Cover Edisi Mei 2008


Cover Story
Nama : Anastasia Shanti Nurviana
Ttl : Yogyakarta, 28 februari 1983
Pekerjaan : Karyawan RS. Vincentius A Paulo, Surabaya

Nama : Andrew Junarto
TTL : Jember, 24 Juni 1982
Pekerjaan : Merchandiser

Perbedaan Itu Indah

Salam Damai Kristus,
Sulit disangkal, perbedaan kadang membuat sesuatu menjadi indah. Perbedaan mungkin menciptakan sedikit riak dalam hidup. Tapi, sesungguhnya ia dapat meningkatkan kualitas hidup ketika kita mampu toleran dan mau belajar dari riak-riak itu. Ini semua memang tergantung cara pandang, tapi bagaimana jika hati yang berbicara? Masihkah perbedaan itu dianggap sebagai riak, atau percikan yang menyegarkan?
Kami ingin membuktikan bahwa ketika hati berbicara dan cinta tumbuh, maka perbedaan justru menjadi pondasi yang menguatkan. Pasutri yang kami jumpai di edisi ini berbeda latar belakang, namun hati dan cinta mereka sudah menyatu dan mengalahkan perbedaan itu.
Kesempatan berjumpa dengan Uskup Tanjung Selor, Kalimantan juga kami manfaatkan untuk berbicara banyak hal tentang keluarga di rubrik Kabar.
Kiriman foto perkawinan dalam rubrik Romansa juga masih kami tunggu selain resep-resep nikmat di rubrik Bapak Memasak.
Kami mohon maaf jika kenikmatan Anda membaca edisi IV (April 2008) lalu terganggu oleh kualitas cetakan yang buruk di beberapa halaman. Kami bertekad untuk memperbaikinya di edisi-edisi selanjutnya. Tentu saja dengan dukungan -dalam berbagai bentuk- dari Anda.  Tabik. Yudhit Ciphardian

Biji Sesawi Dari Gunung Kelud

Meletusnya gunung kelud pertama kali pada tahun 1949, merupakan saksi bisu pengenalan iman katolik yang lebih mendalam bagi Hubertus Redjo. Pasalnya meletusnya gunung yang terletak di kota tahu kediri ini bertepatan dengan perjanjian sakramen baptis yang diterimanya. pak Jo, begitu ia lazim disapa, adalah salah satu umat paroki Kristus Raja, yang tahun pembaptisannya bertepatan dengan gunung yang sampai sekarang masih aktif ini meletus. ”saya dibaptis saat gunung kelud pertama kali meletus mas”, katanya.
Di daerah sekitar stadion Tambaksari, semua orang pasti tidak asing dengan nama pak Jo. Sebab bapak tua yang kini usianya telah genap 76 tahun ini sehari-hari bekerja sebagai tukang parkir. Beban hidup tak dirasakan sebagai rintangan. Bahkan terik matahari yang selalu menyirami tubuhnya adalah bentuk kegigihan dari perjuangan hidup.
Sebelum menjadi tukang parkir pak Jo pernah bekerja sebagai pemborong tukang cat, menerima panggilan mulai dari Jakarta, Purworkerto, Bumiayu, Probolinggo dan kota-kota besar lainnya.
Menjadi juru parkir harus selalu dalam kondisi fit. Karena melihat usia yang tidak muda lagi suami dari Dasmi (58) ini harus pintar menjaga kesehatan. ”Saya selalu minum kopi paitan dicampur dengan garam” ujarnya mencoba memberikan resep dalam menjaga kondisi tubuh agar selalu fresh.

Saat ditemui dirumahnya, kakek asli kota gudeg ini menuturkan kisahnya menjadi tukang parkir. Dengan logat jawa yang masih kental ia berkisah tentang peliknya hidup. ”sebelum menjadi tukang parkir dulu saya bekerja di kelurahan sebagai penjaga. Tetaapi karena ada suatu masalah akhirnya saya diberhentikan”, kisahnya. Meski diberhentikan dari pekerjaan pak Jo masih merasa beruntung karena ada warga menolongnya, namanya pak Ampi. ”yo wis pak jo, pak jo kerja disini saja sebagai tukang parkir nanti setiap bulan saya gaji” kenangnya.
Selama kurang lebih 6 tahun mengais rejeki menjadi tukang parkir banyak hal yang membuat penggemar olah raga kasti ini selalu was-was ketika mendapat giliran jaga malam. ”nang kene akeh malinge mas” (disini banyak pencurinya mas). Pernah suatu hari pak Jo harus dipotong gajinya hanya gara-gara untuk nempui barang yang hilang.
Menjaga parkir khusus mobil pemilik warga perumahan jalan nanas mungkin tak seberapa berat bagi sebagian orang, tapi bagi pak Jo bekerja mulai dari jam 6 pagi hingga 6 sore tanpa ada hari libur adalah suatu tanggung jawab yang berat. Dari hasil jerih payahnya pak Jo mendapatkan gaji 300 ribu hingga 400 ribu untuk per bulan. Pendapatan yang tak begitu banyak, namun pak Jo tetap mensyukurinya.
Saat ditanya tentang keluarga-keluarga muda saat ini, pak Jo mengatakan bahwa anak-anak muda sekarang tak seperti dulu, ibaratnya kebo nyusu gudel (orang tua menurut sama anak). Pak Jo membandingkan dengan anak muda dulu lebih nurut. Merasa prihatin, ia ingin memberikan saran untuk pasangan yang akan menikah ”sebelum menikah sebaiknya dipikirkan dulu, ojok sampai ngeropoti wong tuwo (jangan sampai merepoti orang tua), dilihat dulu, bibit, bebet dan bobotnya” ujarnya sambil tersenyum.
Berbicara mengenai kehidupan rohani, pak Jo mengaku tak pernah ada masalah meskipun berbeda kenyakinan dengan sang istri yang memeluk Islam. Perbedaan kenyakinan yang dianut dalam keluarga ini bukanlah suatu halangan bagi keduanya, malahan mereka bisa saling bertoleransi antara satu sama lainnya. ”kalau waktunya sholat, istri saya ya saya suruh sholat dulu,” tutur pria yang menikah pada tahun 1968 di kota Yogjakarta ini. Banyak hal besar dalam hidup yang harus kita perjuangkan, dan semuanya harus dimulai dari hal yang terkecil.

Dikalangan warga gereja sendiri maupun tempatnya sehari-hari mengais rejeki, pak Jo dikenal cukup baik, murah senyum dan mudah bergaul dengan siapa saja. Kesederhanaan yang dimiliki pria periang ini membuat semua orang iba bila melihat di masa tuanya masih harus bergelut dengan kerasnya kehidupan. Termasuk tantangan selama kurang lebih 40 tahun berumah tangga dengan wanita asli Banyumas tanpa dikaruniai anak. Meski demikian semangat untuk tetap bertahan hidup selalu tertanam dalam hatinya.
Saat pagi sebelum matahari tampak Pak Jo bergegas ke gereja untuk mengikuti misa pagi. Menurut beberapa warga di lingkungan, pak Jo tak pernah absen bila ada doa lingkungan. Hal ini dibenarkan oleh salah satu warga yang tahu betul tentang hidup pak Jo.
Pak Jo selalu bersyukur bahwa di sela-sela kesibukannya bekerja dia masih bisa menyisakan waktunya pergi kegereja menyapa Tuhan dengan penuh syukur. Imannya yang sekecil biji sesawi tetap dipelihara sebagai landasan hidupnya. Pak Jo berharap di usianya yang masih tersisa itu ia akan tetap mencintai Tuhan.

Fransiskus Gandhi Muda

Benturan Modernisasi dan Adat Istiadat

Keluarga adalah unit masyarakat yang terkecil. Maka kondisi keluarga sangat dipengaruhi oleh kondisi masyarakat di sekitarnya. Kondisi keluarga Katolik di Keuskupan Tanjung Selor tentunya berbeda dengan kondisi keluarga di Surabaya. Keluarga-keluarga di masing-masing daerah itu diikat oleh konteks budaya dan sistem sosial yang berbeda. Mgr. Justinus Harjosusanto, MSF, Uskup Tanjung Selor memaparkan kondisi keluarga serta tantangan-tantangan yang dihadapi oleh keluarga Katolik di salah satu keuskupan di pulau Kalimantan ini.

”Pada dasarnya, masyarakat di Tanjung Selor dapat dipetakan menurut lingkungan tempat tinggalnya. Yang pertama yaitu masyarakat yang tinggal di pedalaman, masyarakat perkotaan di Tarakan, dan masyarakat yang tinggal di daerah transmigrasi. Kondisi-kondisi keluarga dalam masing-masing masyarakat tersebut sangat berbeda,” papar Ketua Komisi Kepemudaan (Komkep) Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) ini.
Keluarga-keluarga yang tinggal di pedalaman misalnya, merupakan keluarga-keluarga besar yang tinggal bersama dalam satu kampung. Karenanya, kehidupan perkawinan juga sangat dipengaruhi oleh adat dan tradisi. Keluarga-keluarga ini hidup dalam lingkungan yang komunal. Ikatan-ikatan tradisi sangat kuat mengikat aspek-aspek kehidupan keluarga. Dalam hal pendidikan anak misalnya, orang tua cenderung longgar dan tidak terlalu menerapkan aturan yang ketat pada anak. Anak diberi kebebasan untuk memilih apa yang ingin dilakukan. Ketika si anak tidak ingin sekolah, maka hanya dibiarkan saja. Orangtua memberikan pengarahan yang ketat pada anak hanya dalam hal perkawinan. Dalam masyarakat Kalimantan di pedalaman, sangat marak terjadi pernikahan dini, dan hal tersebut merupakan bagian dari tradisi.
Monsinyur Harjo (demikian beliau akrab disapa) yang dijumpai Harmoni di sela-sela acara Komkep se-Indonesia di Jatijejer Mojokerto awal April lalu melanjutkan gambarannya tentang keluarga di keuskupannya. Di Tarakan, tantangannya nyaris sama seperti keluarga di kota-kota besar lainnya. Persoalan utamanya adalah pendidikan formal. ”Pembangunan sarana pendidikan di Tarakan dan sekitarnya sebenarnya sudah cukup bagus, namun sayang sumber daya manusianya sangat kurang. Profesionalisme juga guru kurang terjaga, ” tutur Uskup yang dikenal dekat dengan dunia orang muda ini. ”Sekolah-sekolah Katolik jumlahnya cukup banyak, namun hanya berada di perkotaan,” lanjutnya.
Kesulitan utama Gereja dalam membina keluarga-keluarga Katolik di keuskupan Tanjung Selor berkaitan dengan persoalan jarak. Jarak antara paroki yang satu dengan yang lain sangat jauh. Ditambah dengan sarana dan prasarana transportasi yang kurang memadai. Luas wilayah keuskupan ini juga cukup besar. Namun gereja sudah mulai berhasil menanamkan pendidikan-pendidikan pastoral keluarga, terutama bagi keluarga Katolik di pedalaman. Kini, kasus-kasus pernikahan dini sudah jauh berkurang. Gereja dengan tegas melarang adanya pernikahan anak-anak di bawah umur.
Agnes Rosari Dewi

Nikah Dengan Orang Batak, Tetap Saja Luwes

Tak mudah bagi pasangan beda suku untuk memahami bagaimana kecintaan pada adat dan budayanya. Bagi Feable Alexius Pakpahan (39) yang asli tanah Batak keuletan dalam membina keluarga beda adat adalah bentuk lain perjuangan menempuh keluarga harmonis.
Alex, begitu ia lazim disapa. Bapak dua anak yang masih kagok berbahasa Jawa ini mengaku tak begitu kaget ketika meminang gadis Jawa yang berbeda adat. Cicilia Hilda Tokki Diana (33), adalah gadis asal Madiun yang menjadi pilihan untuk menjadi pendampingnya. Ibu dua anak yang biasa dipanggil Tokki ini hingga sekarang masih memegang janji pernikahannya untuk mendidik anak-anaknya dengan baik.

Terhadap perbedaan adat dan suku tidak terlalu menyulitkan keduanya untuk saling menyesuaikan. Pasangan ini tetap saling mencintai dan berselaras dalam membangun rumah tangga. “Kita lebih fokus memikirkan kebersamaan dalam keluarga ketimbang mempersoalkan perbedaan adat” tandas perwira berpangkat Mayor ini.
Bagi Tokki sang istri, menjadi suami Alex asal Batak yang adat dan budayanya jauh berbeda tak mengalami kesulitan berarti. Ia bisa menerima dengan perbedaan itu. Hal ini menurut Tokki karena saat masih dibangku kuliah ia sudah terbiasa bergaul dengan teman dari berbagai suku. Bahkan Tokki mengaku saat masih pacaran dengan Alex ia bisa lebih nyaman. “Bang Alex itu orangnya keras, tapi tegas. Saya tidak tahu, ini karena ia tentara atau karena adat Bataknya, tapi saya justru merasa nyaman” tukas Tokki dengan nada lembut.
Saat ditanya tentang bagaiamana keluarga besarnya menerima perbedaan adat baik Alex dan Tokki mengaku keduanya bisa menerima. Bahkan keluarga Alex tampak luwes memakai adat Jawa saat uapacara perkawinan berlangsung.
Dari keluarga Alex hingga kini masih mengharap dan menunggu dari perkawinannya yang belum memakai adat Batak. Itu berarti Alex masih punya “utang” terhadap keluarga besarnya yakni harus memenuhi perkawinannya yang belum ‘diadati”.
Pasutri yang sakramen perkawinannya diberkati pada 21 Juli 2001 di Gereja St. Cornelius Madiun ini telah dikaruniai dua orang putri, Cornelia Rahel Rucita Pakpahan (6) dan Anastasia Oktavia Masha (5). Terhadap kehidupan sehari-hari ada adat yang masih dipegang kuat. Misalnya, anak pertamanya ketika menginjak usia 7 bulan juga ‘diadati’ dengan ritual tedak siti.
Meski hidup dalam tradisi Jawa Alex tetap berupaya memperkenalkan adat Batak kepada istri dan kedua putrinya. Hal ini semata-mata supaya anak tidak asing terhadap adat dan budaya ayahnya. Banyak media untuk memperkenalkan adat kepada anaknya. Salah satunya adalah mengikuti pertemuan-pertemuan keluarga besar Batak. “Anak dan istri selalu saya ajak ikut arisan dan pertemuan-pertemuan keluarga Batak” tutur pria alumnus FKIP Unika Atmajaya Jakarta yang kini menjabat sebagai Ketua Primer Koperasi Angkatan Laut LANMAR Surabaya.
Aloysius Suryo

Terbiasa Dengan Ragam Budaya

Cina, Belanda, Jawa. Multiculture family inilah yang cocok untuk menggambarkan latar belakang budaya keluarga pasangan Leonard Toni Harjosetiko (55) dan Elfrida Maria Candra (52). Bagaimana tidak, Tony (sapaan akrab) lahir dari keluarga dengan latar belakang Cina dan Belanda. Ayahnya adalah seorang keturunan Cina Banjar sedangkan Ibunya orang Belanda. Maria sendiri lahir dari pasangan Cina - Jawa yang menurut pengakuanya sudah sangat kental dengan tardisi Jawa.

Kisah pertemuan pasangan ini, mirip kisah sinetron “tetanggaku idolaku”, maklum meraka dulunya bertetangga. Hubungan mereka kemudian berlanjut ke tahap pacaran, setelah Tony memutuskan untuk tidak melanjutkan studinya di Seminari Garum karena alasan kesehatan. “Bapak tidak mau dibilang gagal jadi pastor, namun karena ia sering sakit” tutur ibu Maria.
Pasangan yang menikah, pada tangal 16 april 1978 di gereja St. Vincentius A Paulo, Widodaren mengaku sangat bersyukur atas kebahagian yang mereka rasakan hingga saat ini apalagi setelah putra bungsunya berhasil menyelesaikan studi di perguruan tinggi Universitas Airlangga sebagai sarjana ekonomi. Dari pernikahannya kedua pasangan ini, dikaruniai tiga orang anak, Yosephin Filia Wonda (29), Leonora Fransiska Maria Wonda (28), Stefanus Norman Wonda (26).
Tentang tradisi dalam keluarga, Maria menuturkan bahwa keluarga mereka sudah terbiasa hidup dalam keragaman budaya, jadi perbedaan latar belakang budaya yang dimiliki keduanya bukanlah masalah yang serius. Ibu tiga anak ini mencontohkan ketika perayaan tahun baru Cina seluruh keluarganya ikut merayakan, begitu juga dengan tradisi jawa seperti menyambut kelahiran bayi, silaturahmi dengan kelurga dan sebagainya.
Semangat menghargai perbedan budaya inilah yang diajarkaan oleh kedua pasangan ini kepada purta-putri mereka. “ Bagi kami, perbedaan budaya bukanlah penghalang dalam pergaulan maupun dalam memilih pasangan hidup anak-anak, dari suku manapun yang penting saling cinta, kenapa tidak. Yang terpenting bagi kami adalah seiman” tegas wanita yang saat ini menjabat sebagai ketua lingkungan.
Ini kembali menegaskan komitmen mereka terhadap perbedaan suku, karena bagi mereka ketika kita saling menghargai, menghormati dan menjujung tinggi nilai-nilai kebudayaan maka perbedaan itu justru menjadi ikatan yang kuat dalam keluarga. Hal ini tidak mungkin terjadi begitu saja, pasangan yang merayakan hari jadi pernikahan nya yang ke-30, tanggal 16 april lalu, mangatakan bahwa nilai-nilai tersebut harus diajarkan kepada anak-anak mereka. Anak-anak tidak dikekang dalam pergaulan, biar meraka sendiri yang menentukan apa yang terbaik bagi meraka. Jadi, selaku orang tua tidak perlu kawatir dengan pergaulan anak-anak, karena mereka sudah dibekali dan diajarkan tentang menghormati dan menghargai perbedaan.
Yonathan Beda Turra

Orang Manado itu Heboh Top Markotop

Perbedaan bahasa, adat dan tata cara berprilaku dalam kehidupan sehari-hari yang dirasakan Clara Cahaya Candra Sari (42) dengan Antonius Lody Gumansalange (48) tak begitu dirasakan sebagai hal yang merepotkan. Hanya bagi keluarga besar Clara awalnya agak kaku menerima budaya keluarga Lody. ”Orang Manado itu srondolan, kalau ngomong heboh top markotop” tutur Clara tanpa menjelaskan arti srondolan yang dimaksud. Namun sedikit demi sedikit perbedaan itu bisa diterima dalam keluarga Clara yang asli Jawa.

Dalam banyak hal, pasangan Clara-Lody selalu berusaha untuk tetap rendah hati. Suami istri Jawa –Manado yang sakramen perkawinannya diberkati oleh Romo Soenaryo, CM pada 14 Nopember 1991 ini tampak sumringah dalam menghadapi segala hal, termasuk ketika Tuhan belum memberikan buah hati kepadanya. “Tuhan pasti punya rencana yang terindah bagi saya, “ tutur Clara sapaan akrabnya.
Hal yang tak mengagetkan dalam keluarga besar Clara adalah kebiasaan keluarganya yang memiliki menantu dari berbagai macam suku. Saudara-saudara Clara ada yang berjodoh dengan orang Ambon, Arab, Cina, Belanda dan Palu. “ Pokoknya keluarga saya keluarga demokrat.” imbuh ibu yang tertarik memeluk Katolik karena bermimpi didatangi Bunda Maria ini.
Ditanya tentang perkawinannya dengan Lody yang asli Manado, Clara mengaku bahwa semuanya Tuhan yang mengatur. Diceritakannya bahwa ia berasal dari keluarga muslim yang taat. Tentu tak pernah ia sangka bahwa kelak ia akan memeluk agama Katolik yang kini diyakininya. Yang lebih mengherankan bahwa nama Clara diberikan ibunya saat ia masih memeluk islam. “Ibu saya tidak tahu bahwa nama Clara itu nama seorang santa yang kudus,” jelas Clara bersemangat.
Bagi Clara-Lody yang adat dan kebiasaannya jelas-jelas berbeda justru kian memantabkan langkahnya untuk berjuang demi keluarganya. “Mengenai adat dan budaya tidak penting bagi saya, justru yang terpenting adalah masalah iman, jelas Lody yang juga alumnus Universitas Surabaya ini.
Tentang perkawinannya yang sudah dijalani selama 17 tahun telah memberikan banyak makna yang dipetik. Harapan dan kecemasan seolah menyatu menjadi piranti yang tak dibiarkan tercecer tanpa makna. Semua dilakoni dengan satu keyakinan yang tetap bersandar dengan kekuatan Tuhan. Itulah motor penggerak yang selalu menghidupi mesin rumah tangganya.
Clara merasa bersyukur bahwa dirinya yang dulu belum mengenal Katolik, kini bisa memeluknya dengan keyakinan penuh. Ia merasa terbimbing oleh mimpinya yang selalu didatangi Bunda Maria sejak TK hingga beranjak dewasa. Dan akhirnya Tuhan benar-benar melengkapi kebahagiaanya saat ia harus mendapatkan jodoh seorang yang katolik pula. Meski Clara menolak bahwa ia menjadi katolik bukan karena calon pasangannya seorang yang beragama katolik . ” Saya memeluk Katolik murni karena ada yang membimbing dan menggerakkan saya, yakni Bunda Maria sendiri,” tutur Clara sembari matanya menerawang.
Aloysius Suryo

Awalnya Ditolak Karena Beda Agama

Bertanggung jawab dan bisa mengayomi saya dan keluarga, itulah alasan ibu Lusia Siamah yang asli Surabaya (Jawa) mau dipersunting Laurentius pemuda asli Larantuka (Flores) yang sebelumnya tak pernah dikenalnya. Pilihan tersebut laksana petunjuk Tuhan lewat puasa mutih yang sering dilakukan ibu Lusia. Perbedaan usia yang terpaut jauh 15 tahun tidak membuat kesenjangan cinta diantara keduanya. Bahkan ketika menikah usia Lusia baru menginjak 15 tahun dan masih duduk dibangku SMP sedangkan Laurent sudah bekerja sebagai dosen Universitas Negeri Surabaya ( dulu IKIP negeri) sebagai dosen Olah Raga.

Sejak sebelum perkawinan, Lusia berasal dari keluarga non Katolik meskipun ketika SD bersekolah di SD Katarina. Perbedaan agama dan suku tidak menyurutkan langkah Laurent muda untuk meminta restu calon mertua. Awalnya ditolak tapi usaha jalan terus hingga akhirnya mertua luluh dan memberi restu. Sakramen perkawinan yang dicita-citakan akhirnya terberkati pada tahun 1972 dengan cara sederhana disebuah kapel Santa Maria. Saat itu Ia menerima tiga sakramen sekaligus yakni, sakramen permandian, ekaristi dan perkawinan.
Permasalahan berat dan kecil seolah menggurita dalam pasangan ini. Sejak awal pernikahan ibu Lusia sering keluar masuk rumah sakit, terkena amandel, sakit telinga hingga lever yang parah sehingga 3 tahun lamanya tidak boleh turun dari tempat tidur. Otomatis kendali rumah tangga dipegang suami, mulai dari belanja, memasak hingga mengurus rumah dan anak-anak. Iman yang kuat disertai doa dan air mata memberikan mukjijat kesembuhan pada lever bu Lusia.
Masalah tidak berhenti sampai disini, hampir 6 tahun pasangan ini belum dikarunia anak. Tiap ada pertemuan dan ditanya anak, rasanya sakit, namun berkat Novena pada bunda Maria, Tuhan memberi 5 anak untuk melengkapi kebahagiaan mereka, yaitu Maria Margaretha F.A., Aloysius Rubianto F.A., Fransiskus Rendra F.A., Antonius Rusi F.A., Emerensia Rhani F.A. Kini, setelah 36 tahun perkawinan, masalah berat telah berlalu dan menjadi kenangan yang mempererat cinta mereka. Kedamaian adalah hal yang terpenting bagi pasangan ini dan mereka bahu membahu mengatasi masalah yang ada. Masalah memang masih silih berganti namun mereka selalu berserah pada kekuatan Tuhan dan percaya Tuhan selalu menyelesaikan dengan caraNya.
Saling pengertian, mengalah, memahami, pengendalian diri serta cepat menyelesaikan masalah adalah kunci keharmonisan pasutri yang menjadi umat paroki Hati Kudus Yesus ini. Perbedaan tidak harus disamakan melainkan dipahami karena dalam perbedaan selalu ada keindahan dan cinta adalah perjuangan yang tiada akhir.
Yohana Tungga

Beda Itu Seni

“Ada kebiasaan masyarakat Dayak apabila seseorang setelah selesai makan bisa langsung berdiri tanpa menunggu yang lainnya selesai dan itu dianggap wajar-wajar saja, berbeda dengan kebiasaan masyarakat Jawa yang justru sebaliknya. Apabila semua belum selesai makan kurang sopan jika yang sudah selesai makan langsung berdiri atau meninggalkan meja makan”. Salah satu penggalan perbedaan adat dan kebiasaan inilah yang menghiasi lika liku perjalanan pasangan Florensius Pambong (42) dan Bernadette S Rini Darsiani (41). Adat dan kebiasaan Dayak yang melekat pada Florensius tentu saja tidak mudah untuk disesuaikan dengan adat dan kebiasaan Jawa yang melekat pada Bernadette.
Berawal dari hubungan persahabatan yang terjalin pada masa kuliah disalah satu sekolah tinggi ilmu agama di Yogya, pasangan ini kemudian mulai menjalani masa pacaran mereka yang dilakoni selama lima tahun. “Saya merasa seperti tidak pacaran, padahal kita pacaran” tutur Bernadette. Ini lantaran kebiasaan Florensius yang menganggap tabu apabila jalan bergandengan atau berduaan dengan seorang wanita apalagi di muka umum. Bernadette merasa Florensius tidak pernah memberikan perhatiaan dan perlindungan pada dirinya. Meski mereka sempat putus selama kurang lebih setengah tahun namun pada akhirnya hubungan terjalin kembali.
Kejadian unikpun terjadi pada saat Florensius ingin melamar Bernadette. Lantaran orang tua dan kerabatnya tidak bisa hadir pria yang merupakan salah satu tenaga pengajar di SMUK StanisLaus ini meminta Romo Gabriel seorang Misionaris Pasionis yang bertugas di Kalimantan dan pada saat itu kebetulan berada di Malang untuk menjadi orang tua wali untuk melamar. Bagi masyarakat Jawa, orang tua dari pihak laki-laki sendirilah yang harus datang dan melamar calon istrinya, namun apa boleh buat tekad Florensius sudah bulat. “Mungkin karena yang melamar saya waktu itu Romo, orang tua saya mau menerima” canda Bernadette.
Pada saat pemberkatan nikah yang berlangsung di Paroki St Marinus Yohanes, 3 Juli 1994 mereka sepakat untuk menggunakan pakaian adat Jawa namun lagu-lagu yang dinyanyikan dan suasana pernikahan serba Dayak. “kalau mengingat waktu nikah dulu memang terasa aneh tapi itu memang keinginan kami sendiri” kenang Bernadette dan Florensius.
Meski memiliki latar belakang adat yang berbeda kedua pasangan ini berhasil meramunya jadi keluarga yang harmonis dan bahagia. Bagi mereka perbedaan itu bukan untuk dihilangkan namun itu merupakan seni kehidupan. Tapi dalam hal mendidik anak semata wayang mereka Gabriel Antonius Rensa Putra (10) pasangan guru ini sepakat bahwa anak harus diajarkan untuk mandiri, bertanggung jawab dan sopan terhadap siapapun.
Yonathan Beda T.

Masak Menu Daerah Dimakan Sendiri

Perbedaan suku memang bukan selayaknya menjadi halangan bagi terciptanya sebuah keluarga yang harmonis. Pasangan Antonius Paryanto (44), yang asli Jawa dan Fransisca Murni (35), yang asli Bima telah membuktikan bahwa perbedaan budaya tidaklah menjadi penghalang bagi kehidupan perkawinan.
Pasangan ini bertemu di Bima, sebuah kabupaten di Nusa Tenggara Barat, tempat kelahiran sang istri. Kala itu, Fransisca Murni masih berusia sangat belia dan baru akan lulus dari SMA. Namun, perbedaan usia, agama, dan budaya tidak bisa mencegah kedua insan ini untuk saling jatuh cinta. Dengan perjuangan yang panjang, pasangan ini akhirnya memberanikan diri untuk menikah.
“Kala itu, istri saya masih Islam. Orangtua dan masyarakat desa tentu saja tidak merestui pernikahan kami. Untuk menghindari resiko, akhirnya kami putuskan untuk menikah di Surabaya, tidak di Bima,“ papar Paryanto. Saat menikah, Murni masih memeluk Islam, namun seiring berjalannya waktu akhirnya Murni tergerak hatinya untuk menjadi seorang Katolik.
Di awal pernikahan memang beberapa kebiasaan watak yang tidak sama menjadi kerikil-kerikil dalam perkawinan. Orang Jawa seperti Paryanto cenderung “memendam” masalah dan menunggu saat yang tepat untuk membicarakannya. Istrinya lain lagi. Orang Indonesia Timur cenderung blak-blakan dan penuh terus terang. Sebisa mungkin masalah segera dibicarakan. Namun itulah uniknya perbedaan. Masing-masing bisa saling melengkapi.
“Setiap ada kesempatan saya selalu berusaha mencoba menerangkan pada istri, tentang adat dan kebiasaan orang Jawa, terutama di Surabaya,“ tutur Paryanto.
Perbedaan lain di antara mereka misalnya tentang masakan. “Orang Bima sangat menyukai masakan yang asam sekaligus pedas. Kalau saya memasak masakan Bima, maka yang makan ya saya sendiri,“ ujar Murni sembari tersenyum.
Namun perbedaan-perbedaan itu bukan menjadi halangan, malah menjadi warna tersendiri dalam hidup perkawinan keduanya. Pasangan yang tinggal di jalan Bumiarjo, umat Paroki Katedral Surabaya ini telah dikaruniai dua orang anak, putra dan putri, Christina Ayu (15) dan Antonius Dimas (8).

Agnes Rosari

Komitmen Untuk Keluarga Di Tengah Kesibukan



Keseimbangan berbagai aspek untuk mencapai suatu kehidupan keluarga yang ideal sangatlah penting, terutama jika terkait dengan kebutuhan anak. Hal ini menjadi fokus perhatian Anita Lie (44), ibu satu anak, Fellipa Amanta (14) yang baru dikukuhkan sebagai Guru Besar di Unika Widya Mandala. Anita menyoroti kebutuhan anak sebagai suatu kebutuhan yang kompleks, tidak sekedar kebutuhan fisik yang sangat mendasar. “Harus ada balancing (keseimbangan, red) dalam memenuhi kebutuhan anak. Tidak hanya kebutuhan fisik dan motorik saja, tetapi juga kebutuhan moral, emosi serta pendidikan,” ungkapnya. Istri dari Haryanto Amanta (44) ini menunjukkan keprihatinannya tatkala para orangtua seringkali hanya terfokus pada pendidikan dengan mengabaikan aspek yang lain.
Harmoni berkesempatan mewawancarainya di sela kesibukannya sebagai pembicara dalam seminar orangtua di gereja Gembala yang Baik, Minggu, (13/04) lalu. Aktifitas ini sekaligus menjadi bukti keterlibatan dan kontribusinya terhadap perkembangan paroki tempat ia bernaung, di samping seabrek kesibukan lain yang ia jalani sehari-hari.
Bagi Anita yang menikah 18 tahun silam, keputusan menikah sangat terkait dengan kesiapan untuk menjalankan suatu komitmen. “Komitmen bisa berarti ‘to love’, tidak hanya sekedar love. Cinta bisa saja luntur, tapi komitmen tetap harus dipertahankan,” imbuhnya. Baginya, kesakralan perkawinan Katolik harus dipegang teguh. Fenomena kawin-cerai yang terjadi di masyarakat menunjukkan bahwa kesakralan lembaga perkawinan seringkali dijungkirbalikkan oleh egoisme pribadi.
Pengalaman iman yang tak ternilai juga dirasakan Anita dalam kehidupan perkawinannya. Terinspirasi dari salah satu ayat dalam kitab suci tentang mukjizat Yesus yang pertama dalam suatu pesta perkawinan di Kana, ia memaknai pesta tersebut sebagai suatu perjalanan kehidupan perkawinan yang sarat dengan konflik. Ia pun tidak mengingkari bahwa ada kalanya konflik muncul dalam kehidupan perkawinannya. Untuk itu ada dua hal yang perlu dilakukan, yaitu berusaha dan berserah pada kuasa Ilahi, persis seperti yang diharapkan Yesus dalam kisah tersebut.
Parasnya selalu segar, pembawaannya ramah dan low profile. Kesuksesannya adalah buah dari semangat belajar yang tinggi, kematangan pribadi dan karakter yang kuat. Anita Lie dikenal sangat perhatian pada masalah pendidikan. Puluhan tulisannya tersebar di berbagai media cetak lokal maupun nasional dengan tema seputar pendidikan. Pemikirannya diapresiasi positif oleh banyak kalangan, terbukti dari padatnya jadwal menjadi narasumber dalam seminar, sarasehan dan forum-forum diskusi lainnya.
Pengurus Komunitas Indonesia untuk Demokrasi (KID) ini menegaskan bahwa kaedah dan nilai-nilai moral sebagai seorang perempuan, istri dan ibu harus tetap dipegang teguh ketika seorang perempuan mencapai suatu titik keberhasilan lebih dari suami. “Tanpa mengurangi rasa hormat terhadap suami, tidak ada salahnya jika suami dan istri ‘berkompetisi’ secara sehat,” tegasnya.
Kesibukannya yang kian padat membuatnya semakin menghargai waktu, begitu pula dengan momen-momen penting bersama keluarga. Makan malam bersama yang berlanjut dengan doa dan membaca kitab suci bersama disertai dengan refleksi pribadi seakan menjadi ritual yang tak terlewatkan setiap harinya. Keterbatasan waktu bersama keluarga ini pulalah yang membuat Anita selalu berusaha untuk menciptakan suatu relasi yang bermakna dan berkualitas.




DATA PRIBADI

Nama lengkap : Prof. Anita Lie, Ed.D.
Tempat, tgl lahir : Surabaya, 1 Juni 1964
Suami : Haryanto Amanta
Tempat, tgl lahir : Surabaya, 1 Juli 1963
Anak : Felippa Amanta
Tempat, tgl lahir : Texas, 22 Oktober 1993
Tempat, tgl menikah : Amerika, 21 April 1990
Pendidikan :
- Doctor of Education Baylor University, Curriculum and Instruction, 1994
- Master of Arts Baylor University, English Literature, 1991
- Sarjana Sastra, UK Petra, 1987
Pengalaman Akademis:
- Dosen FKIP dan Pasca Sarjana, Universitas Katolik Widya Mandala, 2002-sekarang
- Dosen Program Studi Sastra Inggris, UK Petra, 1987-2002
- Penguji Eksternal Tesis dan Disertasi Department of English, Chinese University of Hong Kong, 2002
- Dosen Tamu : SEAMEO Jasper Lecture/Study Tour, 2001
University of British Columbia, Simon Fraser
University, McGill University, Chulalongkorn
University, University of Brunei Darussalam,
University Kebangsaan Malaysia,
University Putra Malaysia, Yangon University, Assumption University.
- Konsultan Pendidikan Beberapa sekolah dan universitas, 1995-sekarang
- Dosen Tamu Association of Christian Colleges and Universities in Asia (Thailand, Philippines, Korea, Japan, Hong Kong, Taiwan), 1998
- Dosen Tamu South East Asian Ministries of Education Organization
RELC, Singapore, 1996
Pengalaman Administratif:
- Direktur, EduBusiness Consulting, Surabaya, 2002-sekarang
- Dekan, Fakultas Sastra Universitas Kristen Petra, 1999-2002
- Koordinator Mata Kuliah Bahasa Inggris (Reading)
- Program Studi Sastra Inggris, UK Petra, 1998-2001
- Anggota Tim, Rencana Strategis UK Petra 1998-2003
- Staf Ahli, Pusat Penelitian, UK Petra, 1995-1997

Kekuatan Cinta

Yth. Harmoni,

Saat ini saya, Asrie (27 th) berpacaran dengan Andre (28 th). Kami satu iman Katolik dan telah berpacaran selama 3 tahun. Hubungan kami boleh dibilang nyaman namun tidak aman. Selama kami masih pacaran, orangtua Andre tak pernah melarang namun kami tidak pernah diijinkan menikah, terutama oleh ayahnya dengan alasan hari kelahiran kami menurut penanggalan Jawa (weton) tidak baik sebab ketika dihitung akan jatuh pada hitungan yang paling buruk dan tidak hokky.. Sedangkan keluarga saya adalah keluarga yang mempercayai bahwa semua hari adalah baik. Saya dan Andre saling mencintai dan kami berdua sudah bekerja dan berencana membeli sebuah rumah karena tujuan kami memang ingin menikah. Karena umur kami dirasa cukup untuk menikah, keluarga saya mendesak Andre untuk menentukan sikap. Hal ini sempat membuat Andre bimbang. Ada rencana kami menikah tanpa direstui orangtua Andre, namun disatu sisi kami berdua takut disebut anak durhaka. Apakah kami salah jika pernikahan kami hanya direstui keluarga saya saja dan apa benar kami ini anak durhaka jika kami nantinya benar-benar melaksanakan pernikahan tersebut. Bagaimana pandangan Kitab Suci mengenai anak durhaka sehubungan dengan sikap kami ini? Kami benar-benar mohon diberi penjelasan agar kami dapat segera menentukan sikap. Terimakasih atas saran-sarannya.

Asrie - Surabaya


Jawaban

Asrie
Situasi hidupmu memang sulit dan dilematis. Apapun yang kamu pilih akan melukai salah satu pihak dan mungkin juga dirimu sendiri. Memang kita tidak bisa melupakan adat seperti weton dan sebagainya, sebab kepercayaan tentang weton itu sudah terjadi beratus-ratus tahun. Nenek moyang kita, misalnya untuk mengatakan orang yang lahir kamis kliwon tidak cocok dengan orang yang lahir selasa kliwon itu berasal dari pengalaman yang berproses puluhan bahkan ratusan tahun. Mereka belajar dari apa yang mereka alami dan mungkin juga terjadi beberapa kali dalam kehidupan sehingga akhirnya mereka memutuskan bahwa orang kamis kliwon tidak cocok bila menikah dengan orang yang lahir selasa kliwon. Jadi menurut saya ini bukan tahayul tapi sesuatu yang sudah mengalami proses dari mempelajari alam dan kehidupan.

Mei

Pada Mei kita belajar tentang keadilan.
Mei yang kental berbau darah kita kenang pada Tragedi Trisakti. Kejadian sepuluh tahun lalu itu sungguh menyesakkan. Tidak hanya bagi Sumiarsih, yang anaknya tertembak mati di usia belia. Sesak itu juga ada di ulu hati kita. Bagaimana jika suatu saat orang yang kita cintai menjadi tumbal negara, lalu bertahun-tahun kemudian tetap tidak ada yang bertanggungjawab.
Tapi Sumiarsih tidak pernah menyerah. Kini, setiap Kamis sore, sejak tiga-empat bulan lalu, Sumiarsih bersama keluarga korban lainnya berdiam diri di depan Istana Negara, melakukan aksi damai mengingatkan negara untuk tidak gampang cuci tangan. Dalam aksi diamnya itu, mungkin Sumiarsih kerap berbisik ; “semua sudah aku maafkan, wafat anakku sudah aku ikhlaskan, tapi keadilan adalah perjuangan seumur hidupku, demi anak-anak muda yang mati sebagai martir”.

Pada Mei kita belajar tentang keyakinan.
Mei yang heroik-tragis kita kenang pada gerakan mahasiswa bersama rakyat menggulingkan pemerintahan otoriter-korup. Tanpa senjata mereka berhadapan dengan popor dan peluru. Keinginan akan perubahan membakar semangat mereka tanpa lelah berdemonstrasi. Mereka percaya salus populi suprema lex. Kedaulatan rakyat adalah hukum yang utama.
Tapi perjuangan mereka berakhir tragis karena reformasi dibajak di tengah jalan. Politikus tua dengan cerdik memboncengi perjuangan mahasiswa dan naik ke panggung politik dengan topeng yang lebih bersih.

Pada Mei kita belajar tentang cinta pada ibu pertiwi.
Mei yang ada di buku-buku sejarah kita kenang dalam diskusi mahasiswa-mahasiswa kedokteran pada 1908. Anak-anak muda Boedi Oetomo itu meletakkan visi tentang Indonesia jauh ke depan. Tahun ini kita memperingatinya sebagai se-Abad Kebangkitan Nasional.
Mereka adalah mahasiswa-mahasiswa anak orang kaya nan mapan. Mereka bisa saja memilih untuk acuh, bergelut dengan buku dan bergegas menyelesaikan kuliah. Tapi mereka memilih untuk menyisihkan waktu berdebat, berdiskusi dan mereka-reka masa depan, demi ibu pertiwi yang mereka cintai.

Pada Mei kita belajar tentang keteguhan dan kepasrahan.
Mei dalam kalender liturgi kita khususkan untuk berbakti pada Bunda Maria. Kita daraskan devosi sepanjang bulan pada keteladannya. Dia adalah simbol perempuan yang tangguh sekaligus hidup dalam kepasrahan luar biasa. Tidak terlalu banyak kisah tentangnya, tapi dari jejak kisah-kisah itu kita mencintainya.

Inilah kesimpulan pembelajaran paling sempurna sepanjang bulan ini.
Biarlah kita semua selalu teguh hati, yakin, pasrah dan lantas Tuhanlah yang menyempurnakannya.

Kirim email


Nama
Alamat email
Subject
Pesan
Image Verification
Please enter the text from the image:
[ Refresh Image ] [ What's This? ]

Klik Dapat Dollar

Menjadi member Paid To Click

Klik Dapat Dollar