokoh umat yang berkiprah di lembaga pemerintahan.
Sisilia (akrab dipanggil Cicik) yang dinikahinya 2 Januari 1975 di gereja Yohanes Pemandi Wonokromo, juga tipikal pendidik yang patut diteladani. 30 tahun hidupnya diabdikan untuk mengajar di SDK Kartini sebelum pensiun dua tahun lalu. Sebagai guru senior, pengalaman dan totalitasnya menjadi rujukan rekan-rekan guru lainnya. “Sebelum pensiun, mulai banyak guru-guru muda yang baik dan pintar mengajar di SDK Kartini. Saya bisa tenang pensiun setelah berbagi banyak ilmu dan pengalaman kepada mereka,” terangnya.

Profesi sebagai pendidik yang dipandang sebelah mata oleh masyarakat karena dianggap tidak menjanjikan masa depan ternyata tidak terbukti pada pasangan ini. Dengan ketekunan dan komitmen tinggi pasangan ini bisa menikmati hidup yang lebih baik di usia senja. Keluarga yang masih gemar berlibur ke luar kota ini termasuk salah satu perintis berdirinya Paroki Salib Suci yang kala itu masih berstatus stasi dari Paroki induknya yaitu Gembala Yang Baik.
Suprapto saat antusias setiap berdiskusi soal pendidikan. Salah satu keprihatinannya terhadap pendidikan di Indonesia disebabkan karena hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga pendidikan formal sebagai akibat dari lunturnya nilai-nilai kejujuran dalam dunia pendidikan. Tolok ukur keberhasilan sebuah pendidikan hanya dilihat dari hasil skor dan ijasah. Kadang sekolah merekayasa lulusan siswa sedemikian rupa sehingga orangtua tertarik mendaftarkan anaknya.
Substansi pendidikan yang seharusnya membentuk karakter dan kebebasan berpikir siswa mulai diabaikan. Kegiatan belajar-mengajar di kelas juga tidak mengalami perubahan selama bertahun-tahun. Kadang kelas menjadi wilayah otoritas guru yang membuat siswa tidak bebas mengekspresikan bakat, minat, karakter dan kecerdasannya. Pola pengajarannya juga masih satu arah yang ujungnya berdampak pada budaya takut bertanya, takut salah dan takut pada guru. Beberapa kelemahan pendidikan formal ini lalu berimbas pada menjamurnya lembaga bimbingan belajar.
Lebih lanjut Suprapto menegaskan bahwa dunia pendidikan saat ini semakin tidak jauh berbeda dengan dunia industri, di mana pengelola pendidikan lebih berorientasi pada profit.
Terhadap orang muda, pasangan ini pun berharap agar orang muda peduli terhadap persoalan pendidikan, mau mengkritisi dan terlibat dalam usaha-usaha perbaikan sistem pendidikan yang ada. (Agnes Lyta Isdiana)

Pamong Katolik di Tengah Masyarakat

Salam Damai Kristus
Orang bijak mengatakan, kata yang terlalu sering diucapkan akan kehilangan makna. Kata “cinta”, misalnya, sudah terbukti meluntur maknanya digerus kasus kawin-cerai dan poligami.
Juga misalnya kata “habitus baru” atau “budaya tandingan”. Sebelum kata ini benar-benar hilang makna, kami mencoba menerapkannya dengan menerbitkan majalah di tangan Anda ini.Saat semua hal dalam hidup kita sedang dikomodifikasikan (ditransaksikan), kami memberi bacaan pada Anda secara gratis. Saat akses terhadap bacaan bermutu hanya dimiliki oleh mereka yang punya uang untuk membeli majalah mahal, kami mempersembahkan majalah ini gratis kepada Anda, apapun latar belakang dan status ekonomi Anda.
Saat mempersiapkan edisi ini, kami juga berkutat soal kata “garam dan terang”. Kami was-was, jangan-jangan kata ini juga akan kehilangan makna. Maka kami berkutat mencari padanan kata itu dalam hidup sehari-hari. Pilihan kami jatuh pada para pamong Katolik yang berkarya di tengah masyarakat jamak. Terlebih pada pamong “rendahan” yang justru bekerja tanpa pamrih setingkat kampung atau perumahan.
Menjadi abdi, teladan sekaligus mewarnai hidup bermasyarakat sungguh mengorbankan banyak hal. Dan pada merekalah kata “garam dan terang” pantas disematkan.
Selamat menikmati.

Guru Ideal SMA Se-Jawa Timur

Pada waktu sedang mengajar pelajaran Bahasa Inggris di kelas XII IPA-6 SMAN 5 Surabaya, separuh murid menghilang tidak ada di kelas. Padahal saat pelajaran sebelumnya murid-murid tersebut masih berada di kelasnya.
Ibu guru yang masih penasaran atas kejadian ini mencoba menanyakan pada bagian tata usaha yang ternyata tidak tahu-menahu. Setelah bertanya pada seorang murid, baru diketahui kalau para murid yang menghilang itu sedang mengantar salah seorang teman mereka yang sedang mengikuti program pertukaran pelajar.Ibu guru yang kecewa dengan tingkah para muridnya ini akhirnya memberi ultimatum bahwa dia tidak akan mengajar lagi di kelas tersebut. Para murid pun terdiam.
“Sore itu juga, para murid yang menghilang tersebut langsung ke rumah saya dan mereka meminta maaf,” kisah sang ibu guru.
Pada tahun 2003, saat perpisahan kelas XII SMAN 5 Surabaya, terbit sebuah buku kenangan sekolah. Pada profil kelas XII IPA-6 mereka menceritakan kembali tentang kejadian bersama ibu guru Clara lengkap dengan karikatur dirinya yang memakai kalung salib dan ucapan terimakasih mereka.
“Saya tidak mengira kalau mereka akan menceritakannya dalam buku kenangan, saya biasa menyebut mereka magnificent seven,” kenangnya.
Itulah sekelumit cerita Clara Sri Sudarmi (58) yang tidak akan pernah dilupakannya. Dalam kesehariannya Clara adalah seorang guru bidang studi bahasa Inggris. Baginya, menjadi seorang guru lebih dari sekadar profesi tapi juga pengabdian. “Yang kita hadapi bukan benda mati, mereka adalah calon penerus bangsa. Lain dengan kerja kantoran,” terang perempuan yang menekuni pekerjaan ini sejak tahun 1972.
Pada awalnya ibu tiga anak ini mengajar sekolah guru pendidikan luar biasa di Gedangan-Sidoarjo. Sekolah ini diperuntukan bagi para calon guru yang nantinya akan mengajar di Sekolah Luar Biasa (SLB). Waktu itu Clara mengajar bidang studi bahasa Inggris. Barulah pada tahun 1995 ia dipindahkan di SMAN 5.
Di SMAN 5 ia mengajar bahasa Inggris untuk kelas X, XI dan XII. Ada tiga konsentrasi yang ia ajarkan pada para muridnya yaitu akselerasi, Standart Belajar Internasional (SBI) dan kelas reguler.
Perempuan kelahiran Kuala Simpang-Aceh ini juga dinobatkan menjadi guru ideal dalam Pemilihan Guru Ideal (PGI) 2008 versi Jawa Pos. Ia berhasil menyisihkan sekitar 1206 peserta dari seluruh Jawa Timur dan diantara mereka Clara merupakan satu-satunya guru Katolik.

Clara berhasil menembus babak final setelah melewati beberapa kriteria. Kriteria dibagi menjadi beberapa tahap. Tahap pertama adalah kompetensi mengajar, kepribadian, sosial, komunikasi dan profesi. Tahap kedua meliputi psikotest, wawancara, abstraksi dan perencanaan program. Sedangkan tahap ketiga adalah tanya jawab dengan para juri.
Diakuinya ia selalu mendesahkan kata Yesus setiap kali akan mempresentasikan program kerjanya dan menjawab pertanyaan juri. “Itu memberi kekuatan bagi saya. Pernah suatu kali LCD proyektor mati, tapi atas bantuanNya banyak orang yang menolong saya,” kenang penyuka nasi pecel ini..
Bagi Clara menjadi seorang guru harus dekat dengan para muridnya dan orang-orang di lingkungan sekolah. Misalnya, makan siang di kantin bersama para murid dan bercakap-cakap dengan mereka. “Mencoba bersosialisasi tetapi tetap harus ada batasan,” terang lulusan IKIP Surabaya (UNESA) jurusan Sastra Inggris ini.
Pengalaman ikut workshop bersama 30 guru se-Asia Pasifik di Korea membekalinya banyak hal dalam mengajar. Di mata muridnya, Mam Clar, demikian dia biasa dipanggil, dikenal sebagai guru yang cerdas
Clara Sri Sudarmi menikah dengan Johanes Soepangat pada tahun 1972 di Paroki Yohanes Pemandi Wonokromo dan memiliki tiga orang anak yaitu Catherine Ratna Damayanti, Rosalia Rina Nilasari dan Bernardus Khrisma Wibisono. Saat ini Clara tinggal di jalan Mangga 71, Aloha-Sidoarjo
“Kedua puteri saya sudah menikah dan anak saya yang ketiga sedang menempuh pendidikan Yesuit di STF Driyarkara Jakarta saat ini memasuki tingkat 3,” ujar Clara yang suka berbusana santai saat di rumah.
Di rumah, Clara hanya tinggal bertiga bersama adiknya dan rekannya seorang guru agama yang juga mengajar di SMAN 5. Hal ini bisa dimaklumi mengingat kedua puterinya sudah berkeluarga dan tinggal terpisah sedangkan Bernardus memilih untuk hidup membiara. Johanes Soepangat meninggal dunia pada tahun 1996 pada usia 55 tahun akibat kanker kelenjar getah bening.
“Suami saya marinir pangkatnya Letnan Kolonel, ia juga seorang atlet,” kenang perempuan penyuka warna krem ini yang juga memiliki prinsip hidup pasrah kepada Tuhan. “Prinsip itu membuat saya survive sampai sekarang,” lanjutnya. Nenek tiga cucu ini juga aktif dalam kegiatan paduan suara di paroki dan di lingkungan selain menjadi ketua Lingkungan Yakobus 3 Paroki Sakramen Maha Kudus Pagesangan.
Mencapai puncak tertinggi dalam profesinya sebagai pendidik jelas membanggakan. Kini gelar Guru Ideal SMA Se-Jawa Timur yang disandangnya membawa konsekuensi peningkatan kualitas pengajaran baik bagi anak didiknya maupun bagi dirinya sendiri. (Leonard Hanny)



 

Menunjukkan Identitas Katolik Dengan Perbuatan

Menjadi ketua RT adalah kesempatan mengenal masyarakat yang jamak. Dalam bidang kemasyarakatan umum, umat kristiani tentu saja mempunyai kewajiban yang sama dengan umat lain. Oleh karena itu bersama dengan golongan lain, kita memikul tanggung jawab, baik sebagai golongan dengan lembaga resminya, maupun sebagai perorangan, terhadap susunan masyarakat.
Menjadi RT menurut Heribertus Murhandana (45) tak sekadar mengurus adminitrasi saja. Lebih dari itu menjadi RT adalah kesempatan mewujudkan ajaran Kristus ditengah masyarakat. Banyak cara yang dilakukan untuk bisa diterapkannya.
Pendekatan dengan warga adalah cara terbaik yang dilakukan Heri, sapaan akrabnya, untuk lebih bisa mengenal dengan masyarakat. Maka tak heran kalau Heri selalu membuat kegiatan-kegiatan yang bertujuan untuk mengakrabkan warga. Misalnya, program jaga kampung., arisan dan kerja bakti.

Terpilih Terus Delapan Periode

Semangat mengabdi dan suka berorganisasi adalah alasan pria yang memiliki nama lengkap Oentoro Hadiwidjaja ini ketika mau dipilih menjadi Ketua RT Klampis Indah. Ia terpilih secara demokratis sejak 1986 hingga sekarang.
Di awal kepengurusannya, pria yang pada 27 April nanti genap berusia 61 tahun ini lebih banyak memakai uang pribadinya. Rupanya ini diikuti oleh warga yang mulai mau menyumbang saat ada acara-acara yang membutuhkan dana.
Meskipun tidak paham komputer, prinsip transparansi keuangan tetap dijalankannya. Warga yang mau menyumbang dia sarankan untuk menyerahkan langsung ke bendahara RT untuk diberi tanda terima. Pada akhir periode ada edaran laporan keuangan. Siapa dan berapa sumbangannya dilaporkan selengkapnya kepada warga. Pengalamannya di masa muda sebagai aktivis mahasiswa di PMKRI Surabaya membekalinya pengetahuan dasar organisasi. Soal-soal administrasi dan pengorganisasian dikuasainya.
Ayah dari Agnes Liliawati Oentoro, Eduard Tjahajo Oentoro, Fransiscus Setiawan Oentoro berprinsip bahwa tetangga adalah saudara yang paling dekat. Prinsip itulah yang dia tularkan kepada warganya agar tumbuh rasa persauadaraan di antara mereka.
Suami dari Idawati Santoso (60), pensiunan guru SD, ini kadang harus menghadapi situasi dimana warga mulai tidak kompak. Untuk mengatasinya dia harus rutin mengadakan rembug warga.
Kejenuhan karena menjabat sampai delapan periode kadang dirasakan umkat Paroki St Maria Tak Bercela Ngagel ini. Setiap kali pemilihan RT kembali. Mungkin warga sudah terlanjur jatuh cinta pada kepribadiannya yang sederhana, terbuka, jujur dan suka melayani sehingga sulit menemukan orang yang sama seperti beliau. “Menjadi pamong itu pekerjaan mulia, lho. Itung-itung bisa mengurangi dosa” candanya mengakhiri obrolan.
(Yohana)


***

Satu-satunya Orang Katolik yang Menjadi Ketua RW



“Semenjak saya pindah disini pada tahun 2003, saya langsung didatangi oleh warga disini untuk minta tolong menjadi bendahara RT pada waktu itu, dan saat itu saya hanya bilang ya saya terima dan saya sanggup,” kenang Thomas Sardjono, (70) umat stasi St. Pauluis ini. Mengawali percakapan ringan suami dari Fransiska Daryati, (71) ini menceritakan kembali awal mulanya sebelum menjadi ketua RW di daerah perumahan Candramas, Juanda.
Pada saat ada pemilihan ketua RW untuk masa jabatan 2004-2008, Thomas didatangi oleh bapak Alex (ketua RW sebelumnya) untuk mengantikan dirinya, tapi karena sama-sama seiman dengan berat hati Thomas menolak karena alasan menjaga omongan yang tidak enak dari warga. Hingga beberapa hari kemudian ada perwakilan dari tokoh orang muslim yang mendatangi dan meminta tolong Thomas untuk maju menjadi calon ketua RW. Atas dukungan dari beberapa warga muslim inilah akhirnya mantan kepala sekolah ini bersedia dicalonkan untuk menjadi ketua RW dan maju bersama 2 orang calon lainnya.
Pada saat itu cara pemilihannya harus mempresentasikan dahulu visi dan misi sebelum menjadi ketua dan thomas dipilih oleh warga karena memang pantas dan cocok untuk menjadi ketua RW. kepercayaan warga terhadap Thomas cukup beralasan karena sebelum menjadi ketua RW, bapak yang gemar membaca ini pernah menjadi bendahara RT, bendahara keamanan kampung hingga bendahara I PKGC (perkumpulan kematian griya candramas).
Selama 3 tahun menjadi ketua RW banyak hal yang membuat bapak dari Paulina Kusumaningtyas, (36) dan Fransiskus Imbar Gunarso, (33) ini selalu merasa miris melihat beberapa warga katolik yang kurang bisa berbaur dan bersosialisai dengan warga di perumahan Candramas, salah satunya bila ada salah satu warga yang meninggal mereka jarang sekali terlihat. Keprihatinan kakek 1 cucu ini cukup beralasan, karena memang seperti itulah kenyataannya dan orang katolik lebih senang berkumpul dengan kelompoknya sendiri
Pria kelahiran 1938 ini bercerita banyak suka duka saat menjadi pengurus kampung, mulai dari menghampiri rapat hingga nyelayat orang meninggal, tapi itu semua dijalaninya dengan senang hati karena menurut Thomas berkumpul dengan orang yang berbeda-beda adalah suatu hal yang menyenangkan. “Saya mempuyai kenang-kenangan sebelum jabatan saya berahkir nanti tanggal 4 april yaitu sebuah berem (trotoar)” kata pria yang asli Salatiga ini.
Berada di tengah-tengah kelompok mayoritas adalah tugas yang berat bagi kita sebagai orang katolik untuk berani memyebarkan kasih Tuhan terhadap sesama dan Thomas sudah membuktikannya (Fransiscus Gandi Muda)

Sabar Menghadapi Keluhan Warga

Menjadi ketua RT dalam sebuah perumahan memang bukan suatu pekerjaan yang mudah, selain urusan surat menyurat masih ada hal lain yang membutuhkan perhatian lebih, bertanggung jawab atas keamanan dan kenyamanan warga.
Enam tahun lebih Falentinus Sunitro (57) menjabat sebagai ketua RT di perumahan Ketupa, yang sebelumnya hanya bendahara RT di komplek perumahan tersebut. “Saya dipilih oleh warga karena ketua RT sebelumnya pindah rumah” kata Falen sapaan akrabnya.
Alasan lain yang membuat Falentinus harus menjabat sebagai RT adalah karena tidak ada lagi warga yang mau menduduki jabatan tersebut. Selama menjadi ketua RT permasalahan terberat adalah sampah. Seringkali Falen menerima keluhan dari warga mengenai sampah. “Pengangkutan sampah di tempat kami sangat lambat, kadang-kadang sampai satu minggu sampah tidak diambil” kata umat Paroki Kristus Raja itu.
Disamping itu masalah keamanan juga membutuhkan perhatian yang serius, belum lagi harus menghadapi warga perumahan yang tingkat sosialisasinya rendah. “Menjadi RT memang berat apalagi di perumahan, tapi selama tidak mengganggu kesibukan saya itu tidak masalah” tuturnya enteng.
Dengan bermodalkan kesabaran yang tinggi dan pengertian yang cukup pria kelahiran 12 maret 1951 ini tetap semangat dan tabah dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya untuk melayani warga. “Saya dilatih untuk sabar karena banyak menerima keluhan dari warga” kata pria yang saat ini menjadi single parent tersebut.
Di satu sisi ayah dari keempat putri Pamela Febriani Sunitro (29), Olifia Noviani Sunitro (26), Elisa Sunitro (22), dan Silfia Sunitro (19) ini merasa bangga dengan jabatannya sebagai RT karena dapat dikenal oleh warga. Diakuinya secara umum hubungan dengan warga dapat terjalin dengan baik karena wilayah yang di bawahinya tidak terlalu besar. (Yonathan Beda Turra)

Biasa Kunjungan Door To Door

Ramah dan apa adanya, itulah kesan pertama terhadap ibu yang menjabat sebagai wakil RT Dharmahusada ini. Margaretha Supiati Sugeng (53) bersedia menjadi wakil RT setelah suaminya Sugeng Rawuh mengundurkan diri sebagai RT pada akhir 2007. Dia terpilih lewat proses kopyokan (undian), memilih diantara beberapa calon.
Keluarga perempuan yang beralamat di Dharmahusada IV/4 Surabaya ini sangat mendukung meski awalnya harus alot meyakinkan sang suami karena semua tugasnya banyak menyita waktu. Agar keluarga mendukung maka Yati, panggilannya, tiap hari harus menyelesaikan terlebih dahulu urusan rumah tangga.
Jadi garam dalam masyarakat dan keluarga, itulah motto umat Paroki Kristus Raja ini. Sebagai wakil RT, tugasnya adalah berkunjung door to door sembari menarik iuran bulanan dari 20 KK di wilayahnya. Menarik iuran bulanan sembari menyapa warga merupakan suatu kebanggaan dan kenyamanan tersendiri. Selain dapat lebih mengenal satu persatu tetangganya, Yati juga bisa menghibur yang kesusahan. Kadang bahkan mendoakan yang sakit tanpa membedakan latar belakang serta agama mereka.
Jika ada masalah dengan warga, Yati memilih mendatangi warga secara pribadi dan membicarakan masalah secara kekeluargaan. Prinsipnya adalah harus bisa membawa diri sesuai dengan kondisi dan lingkungan tempat tinggal.
“Kalau tidak ada mau yang lantas kampung ini mau jadi apa?. Harus ada yang mau berkorban dan ikut urun rembug masalah kampung,” tuturnya saat ditanya motivasi menjadi pamong di kampung.
Kini, hidup rukun dan bahagia dengan anak, menantu dan cucu merupakan hal yang selalu diusahakannya di luar tanggung jawabnya sebagai wakil RT. (Yohana)

Mengolah Ketidakcocoka

Muda-mudi yang baru dalam masa berpacaran, bertunangan atau baru saja meresmikan perkawinannya akan mengalami bahwa suasana seluruhnya serba sedap, indah, bagus dan menyenangkan. Seperti matahari pagi hari, udara sejuk dan udara segar. Kalau bisa keadaan sejuk ini bisa berlangsung terus. Mungkinkah ?
24 Oktober 1999 silam roda kehidupan rumah tangga itu resmi berputar ketika Josua Swarnadwipa (35) menekan tombol sakramen perkawinan. Franciska Nani (38) adalah wanita pilihan yang dinikahinya.
Kini dua pasangan itu harus bergelut dengan dunia yang berbeda dari sebelumnya. Sebelum menikah masing-masing pribadi bisa menentukan keinginannya dengan seenaknya. Bisa merasakan yang indah, sedap dan serba cocok dengan selera. Namun keinginan yang serba sedap itu harus dikuburnya dalam-dalam

Usaha membangun keluarga mulai menemukan gejolak dan cobaan-cobaan. Josua dan istrinya harus membanting tulang untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Waktu dan pikiran dikerahkan demi berlangsungnya roda kehidupan. Meski harus menapaki jalan terjal, licin dan berkelok-kelok.
Dua tahun sesudah perkawinan suasana sudah mulai berubah. Mungkin sangat berubah seperti matahari di tengah siang bolong. Semua rasanya serba panas, menjemukan dan meletihkan, seolah-olah sinar matahari harus dimaki-maki.
Ditengah hadirnya sang buah hati kian menambah tanggung jawab yang harus dipikul. Utamanya dalam hal memenuhi kebutuhan untuk menghidupi dan ngopeni anak. Semua dirasakan Josua sebagai hal yang tetap harus diperjuangkan.
Sebagai seorang ayah, pria yang gemar bermain musik ini pernah mendapat cobaan yang pahit. Josua harus kehilangan pekerjaan setelah perusahaan yang menghidupinya mem-PHK dirinya. Pil pahit itu harus ditelan, meski sangat berpengaruh terhadap berlangsungnya kehidupan keluarga.
Saat kena PHK Josua pun lantas tak berpangku tangan. Setengah tahun ia menganggur. “Untuk bisa bertahan hidup saya harus ngirit”, ujarnya sembari matanya menerawang mengingat kejadian masa lalunya. Bahkan pernah suatu kali ia dan istrinya harus makan buntil daun pepaya dioplos daun ketela yang diambil dari kebunnya. “Saking ngiritnya buntil itu saya makan selama empat hari”, tutur ayah dari Angela Dione (7) dan Maura Violin (4) ini.
Kebahagiaan keluarga yang sebenarnya tidak dirasakan hanya pada permulaannya tetapi juga kalau mereka sudah lama hidup bersama dan menempuh duka dan derita bersama. Itulah yang menyemangati hidup keluarga Josua.
Perbedaan pendapat dan ketidakcocokan dengan pasangannya juga menjadi persoalan yang harus cepat dicarikan solusinya. Diyakini Josua, bahwa keadaan panas dalam keluarga, yang disebabkan karena ada sedikit salah paham dan perbedaan pendapat, kadang-kadang normal juga dan tidak merugikan, asal harus ada rasa sikap terbuka.“ Hal yang saya pakai dalam merampungkan masalah perbedaan dan ketidakcocokan adalah mengalah” paparnya.
Kata pasword-nya adalah ‘mengalah’. Kata inilah yang diyakini Josua bisa mendapatkan solusi terbaik. Mengalah dalam arti untuk mendapatkan sesuatu yang lebih besar dan terbaik. Maka waktu dan pikiran dikorbankan untuk mencari jalan keluar terbaik supaya ketidakcocokan itu tidak memicu ketegangan. “Jadi ketegangan di dalam keluarga tidak usah dianggap sebagai sesuatu yang harus dibesar-besarkan. Dan keadaan ini pun lama-kelamaan akan berubah lagi”,imbuhnya.

Memprioritaskan anak

Semangatnya luar biasa! Itu tampak dari binar matanya. Saat bangun tidur jam 5 pagi ayah yang doyan humor ini harus memulai aktivitasnya. Dengan bahu membahu bersama istri ia turut menyiapkan segala kebutuhan anak untuk persiapan sekolah. Mulai dari sarapan pagi hingga mengantar sekolah “Setiap pagi saya harus mengantar sekolah kedua anak saya sebelum bekerja” ujar pria warga paroki Sakramen Maha Kudus Surabaya ini.
Sebagai orang tua muda yang memiliki banyak kesibukan tak menghalangi Josua untuk tetap konsisten dan fokus terhadap perhatian kedua anaknya. Bahkan ia berani berkorban waktu dan tenaga demi sang buah hati. Menyinggung soal banyaknya kegiatan gereja diluar pekerjaan yang banyak menyita waktu menurut mantan seminaris Garum ini sudah di manage terlebih dahulu.
Kegiatan gereja seperti menjadi organis di paroki, kelompok pelayanan musik P15, dan aktivis komisi kepemudaan keuskupan tetap dijalani dengan enteng tanpa merasa terbebani.“Saya harus bisa membagi waktu, mana untuk keluarga dan mana untuk kegiatan gereja”, papar Josua yang merasa senang saat makan bersama dengan keluarga ini
Membentuk situasi keluarga yang sehat adalah sangat mutlak untuk membentuk manusia yang sehat. Hal yang tak kalah pentingnya dalam pendidikan anak-anak adalah teladan orang tua. Orang tua harus sadar bahwa kehidupan mereka dijadikan cermin dan pola hidup bagi anak-anaknya.

Aloysius Surya

Valentine dan Imlek

Salam Damai Kristus,
Ada dua hari yang patut dirayakan dalam bulan ini. Valentine dan Imlek. Dua-duanya mengajarkan kita untuk bersyukur.
Valentine (hari kasih sayang) mengingatkan kita tentang orang-orang terdekat kita yang selalu mengajak kita untuk tertawa dan menunjukkan pada kita bahwa hidup adalah untuk berbagi sukacita dan indah adanya.
Imlek (adalah perayaan tradisional petani-petani Cina yang bersyukur atas panen yang memuncaki masa tirakat berbulan-bulan) mengajak kita untuk menengok usaha dan kerja kita setiap hari dan menjadi berkecukupan karenanya. Hanya syukur pada Tuhan yang pantas didaraskan.


Edisi bulan ini adalah tentang perjuangan hidup keluarga-keluarga muda merangkai-menata kepingan-kepingan hidup dan menyusunnya menjadi sebuah mozaik berharga bernama “keharmonisan keluarga”.
Tentu saja ada cerita-cerita tidak mengenakkan di antara cerita-cerita menyenangkan. Namun, persis seperti saat kita merayakan Valentine dan Imlek, kebahagiaan ada pada jiwa yang bersyukur. Itu berarti, memetik hikmah setiap kejadian (sekecil apapun) dan bersyukur atasnya.
Semoga menginspirasi. Tabik.

Banyak Keluarga Terlalu Mementingkan Kesuksesan

Karena tuntutan jaman, banyak keluarga memburu kesuksesan semata dan melalaikan komunikasi dalam keluarga. Kesibukan kerja yang menguras tenaga menyebabkan waktu luang di rumah yang semestinya bisa dimanfaatkan untuk bercengkerama dengan keluarga menjadi berkurang intensitasnya. Ayah dan ibu sudah terlalu lelah saat pulang ke rumah dan sisa hari dihabiskan dengan bermalas-malasan menonton televisi. Kondisi ini lama-kelamaan akan menyebabkan menurunnya kualitas komunikasi antar anggota keluarga.
Jika kualitas komunikasi sudah menurun, maka relasi akan terganggu. Sifat relasi dalam keluarga yang saling menguatkan, mendukung dan penuh kasih sayang akan merosot seiring dengan kesibukan masing-masing anggota keluarga.
Gejala ini dibeberkan oleh Rm Thoby Kraeng, SVD moderator Komisi Keluarga Keuskupan Surabaya saat berlangsung acara Talk Show “Keluarga Katolik dan Tantangan Jaman” dan launching edisi perdana majalah ini di Catholic Center jalan Bengawan 3, Sabtu 5 Januari lalu.
“Hari minggu sebenarnya bisa dijadikan hari keluarga dimana seluruh anggota keluarga meluangkan waktu untuk berkumpul dan bercengkerama. Itulah waktu yang tepat untuk saling menguatkan dan bertumbuh dalam iman. Bukan keluarga diatur oleh waktu, tapi keluarga yang mengatur waktu,” pesan romo Thoby.
Hadir sebagai sebagai pembicara Uskup Surabaya Monsinyur Sutikno Wisaksono dan Ibu Nugroho Ketua Wanita Katolik RI (WKRI) Jawa Timur.
Dalam paparannya Uskup mengingatkan tentang keluarga sebagai persekutuan pribadi dalam bingkai cinta kasih. Uskup yang mengambil bidang studi khusus tentang Pastoral Keluarga di Filipina ini menambahkan bahwa Paus Yohanes Paulus II sangat menaruh perhatian terhadap keluarga dengan dikeluarkannya seruan apostolik Familiaris Consortio (FC). Dalam dokumen itu ditegaskan bahwa “sebuah keluarga Katolik hanya layak disebut sebagai gereja kecil bila keluarga itu diwarnai oleh suasana guyub, sehingga mewujudkan sebuah communio. Artinya, komunitas yang rukun dan akrab, berdasarkan hormat dan kasih. Juga bila kadang-kadang ada konflik, konflik itu diselesaikan dalam semangat dan suasana hormat dan kasih, bukan dalam suasana emosi yang tak terkendali. (FC 49)”.
”Saya membaca di majalah Inspirasi, tahun 2008 ini ditetapkan sebagai Tahun Anak dan Keluarga di Keuskupan Agung Semarang. Saya kira ini baik untuk mempertegas fokus pelayanan pastoral. Keuskupan Surabaya juga sedang menggodok tema besar pelayanan untuk 2008 ini,” ujar Uskup.
Ibu Nugroho yang mewakili ibu rumah tangga menuturkan salah satu tugas penting yang diemban para ibu yaitu menghidupkan suasana dan menciptakan kebersamaan. Seyogyanya setiap keluarga meneladani Keluarga Kudus Nazareth dimana Yesus sebagai inti dan pusat kehidupan iman.
”Tantangan jaman modern yang mengikis iman perlu diantisipasi dengan kebersamaan dan komunikasi. Dalam hal saya setuju dengan Rm Thoby soal perlu adanya hari keluarga khusus,” ungkap ibu dua putri ini.
Acara yang dihadiri 70-an undangan ini ditutup dengan launching (peluncuran) edisi perdana sekaligus sosialisasi tentang visi, misi, tujuan dan rancangan kegiatan majalah di tangan Anda ini.

Yudhit Ciphardian

Perkawinan Usia Muda Adalah “Bercerai Dengan Diri Sendiri”

Allah, sumber cinta kasih, Engkau telah mempersatukan kami dalam ikatan perkawinan suci. Kami bersyukur atas segala pengalaman selama perjalanan perkawinan kami; atas segala suka dan duka; atas kebahagiaan dan penderitaan; atas untung dan malang; terlebih atas rahmat kesetiaan yang telah memungkinkan kami berpegang teguh pada ikrar perkawinan kami: berpadu dalam cinta.
(Petikan Doa Suami Istri)


Perkawinan tidak sekedar “harus dijalani”, karena ia merupakan persekutuan cinta antara Allah dengan umatNya. Ia adalah unsur mendasar dalam pewartaan dan pengalaman iman, yang diwujudkan antara pria dan wanita.
Kesatuan suami istri memenuhi tujuan ganda: saling membantu dan kesuburan yang menghasilkan keturunan. Gereja menegaskan bahwa perkawinan harus menjadi ikatan tetap, monogamis, sedangkan peraturan yang mengijinkan perceraian hanyalah bukti kompromi pada “kekerasan hati” manusia (Ensiklopedi Perjanjian Baru).
Bagi pasutri usia balita (bawah lima tahun), problem terberat selalu muncul di awal.
Rentetan masalah ego pribadi, anak, keuangan, pekerjaan atau relasi (dengan pasangan, keluarga pasangan atau orang-orang baru di sekitar mereka) sudah membayangi mereka di saat mereka mulai menata segala sesuatunya.
Kaum muda yang melalui masa mudanya dengan baik umumnya akan menjalani hidup berkeluarga dengan lebih baik pula. Demikian Romo Antonius Padua Dwi Joko (Vikaris Yudisial Keuskupan Surabaya) mengawali percakapan dengan topik keluarga muda. Wakil Uskup bidang Yudikatif ini mengatakan bahwa pernikahan sebaiknya tidak didasari oleh keputusan yang terburu-buru melainkan atas sebuah pertimbangan yang matang. Romo Kepala Paroki St Yakobus Citraland Surabaya ini juga menyarankan agar setiap pasangan muda yang akan menikah untuk sungguh mengenal pribadi masing-masing pasangannya.
Banyak kasus pernikahan yang menjadi kacau balau karena para pasangannya belum siap untuk sampai pada jenjang pernikahan. Kisah miris berikut contohnya;
Dua tahun menikah, aku baru merenung banyak tentang pernikahan. Tepatnya setelah kuselesaikan sebuah tulisan dengan judul, "Return to Honor: Morality of the Marriage". Aku hanya berpikir, apakah pernikahan membuatku lebih terhormat, membuatku lebih bisa menghormati diriku? Cuma itu. Yang jelas, tulisan ini kubuat untuk mempersiapkan diriku secara batin bahwa aku sudah menikah. Setelah dua tahun usia pernikahanku ini aku baru sadar bahwa aku sudah menikah. Aku memborong buku tentang cinta, pernikahan, persahabatan. berjudul Le quindici gioie del matrimonio (Lima Belas Kebahagian dari Pernikahan) yang ditulis oleh Gilles Bellemère. Setelah kubaca, aku cuma bisa berkomentar: "Ah, itu kan teori".
Yah, aku memang tidak siap dan tidak pernah disiapkan untuk menikah. Dalam kursus perkawinan yang diselenggarakan oleh Paroki, aku mangkir, calon istri kuabiarkan berangkat sendiri. Aku hanya berprinsip: persiapan sambil jalan, yang penting aku tahu bahwa calon istriku tidak min-main demikian juga aku, serius. Itu sudah cukup.
Secara material aku sama sekali juga tidak siap untuk menikah. Waktu itu aku sedang sibuk mengumpulkan uang untuk melanjutkan studiku. Cincin kawin dibelikan oleh mertua dan jas dibeli dengan pinjaman uang dari salah seorang kerabat. Kami berdua hanya menertawakan diri kami sendiri.........
Kutipan cerita diatas adalah salah satu contoh sebuah pernikahan yang tidak dipersiapkan secara baik, dan akhirnya menjadi goyah ketika berbenturan dengan realita kehidupan yang penuh dengan kompleksitas masalah.
John Suban Tukan (Komisi Keluarga Keuskupan Agung Jakarta) menuturkan banyak orang setelah menikah mengira bahwa urusan perkawinannya telah selesai, mereka berpendapat bahwa kebahagiaan perkawinan adalah “barang jadi” yang diterima begitu saja. Mereka tidak mampu lagi melihat beberapa kerumitan dan ketidakcocokan yang setiap saat mengintai perkawinan
Gereja Katolikpun menyadari bahwa kondisi masyarakat hari ini memberikan tantangan yang tidak mudah untuk para keluarga muda Katolik. Ada kenyataan bahwa banyak keluarga mengalami gonjang-ganjing karena kurangnya pemahaman dan persiapan tentang perkawinan dan keluarga, kesulitan ini menjadi bertambah besar oleh kehidupan yang mengalami pergeseran nilai-nilai kehidupan dan perubahan pola-pola kehidupan keluarga. Namun Gereja mengharapkan setiap perkawinan dapat bertahan dalam semangat cintakasih sebagai landasan iman, untuk itu Paus Yohanes Paulus II dalam Familiaris Consortio 1981 menyatakan “Kegiatan pastoral Gereja harus mengikuti keluarga, dengan menyertai langkah demi langkah dalam berbagai tahap pembinaan dan pengembangannya” (FC a.65)
Romo Dwi Joko menuturkan dari sekitar seratus kasus pernikahan yang telah ditangani oleh Tribunal Keuskupan Surabaya dalam kurung waktu tiga bulan ini sangat bervariasi, mulai dari masalah ekonomi sampai pada alasan tekanan psikologis. Walaupun Gereja dapat membatalkan (menyatakan tidak sah, bukan cerai) sebuah pernikahan karena alasan ekonomi, psikologi, atau karena ucapan janji pernikahan di depan imam yang tidak dari hati (simulasi), namun gereja tetap menyarankan agar para pasangan tersebut tetap mempertahankan pernikahan tersebut, dan mulai belajar untuk dapat menerima dan memahami pribadi pasangannya.
Lebih lanjut Romo Dwi Joko menegaskan bahwa pria dan wanita yang akan membangun pernikahan tidaklah cukup hanya bermodalkan cinta. Mereka harus menyadari dan mempertimbangkan kesehatan, ekonomi, psikologi, serta kehidupan religius, karena pemahaman yang dalam akan nilai-nilai perkawinan, akan membawa pasangan tersebut pada penghargaan yang tinggi pada perkawinan mereka.
Keluarga muda Katolik perlu menyadari bahwa keluarga adalah tempat memanusiakan masyarakat dan merupakan kunci membangun dunia yang manusiawi, menyalurkan nilai-nilai cintakasih, serta terutama mewujudkan kerajaan Allah di Dunia.
Kunci mempertahankan pernikahan adalah “bercerai dengan diri sendiri” dan menjadi satu dalam Kristus Yesus sang Cinta, sehingga duka maupun kebahagiaan bukan milik masing-masing individu, melainkan milik satu keutuhan keluarga.

Agnes Lyta Isdiana / Abner Paulus Raya

Perlu Biro Konseling Keluarga di Wilayah

Di Surabaya ada beberapa kelompok kategorial yang memikirkan tentang keutuhan rumah tangga dan terus-menerus mengingatkan umat akan janji suci perkawinan. Seksi Keluarga Paroki St. Vincentius A Paulo Widodaren Surabaya adalah salah satunya.
Ketika didaulat menjadi ketua Seksi Keluarga, Nicolaus Ferrandy Irwantoro, (43) harus memutar otak merancang program agar umat di parokinya mengenal apa itu Seksi Keluarga. Hal ini dikarenakan Seksi Keluarga di Paroki Widodaren sempat mengalami pasang surut sampai akhir 2005. “Setelah dari kelompok ME (marriage encounter) saya diminta oleh dewan paroki untuk membantu seksi keluarga,” kisah ayah dari Edo (17), Audy (14) dan Juan (6) ini.
“Awalnya memang sulit. Mungkin karena tingkat sosial, ekonomi dan pendidikan umat di paroki kami mayoritas dari kelompok menengah ke bawah, sehingga tidak banyak waktu luang untuk mengembangkan diri” kata Irwantoro yang berprofesi sebagai dokter gigi ini. Usaha mengadakan seminar tentang seks pernah dicoba, namun tidak banyak umat yang merespons acara ini meski temanya menarik.
Dengan dukungan dari Rm. Widayaka, CM sebagai penasehat seksi keluarga paroki, Irwantoro ingin mewujudkan impiannya untuk membuat semua umat di paroki lebih mengenal dan lebih aktif dalam setiap kegiatan seksi keluarga. Entry point (pintu masuk) yang ditempuh pria asli Semarang ini adalah dengan menggelar kegiatan yang menyenangkan umat.
Seperti saat Sabtu, (5/1) lalu, misalnya, seksi keluarga membuat acara gathering bagi suami-istri di balai paroki dimana balai paroki disulap menjadi seperti di pantai dengan mendatangkan pasir asli dari pantai. “Kami juga melakukan pendekatan dengan cara mengadakan ulang tahun janji pernikahan setiap tahun dalam dua periode, Januari sampai Juni dan Juli sampai Desember. Kegiatan rutin seperti pembinaan orangtua bagi calon komuni pertama juga tetap berjalan” tuturnya.
Suami dari Vincentia Corena Rachmawati Hadi (43) ini juga punya harapan agar paroki bisa lebih mendukung. “Kalau paroki bisa menganggarkan dana lebih banyak, kegiatan bisa lebih beragam. Saya punya angan-angan setiap wilayah punya biro konseling, tempat konsultasi bagi keluarga yang punya masalah, tanpa harus “lari” ke romo,” sambungnya.
Selain di seksi keluarga paroki, lulusan Universitas Trisakti tahun 1988 ini juga aktif di beberapa LSM, seperti PKB ( Perkumpulan Keluarga Berencana ) Jatim, Yayasan Anak Prasa (yayasan yang menangani anak-anak di pedesaan), dan YKAI (Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia).
Masih menurut penuturannya, tugas dari seksi keluarga paroki Widodaren adalah pemberdayaan sumber daya manusia, (khususnya keluarga) agar lebih maju, baik secara iman maupun wawasan. Secara kelembagaan, Seksi Keluarga juga diharapkan bisa membantu mengatasi permasalahan-permasalahan yang berhubungan dengan keluarga.
Irwantoro yang asli Semarang ini titip pesan agar dalam menghadapi tantangan hidup yang besar dan tuntutan ekonomi yang terus meningkat, keluarga sebagai “gereja kecil” diharapkan bisa memberikan perhatian sepenuhnya kepada anak-anak, karena bagaimanapun juga anak-anak adalah masa depan gereja.
Menutup bincang-bincang di rumahnya yang asri, Irwantoro mengungkapkan keprihatinan tentang kemajuan teknologi informasi seperti internet yang jika tidak dimanfaatkan dengan benar akan merusak moral dan akhlak.
Komplekstitas masalah keluarga di jaman modern ini memang harus diantisipasi dengan terus mengembangkan kualitas diri agar tidak gampang terseret arus.

Fransiskus Gandhi

Pasar

Membaca kisah tentang Slamet (45) pedagang gorengan di Jakarta yang bunuh diri karena pendapatannya terus menurun akibat naiknya harga tepung terigu, tempe, tahu dan minyak tanah adalah membaca tentang negara yang gagal (failed state).
Membayangkan tentang tubuh ayah empat anak yang menggantung di tengah kamar, dengan seutas tali plastik melilit di lehernya adalah membayangkan tentang “negara yang belum selesai”.
Suami dari Nuriah (40) ini adalah kepala rumah tangga biasa yang menggantungkan hidup anak dan istrinya pada dagangan gorengan di pinggir jalan (Kompas, 17/1).
Mungkin dia tidak tahu mengapa negara mengijinkan impor kedelai sehingga harga kedelai lokal sangat dipengaruhi harga kedelai dunia. Barangkali dia juga tidak mahfum mengapa harga barang kebutuhan pokok –yang sangat dibutuhkan oleh jutaan orang di negeri ini- begitu gampang diombang-ambing oleh harga minyak dunia.
Yang dia tahu pasti adalah jika modal dagang sehari Rp 50.000 dan setelah sebulan pendapatannya sehari tidak beranjak dari kisaran Rp 35.000 maka dagangan ini tidak bisa diteruskan.
Mungkin dia terlalu nekat atau putus asa, tapi negara punya andil bagi keputusan yang dia ambil. Sistem ekonomi negara ini tidak berpihak pada orang-orang kecil seperti Slamet. Dia berpihak pada hiruk-pikuknya pasar. Itulah kenapa Gereja menyebutnya dengan istilah “poros pasar” dimana hukum yang berlaku adalah hukum rimba, siapa yang kuat dia yang menang. Survival for the fittest.
Sialnya, di negara ini, poros pasar sudah terlalu “mesra” dengan poros negara. Poros pasar diwakili oleh perusahaan-perusahaan asing dan milyader-milyader lokal. Poros negara diwakili oleh para birokrat dan politisi yang punya kuasa mengatur kehidupan kita.
Klop. Uang dan kekuasaan berjumpa di titik yang sama dan bergerak ke arah yang sama bernama “kemakmuran diri sendiri”.
Satu poros lagi yang perlu disebut, dimana Gereja Katolik berpihak padanya yaitu poros warga/masyarakat. Di poros ini, Gereja (baca: kita) menyatakan keprihatinan, pembelaan dan bekerja untuk terus-menerus memberdayakannya. “Koalisi jahat” antara poros pasar dan poros negara akan bisa “ditaklukkan” saat poros warganya kuat dan berdaya.
Jutaan orang seperti Slamet sedang meratap nelangsa di negara ini. Seluruh usaha, doa dan hening kita hanya pantas untuk mereka.

Yudhit Ciphardian

Kirim email


Nama
Alamat email
Subject
Pesan
Image Verification
Please enter the text from the image:
[ Refresh Image ] [ What's This? ]

Klik Dapat Dollar

Menjadi member Paid To Click

Klik Dapat Dollar