Perpustakaan di Tengah Lokalisasi

Siapa yang tidak tahu lokalisasi Dolly? Lokalisasi yang konon terbesar di Asia Tenggara ini, oleh kebanyakan orang dianggap sebagai sebuah tempat “hitam” yang harus dijauhi. Lalu bagaimana dengan masyarakat yang tinggal di sekitar Dolly yang di dalamnya juga ada anak-anak usia sekolah?

Kisah ini mungkin menakjubkan sekaligus mengharukan. Di tengah deretan wisma-wisma yang hingar-bingar oleh dentuman musik, warna-warni lampu yang suram-suram dan canda tawa para pekerja seks komersial (PSK), ada sebuah rumah kecil yang pantas dikunjungi. Dengan spanduk kumal bertuliskan “Taman Bacaan Kawan Kami,” rumah ini berbeda dengan rumah-rumah di kanan-kirinya. Rumah ini adalah perpustakaan.
Memasuki rumah di jalan Putat Jaya gang IIA no 36 ini, mata kita akan langsung tertuju pada sebuah tulisan, “Kalau mau pintar, yo mbaca rek”. Persis di bawah tulisan itu ada dua lemari yang penuh dengan berbagai macam koleksi buku, mulai dari buku pelajaran sekolah, buku umum, sampai komik. Buku-buku itu tampak berserakan, tanda baru saja ada aktivitas membaca di situ.
Taman Bacaan Kawan Kami (TBKK) didirikan oleh beberapa orang aktivis sosial pada awal 2007. Tujuannya adalah menyediakan bacaan untuk menambah pengetahuan bagi masyarakat sekitar. Tujuan lainnya adalah untuk membentengi anak-anak di daerah lokalisasi dari pengaruh negatif lingkungannya.
Adalah Kartono (45), salah satu aktivis LSM Abdi Asih yang bertugas mengelola secara penuh TBKK. Pria kelahiran Banyuwangi 29 Agustus 1963 ini merasa yakin bahwa anak-anak di kawasan ini tidak banyak berbeda dengan anak-anak di daerah lain. Hanya saja, mereka terpaksa tinggal di tempat di mana “aktivitas orang dewasa” dilegalkan. Kartono yakin bahwa sebuah taman bacaan akan menjadi sebuah tempat yang penuh keajaiban dengan buku sebagai guru yang jujur bagi pembentukan karakter anak-anak tersebut.
Sebagai aktivis sosial, Kartono telah banyak makan garam kehidupan sebelum akhirnya memutuskan mencurahkan perhatian mengelola TBKK. Kartono yang lulusan STM Pembangunan (sekarang SMKN 5) ini pernah bekerja di Dinas Perairan. Selepas itu ia pernah menjadi montir di bengkel, sampai akhirnya terjerumus menjadi seorang mucikari.
“Saat keluarga di Yogya tahu saya menjadi mucikari, mereka menjauh. Istri dan anak-anak tidak mau bertemu dengan saya. Setiap saya pulang ke Yogya, mereka malah pergi,” kenangnya dengan mata menerawang. Titik balik hidup Kartono terjadi saat bulan Ramadhan 2006. Perkenalannya dengan beberapa aktivis sosial yang sedang berkarya di Dolly memantapkan hatinya untuk berhenti dari “pekerjaan hitamnya”. Teman-temannya memperkenalkan sebuah dunia baru yang lebih berharga. Sejak saat itu, Kartono mencintai aktivitas sosial yang belum lama dikenalnya.
Seiring dengan makin sibuknya Kartono dalam dunia barunya, hubungan dengan keluarga juga semakin baik. “Dengan aktif di bidang sosial ini, saya ingin menunjukkan pada anak dan istri bahwa saya sudah bertobat dan bahwa saya adalah suami dan ayah yang bisa dibanggakan,” tuturnya sembari menyesali masa lalunya.
Dengan dukungan semangat dan modal dari teman-temannya, Kartono telah mewujudkan keyakinannya bahwa perubahan dapat dilakukan dimanapun, kapanpun dan oleh siapapun. Baginya bekerja dengan hati adalah hal yang paling penting. “Banyak lembaga-lembaga sosial yang masuk ke tempat ini. Namun setelah mengambil data atau jadwal programnya selesai, mereka keluar begitu saja,” ujar Kartono tampak sedih.
Kartono berharap banyak pihak yang mau membantu perpustakaan kecilnya ini agar jangan sampai tutup. Kartono juga berharap agar perpustakaan ini dapat menjadi tempat belajar dan penyadaran bagi para PSK. “Minimal mereka sadar resiko pekerjaanya, sehingga dapat lebih berhati-hati. Syukur-syukur mereka mau keluar dari dunia hitam ini,” lanjutnya.
Kartono sadar bahwa TBKK kalah bersaing dengan televisi dan permainan PlayStation yang digemari anak-anak. Namun, dia sungguh yakin bahwa TBKK ini akan dilirik dan disinggahi orang. “Fungsi buku sebagai jendela dunia tidak bisa digantikan oleh apapun,” katanya mantap. Mimpi paling indah bagi Kartono adalah, “Saya ingin semua anak-anak di sini dapat melanjutkan studi hingga perguruan tinggi.” Kartono ingin agar rantai kehidupan antara si anak dengan lokalisasi tempatnya tumbuh dapat terputus tanpa bekas.
Tantangan terbesar sebenarnya bukan pada pengelolaan TBKK, tapi pada rendahnya minat baca dan kurangnya penghargaan pada perpustakaan. Kepala Badan Arsip dan Perpustakaan Kota Surabaya Arini Pakistyaningsih mengatakan bahwa hanya 1% dari 2,8 juta warga Surabaya yang tercatat pernah berkunjung ke perpustakaan kota (Kompas, 21/05).
Karya Kartono dengan taman bacaannya telah memberikan kita semua pelajaran bahwa untuk melakukan sebuah perubahan hanya butuh keyakinan dan kerja keras.

Abner Paulus Raya

Momentum Bangkitnya Sekolah Katolik

Pendidikan Katolik sedang menjadi sorotan umat sehubungan dengan diterbitkannya Surat Gembala Tahun Pendidikan oleh Uskup Surabaya Mgr Sutikno Wisaksono.
Harmoni melacak langsung ke sumbernya, apa sesungguhnya keprihatinan yang mendasarinya terbitnya Surat Gembala ini.
Berikut petikan wawancara serius tapi santai bareng Uskup Sutikno setelah disunting seperlunya :

T: Apa yang bisa diandalkan dari pendidikan Katolik?
J: Dalam pendidikan Katolik yang bisa diandalkan adalah pendidikan nilainya. Kita perlu “developing virtue in children through parents and teachers colaboration”. (mengembangkan kebajikan melalui kolaborasi orangtua dan guru – Red). Nilai-nilai Katolik itu harusnya tidak hanya di dapat di sekolah tapi juga di rumah.
Di Filipina, orangtua dan guru saling mendukung. Di sana orangtua diperbolehkan berkunjung ke sekolah untuk berdiskusi dengan guru soal perkembangan anaknya. Jadi orangtua ke sekolah bukan karena panggilan sekolah saja. Di sini, kalau orangtua ke sekolah itu berarti anaknya nakal sekali atau pintar sekali.
T: Kalau pendidikan nilai yang diandalkan, lantas apa harapannya?
J: Sekolah Katolik dan orangtua (wali murid) harus bekerja sama menciptakan model pendidikan yang integral. Pendidikan harus bisa membuat seseorang menjadi lebih manusiawi. Otaknya terisi, akhlak dan hatinya juga.
T: Baru kali ini Keuskupan Surabaya menetapkan satu tahun khusus sebagai Tahun Pendidikan. Menurut kami ini sangat strategis dan progresif. Apa sebenarnya latar belakang munculnya Surat Gembala kemarin?
J: Sejak tahun 2000-an sekolah Katolik mengalami kemunduran dan penurunan mutu. Di desa-desa banyak sekolah yang kembang-kempis dan harus ditutup. Pertama, banyak sekolah Katolik di desa yang mengalami penurunan karena jumlah anak sedikit, apalagi ditambah kemunculan sekolah-sekolah negeri yang bagus. Kedua, minus guru berdampak juga terhadap menurunnya kualitas guru. Ketiga, fasilitas gedung juga 10 tahun juga mulai rontok. Keempat, minus misi.
T: Indikator pertama sampai ketiga tadi jelas, tapi yang keempat yaitu minus misi, indikatornya apa?
J: Kehadiran sekolah Katolik di suatu daerah kadang tidak tepat. Sumbangannya terhadap masyarakat juga tidak jelas. Minus misi itu bukan berarti menurunnya jumlah yang dibaptis tapi sumbangsih ke masyarakat.

Di tengah-tengah wawancara, tiba-tiba Uskup Sutikno meraih alat pembasmi nyamuk berbentuk raket. Sambil mengayun-ayunkan tangan menangkal nyamuk, beliau bercanda, “Ini pasti nyamuk se-kelurahan”.
Arek Suroboyo asli ini memang sangat tipikal gaya bicaranya. Ceplas-ceplos, kritis dan diselingi guyonan. Pengalamannya sebagai Rektor Seminari Tinggi Interdiosesan Giovanni Malang menumbuhkan keprihatinan pribadi terhadap masalah pendidikan.

T: 46 sekolah minus itu semua di bawah Yayasan Yohanes Gabriel (YYG)?
J: Ya. YYG punya 150 sekolah yang perputaran uangnya sekitar 40 milyar setahun untuk gaji guru dan lain-lain. Jadi ini sebenarnya usaha besar tetapi lama-kelamaan menjadi tak terkendali. Di regio 1 wilayah surabaya, gaji guru bisa dicukupi. Lha yang regio 2 sampai 4 itu memprihatinkan. Sejak tahun 2001 gajinya sudah sangat rendah. Di luar regio 1 standar gaji guru masih pakai peraturan 2003. Kasihan juga beberapa sekolah Katolik yang gemuk (“kaya” – Red) yang dijadikan sapi perah untuk menghidupi sekolah-sekolah minus ini.
Sekolah minus ini harus diangkat dari keterpurukan. Mereka punya peran penting mendidik generasi mendatang dengan pendidikan nilai manusia yang universal. Disiplin, jujur, tekun, teliti. Ini ciri khas sekolah Katolik.
Saya pernah ngobrol dengan polisi Islam yang pernah sekolah di SMP Katolik Walung Jayeng di Jatijejer. Dia bilang, “Romo, saya pernah bersekolah di sekolah Katolik, pernah dijemur karena ketahuan nyontek”. Sampai sekarang dia terkesan soal kedisiplinan sekolah Katolik.
Makanya Tahun Pendidikan ini akan menjadi momentum bagi kita: bangkitnya sekolah-sekolah Katolik untuk pendidikan generasi mendatang. Terutama bagi nasib guru yang memprihatinkan.
Keprihatinan ini sudah dari dulu, sebelum menjadi Uskup. Setiap kali saya memberi retret pada para guru, saya selalu pesan: “yang sabar, ya”. Biasanya mereka menjawab “nggih mugi-mugi romo dadi Uskup”. Eh kok malah jadi Uskup beneran. (tergelak) Ya, hitung-hitung bayar utang (tergelak lagi)
T: Berarti sebetulnya ini juga keprihatinan pribadi Monsinyur?
J: Ya. Ada keprihatinan pribadi sebetulnya. Setiap kali mengisi retret guru, yang saya dengar hanya penderitaan. Kasihan sekali. Mereka kan harapan gereja.
Saya kira ini harus diseriusi. Jadi Tahun Pendidikan ini bukan hanya untuk YYG. Tetapi kita mau bicara lebih serius mengenai peran sekolah-sekolah Katolik dalam mendidik generasi mendatang.
Saya mau bicara tanggal 25 Mei besok di depan anggota Majelis Pendidikan Katolik (MPK) Keuskupan, agar mereka pikir bahwa tantangan pendidikan ini juga milik mereka.
Kadang, tiap kali bicara mutu selalu ada yang dikorbankan yaitu biaya.
Dulu ketika membangun sekolah, perlu dingklik (meja kecil – Red), maka ada “sumbangan dingklik”. Kemudian butuh meja sehingga ada “sumbangan meja.” Lalu bangun gedung butuh “sumbangan uang gedung”. Tapi lama-kelamaan menjadi tidak jelas. Muncul yang namanya Sumbangan Pendidikan, Sumbangan Pemerataan Pendidikan, Sumbangan Penunjang Pendidikan, sumbangan sukarela, dll. Itu menjadi tidak profesional. Itu tidak ada di dalam manajemen pendidikan karena yayasan tidak menunjukkan transparansi pada walimurid. Juga ada model subsidi silang, tetapi seberapa besar yang digunakan tidak ada kejelasannya.
Kalau mereka tidak bisa melakukan transparansi paling tidak punya hati sedikit lah. Dahulukan umat Katolik yang memang perlu dibantu. Saya akan buatkan program “Umat Katolik dan Paroki Peduli Sekolah”.
T: Kenapa memilih model kolekte kedua pada Sabtu-Minggu pertama tiap bulan?
J: Yang sementara paroki bisa menyumbang adalah kolekte kedua di minggu pertama. Ini adalah semacam utang keadilan: mau menggenapi 100% utang di regio 2, 3, 4 sekaligus menggenapi Rp 425 juta perbulan untuk gaji guru. Untuk awal kita bisa bantu 80% (naik dari 60%). Ini saja sudah banyak yang senang. Saya meminta romo-romo paroki untuk memanusiakan guru. Disapalah, mereka ini kan dipakai oleh Tuhan
T: Monitoring terhadap model ini bagaimana?
J: Akan dievaluasi setelah 3 bulan. Bila itu dirasa kurang akan ditingkatkan. Bukan lagi kolekte kedua tapi kolekte pertama. Kalau kolekte pertama kurang akan diambil kolekte satu kali hari minggu. Sumbangan dan kolekte akan diumumkan di tiap gereja
T: Di setiap Paroki pasti ada sekolah. Kira-kira apa subsidi dari paroki untuk sekolah?
J: Ya. Selama ini memang jarang dipakai untuk sekolah. Maka sekarang dibuat gerakan bersama. Gerakan solidaritas berbentuk finansial.
T: Apakah nanti setelah mendapat bantuan, sekolah diwajibkan untuk membuat laporan keuangan yang transparan?
J: Sejak YYG dipegang oleh Rm Budi Hermanto, semua regio mulai tertib masalah keuangan dengan menerapkan sistem transparasi dan akuntabilitas. Harus transparan artinya tidak menimbulkan kecurigaan, sedangkan akuntabilitas artinya dapat ditelusur. Artinya kalau ditanya dari mana sumber uangnya dapat menjawab.
T: Menurut Monsinyur, strategi yang pertama adalah penguatan finansial sekolah minus. Kedua solidaritas terhadap guru-guru. Yang ketiga adalah program paroki peduli. Nah, di bagian mana umat bisa langsung terlibat?
J: Sementara ini hanya lewat kolekte minggu pertama tiap bulan itu. Juga perlu ditumbuhkan kesadaran agar orangtua mau menyekolakan anaknya di sekolah Katolik.
T: Di Harmoni edisi Juni ini kami mengangkat dua hal yaitu harapan dan tantangan bagi pendidikan Katolik. Menurut Monsinyur apa sebenarnya harapan dan tantangan kita?
J: Harapannya, sekolah Katolik kembali pada ke-khas-annya yaitu pendidikan keutamaan hidup. Bukan hanya intelektualnya saja. Bukan hanya cerdas secara ilmu tetapi cerdas dalam kehidupan.
Sekolah katolik harus mendidik muridnya menjadi seorang pemimpin atau wirausahawan dengan menanamkan rasa percaya diri dalam menguasai segala bidang. Orangtua harus dilibatkan.
Tantangannya, sekolah Katolik harus berani bersaing kualitas dengan sekolah lain.
T: Monsinyur punya pesan untuk keluarga Katolik soal pendidikan?
J: Sekolah Katolik mahal jangan dijadikan alasan dan beban berat dalam keluarga. Sekolah Katolik ini butuh dana untuk menjaga kualitas pengajaran dan hasil lulusan. Keuskupan sedang mengusahakan untuk mensubsidi sekolah Katolik agar tidak membebani keluarga.
Sekolah Katolik perlu dipertimbangkan sebagai tempat yang baik untuk pendidikan anak sampai SMA. Ini wujud kepedulian kita pada pendidikan Katolik.
Sekolah Katolik masih pantas untuk diperjuangkan. Kalau di tingkat perguruan tinggi silakan pilih yang bagus-bagus.
Saya juga sedang memikirkan usaha pengembangan sekolah kejuruan (SMK) agar juga diminati.
Sebelum berpamitan, Harmoni minta waktu khusus untuk sessi pemotretan. Ternyata gayung bersambut. Hasilnya; Uskup bergambar di sebelah ikon Wisma Keuskupan berupa jangkar besi.

Perlu General Check-Up Untuk Pendidikan Katolik

Pencanangan tahun 2008 sebagai tahun pendidikan pada tanggal 2 Mei 2008 dalam Surat Gembala Keuskupan Surabaya sedikit banyak memberi angin segar bagi pendidikan khususnya bagi sekolah-sekolah minus. Bagaimana tidak? Gerakan bersama umat ini menjadi aksi solidaritas untuk menyelamatkan pendidikan katolik. Majelis Pendidikan Katolik (MPK) sebagai sebuah forum yayasan-yayasan pendidikan Katolik mempunyai kesan istimewa menanggapi Surat Gembala ini. Harmoni menjumpai Romo Paulus Dwintarto CM, Ketua MPK, di kediamannya di komplek Panti Asuhan Don Bosco Tidar untuk bercerita tentang pendidikan Katolik.

Apakah sebenarnya MPK itu?
MPK adalah sebuah forum. Majelis ini bukanlah sebuah organisasi yang membawahi melainkan perkumpulan yayasan katolik yang menangani pendidikan katolik di semua tingkatan. Dari TK hingga SMA. Di Keuskupan Surabaya, ada 18 yayasan pendidikan (milik keuskupan, milik tarekat, dan milik awam) yang tergabung dalam MPK. MPK berkumpul bersama secara rutin 3-4 bulan sekali untuk membuat program yang sesuai dengan kebutuhan anggotanya. Pengurus MPK dipilih di antara para anggota (wakil yayasan) dan sifatnya adalah koordinasi. Bukan struktur komando.

Bagaimana MPK dapat terbentuk dan bagaimana kedudukannya dengan komisi-komisi yang lain?
Tahun 1974 Majelis Nasional Pendidikan Katolik (MNPK) dibentuk oleh Majelis Para Uskup Indonesia. Dari situ mulai dibentuk Majelis Pendikan Katolik (MPK) di masing-masing Keuskupan. MPK terbentuk karena adanya kebutuhan untuk berkembang dan untuk membicarakan masalah-masalah pendidikan bersama di antara yayasan. Kedudukan MPK berbeda dengan komisi-komisi yang lain karena sifatnya yang koordinatif.

Bagaimana kedudukan MPK terhadap Komdik (Komisi Pendidikan)?
Kedudukan MPK dan KOMDIK saat ini sedang direposisi, masih akan dilihat lagi kedudukannya akan seperti apa. Strukturnya sementara ini mengikuti Struktur KOMDIK KWI.

Apa tidak ada tumpang tindih antara area kerja MPK dan Komdik?
Komdik sedikit kesulitan dalam area kerjanya karena untuk pendidikan tingkat dasar dan menengah semua sudah dibicarakan di MPK sedangkan untuk perguruan tinggi juga sudah ada APTIK (Asosiasi Perguruan Tinggi Katolik). Komdik saat ini masih mencari bentuk karena MPK sudah mandiri dan sudah mampu mengkoordinir diri sendiri.

Apa saja kegiatan MPK dan darimana kegiatan tersebut muncul?
Kegiatan MPK bermacam-macam, sesuai kebutuhan anggotanya. Anggota akan diberi edaran untuk mendata kegiatan apa yang dibutuhkan dan ingin dibuat. Edaran ini kemudian dikompilasi dan dibuat skala prioritas untuk menentukan program apa yang akan dilakukan selama satu tahun. Bila ada kegiatan yang ingin dilakukan, anggota akan urunan sesuai jumlah dan kemampuannya. Apabila ada yayasan yang tidak mampu untuk membayar maka akan disubsidi oleh yayasan yang lain. Pada dasarnya, kegiatan yang dilakukan adalah kebutuhan bersama, daripada kegiatan dilakukan sendiri-sendiri lebih baik jika dikerjakan bersama-sama.

Terkait dengan diadakannya tahun pendidikan di Keuskupan Surabaya melalui Surat Gembala, apakah MPK juga turut andil dalam lahirnya surat gembala tersebut?
Kemunculan surat itu lebih terkait dengan yayasan-yayasan milik keuskupan, yaitu Yayasan Yohanes Gabriel (YG). Yayasan YG tersebut adalah salah satu anggota MPK. Akan tetapi, Yayasan YG tersebut adalah yayasan yang paling besar, yang paling banyak sekolahnya (150 sekolah), paling banyak jumlah muridnya, paling banyak jumlah gurunya dan paling miskin/minus. Yayasan YG milik keuskupan ini merupakan sekolah misi bagi gereja karena jumlahnya yang banyak, kehadirannya di hampir semua kota, dan perannya dalam mengembangkan gereja di Jawa Timur. Yayasan YG perlu diperhatikan karena mutunya menurun akibat tidak adanya biaya. Gerakan ini merupakan skala prioritas, yayasan YG harus didahulukan karena paling parah. Pada dasarnya, MPK mendukung saja.

Apakah kemunculan surat gembala ini merupakan inisiatif keuskupan murni dan bukan dari MPK?
Ya, muncul dari Keuskupan, yang prihatin dengan kondisi sekolah-sekolah di bawah Yayasan Keuskupan (Yohanes Gabriel). MPK sendiri memiliki program solidaritas antar Yayasan. Tentu jumlahnya tidak besar, sementara kebutuhan Yayasan Yohanes Gabriel amat besar. Bila ini menjadi gerakan Keuskupan maka akan menjadi gerakan besar karena juga melibatkan umat. Di MPK sendiri belum ada pembicaraan khusus untuk menanggapi Surat Gembala ini.

Romo yang hobi membaca, olahraga dan makan bakso ini ditahbiskan lima tahun lalu. Dia menggantikan Romo Karolus Jande, Pr sebagai ketua MPK sejak November 2007 setelah sebelumnya menggantikan Romo Tetra sebagai wakil MPK dan sekretaris Yayasan Lazaris. “Sebenarnya masih banyak orang yang berkompeten, tapi karena saya ada sejak awal, maka saya yang harus memangku jabatan ini. Seorang imam harus selalu siap, kapanpun dan dimanapun ditugaskan,” ujar romo kelahiran Jombang ini merendah.

Melihat kondisi saat ini, kenapa pendidikan Katolik kualitasnya menurun?
Secara Intern, karena ada penurunan kualitas dari SDM, pengurus yayasan, guru, siswa, kurikulum, sarana-prasarana-manajemen, dan dana.
Saat ini susah cari guru dan kepala sekolah yang bermutu serta pengurus yayasan yang profesional. Dulu, pengurus yayasannya merangkap sebagai romo paroki sehingga tidak ideal karena lebih memperhatikan paroki. Sebetulnya tidak masalah dirangkap, asalkan pastor parokinya berkompeten.
Secara ekstern, terjadi perubahan dunia dan mentalitas manusia yang cepat. Sekolah gagap mengantisipasi. Lalu pemerintah yang terlalu dominan mencampuri proses pendidikan di sekolah (misal kasus UNAS, Kurikulum, dll). Hal ini biasa kita sebut politisasi pendidikan. Juga, munculnya sekolah baru yang berorientasi bisnis dengan dukungan dana melimpah dan manajemen modern. Ditambah munculnya sekolah-sekolah negeri yang semakin bertambah dan mutunya juga meningkat.
Dana sekolah Katolik seringkali masih tergantung dari SPP sehingga bila ingin menaikkan gaji guru maka SPP juga naik. SPP semakin naik maka semakin tak terjangkau. Sedangkan sekolah negeri dana disubsidi pemerintah sehingga lebih murah.
Semua seperti “lingkaran setan”. Bila siswa yang masuk sedikit, gaji guru rendah. Bila gaji guru rendah maka tidak ada guru yang mengajar. Bila tidak bisa beli sarana maka pembelajaran tidak menarik. Ujung-ujungnya mutu ikut menurun karena siswa yang masuk juga dari siswa yang tidak diterima di sekolah lain.

Pembenahan apa yang dapat dilakukan terhadap pendidikan sehingga “lingkaran setan” itu dapat diputuskan?
Pertama, persoalan ini sama seperti menghadapi orang sakit. Maka, langkah pertama yang perlu dilakukan adalah melakukan general check up dan diagnosa untuk melakukan pemetaan secara menyeluruh. Kita potret dahulu “sakitnya” sekolah itu apa saja karena sifatnya sangat kasuistik. Kita perlu mengetahui sumbernya apa dulu. Kemudian, baru dilihat lagi dari sumber ini “sakitnya” merembet kemana? Persoalan yang dihadapi masing-masing sekolah berbeda. General check-up harus dilakukan oleh masing-masing yayasan dan tidak dapat digeneralisir.
Kedua, perlu dicari juga sumber dana lain di luar SPP sehingga kebutuhan lain dapat dipenuhi tanpa menaikkan SPP.
Ketiga, melakukan gerakan orang tua asuh. Misalnya, ada yang mau sekolah dengan biaya SPP Rp. 250.000 tetapi hanya mampu membayar Rp. 50.000 saja, maka carilah teman yang mau membantu untuk membayar sisanya sehingga dana yang masuk ke sekolah tetap Rp. 250.000. Kelemahan umat saat ini adalah kurangnya rasa memiliki (sense of belonging – Red) terhadap sekolah Katolik. Bila kesadaran itu muncul maka akan banyak muncul gerakan orang tua asuh dan sekolah Katolik dapat terus survive.

Reza Kartika

Yayasan Pendidikan Katolik Harus Dikelola Profesional

Ada tiga hal yang menjadi sorotan Christiana Trisnaningrum (43) tentang pendidikan Katolik. Ketiga hal itu adalah mutu, kedisiplinan dan mental pendidiknya. Guru Fisika di SMA St Yusup, Karang Pilang yang akrab disapa Bu Christin ini merasa ketiga hal itu harus terus-menerus diperbaiki.
Soal mutu dan kedisplinan, Christin membandingkannya dengan sekolah-sekolah Katolik di masa lampau. Sekolah Katolik jaman dulu secara kualitas dan kedisiplinan sangat diacungi jempol oleh sebagian banyak orang. Dia mencontohkan beberapa SMAK ternama di Yogjakarta. Masyarakat awam sangat meyakini bahwa lulusan dari sekolah-sekolah itu relatif gampang untuk melanjutkan ke universitas negeri sekelas UGM (Universitas Gadjah Mada). Singkatnya, lulusan sekolah Katolik dikenal sebagai “langganan” bagi kampus-kampus negeri yang bermutu.
Mengenai tantangan, perempuan kelahiran Ponorogo, 3 Desember 1965 ini menuturkan bahwa sekolah Katolik harus lebih siap menghadapi persaingan dengan sekolah-sekolah swasta lainnya. Sekolah Katolik harus bisa berlomba-lomba untuk dapat memberikan yang terbaik bagi masyarakat. Kesiapan menghadapi persaingan juga ditentukan oleh profesionalitas pengelolaan yayasan pendidikan Katolik. Warga Kedung Turi Permai ini merasa kurang setuju bila yayasan dipegang oleh seorang Romo. “Romo-romo sudah punya rutinitas pekerjaan yang berat di paroki, jadi baiknya dipegang oleh awam atau diserahkan ke ordo atau tarekat saja. Mungkin dengan begitu profesionalitas pengelolaan bisa ditingkatkan,” terangnya.
Tentang dekadensi (kemerosotan) mutu sekolah Katolik, Christin mencontohkan di daerah asalnya, Ponorogo, banyak sekali sekolah-sekolah Katolik yang sudah minim jumlah muridnya. Hal itu terjadi di daerah stasi maupun paroki. “Saya khawatir sekolah Katolik semakin lama akan semakin merosot kalau tidak dapat mempertahankan mutu,” paparnya.
Kekuatiran lain dari umat Paroki St Yusup Karang Pilang ini adalah tentang perkembangan teknologi informasi. Ia merasa was-was dengan keberadaan internet yang bisa diakses kapanpun dan dimanapun oleh siswa. “Untungnya sampai sekarang di sekolah kami belum pernah terjadi hal yang aneh-aneh”.
Dua hikmah yang dirasakan oleh ibu dari Reinardus Adrian Krisnanda, selama 11 tahun menjadi guru adalah kebahagiaan dalam mendidik murid-muridnya. “Saya bahagia sebab yang saya hadapi itu bukan benda mati, tapi “benda” hidup. Dari murid-murid saya belajar mencintai hidup dan mengamalkannya.” Hal kedua adalah soal gaji. “Menjadi guru jaman sekarang bukan untuk mencari gaji tinggi, tapi pengabdian. Itu lebih membanggakan daripada kekayaan duniawi,” pungkasnya.

Kirim email


Nama
Alamat email
Subject
Pesan
Image Verification
Please enter the text from the image:
[ Refresh Image ] [ What's This? ]

Klik Dapat Dollar

Menjadi member Paid To Click

Klik Dapat Dollar