Rumah Tempatnya Cinta

Salam Damai Kristus,

Pembaca yang budiman, rumah sering menjadi simbolisasi dari kemandirian dan kemapanan sebuah rumah tangga. Keluarga muda yang telah memiliki rumah sendiri kerap dipandang berhasil melewati satu fase yang lumayan berat. Kebutuhan akan rumah sebagai pusat kehidupan rumah tangga tak ayal menjadi kebutuhan wajib bagi setiap keluarga muda.

Tapi, kami tak hendak membahas rumah secara fisik bangunan, melainkan pada fungsi utamanya sebagai tempat dimana segala cinta, kehangatan, keteladanan dan keharmonisan bertumbuh. Seperti sebuah istana kerap dipandang sebagai pusat keindahan, rumah juga pantas disebut sebagai pusat cinta yang kelak menyeruak dan menghinggapi semua penghuni rumah dan manusia-manusia di sekitarnya.

Rumah juga dapat menjadi “benteng pertahanan” dari riuhnya dunia yang menawarkan kenikmatan, mentalitas instan, individualis, dan konsumtif. Di dalam rumah, segala kebajikan dan keutamaan hidup disemai sebagai bekal menjalani hidup keseharian. Seperti dikatakan Benjamin Franklin, rumah bukanlah rumah kecuali ia memberi “makanan” bagi jiwa, pikiran dan tubuh, maka rumah yang sehat adalah rumah yang beratap cinta dan kasih sayang, yang dengannya, hidup kita disempurnakan menjadi pribadi yang ugahari dan berkualitas.

Di edisi ini kami juga hadirkan potret keluarga-keluarga Katolik yang terdesak sesaknya kota dan menjalani hidup serba kekurangan dalam rumah-rumah petak di bawah jalan tol di pinggiran Surabaya. Potret suram ini akan memberi makna baru tentang hakikat dan fungsi rumah bagi keluarga.

Tokoh kita kali ini adalah pakar tata ruang kota yang akan mengupas permasalahan perumahan di Surabaya. Pandangan-pandangannya tentang konsep kota yang ramah dan egaliter akan dilengkapi dengan pandangan seorang arsitek muda berpengalaman.

Selamat membaca, semoga menginspirasi. 

Yudhit Ciphardian 

Selalu Ada Harapan Untuk Hidup Layak

Hak hidup layak menjadi barang langka yang hanya dapat dinikmati sebagian orang saja. Ketika tawaran hidup semakin menggila dan banyak orang berbondong-bondong menjemputnya, sebagian orang itu bahkan tidak memiliki pilihan apapun karena harus berjuang untuk bertahan dalam himpitan hidup yang mereka alami. Mereka menempati sudut-sudut kota yang tersisa dan menciptakan ruang dalam segala keterbatasan yang mereka miliki. Umat Katolik di Wilayah Carolus Borromeus Lingkungan 3 (CB3) Paroki Kelahiran Santa Perawan Maria (Kelsapa) Kepanjen, adalah sedikit dari sebagian orang itu.

Secara istimewa, Harmoni memperoleh kesempatan untuk berkunjung dan berbagi harapan dengan mereka atas undangan Elisabeth Retno (32) seorang aktivis gereja dan pegiat sosial. Diawali perjumpaan dengan pasutri sesepuh umat yang aktif dalam kegiatan pelayanan sosial, Harmoni membuka perjalanan istimewa ini.

Umat CB3 di Kermil

Luas Lingkungan 3 di Wilayah Carolus Borromeus sama dengan luas satu wilayah. Hampir 90% umat di sini adalah pendatang. Sebagian besar mereka berasal dari luar Jawa. Mereka menempati tanah kosong milik Jasa Marga yang berada tepat di bawah jalan tol Surabaya-Gempol, di sepanjang bantaran sungai Greges, Buzem Moro Krembangan. Daerah ini dikenal dengan sebutan Kampung 'Seribu Satu Malam' karena bercampur dengan lokalisasi Bangunsari (juga dikenal dengan Kermil) yang selalu gemerlap tiap malam. Sebagian dari mereka juga menempati daerah di seberang sungai, tanah bekas buzem Kalianak yang telah ditimbun. Daerah ini dikenal dengan Kampung Tambak Dalam Indah. Untuk mempermudah akses, kedua kampung yang berseberangan ini dihubungkan dengan gethek, alat transportasi kayu seperti kapal, yang dilengkapi dengan tali tambang yang melintang di atas sungai untuk membantu menjalankannya. Orang-orang menyebutnya tambangan. Perkampungan ini cukup padat.

Beberapa rumah tampak dibangun seadanya dengan pembatas tripleks yang tidak permanen. Rumah tanpa jendela yang berukuran sangat minim dan timbunan sampah di atas genangan air sungai memberi gambaran sanitasi yang tidak sehat. Kampung-kampung ini terbentuk antara tahun 1980-1990.

Biaya hidup tak terjangkau

Mayoritas warga adalah penghuni tidak tetap yang menyewa tempat tinggal di daerah tersebut. Meski beberapa warga sering berpindah-pindah tempat tinggal, sebagian warga merupakan penghuni lama yang telah bertahun-tahun bertahan di kawasan tersebut.

Brigitta Rusia Wati (55) adalah salah satu warga yang telah sembilan tahun tinggal di Kampung 'Seribu Satu Malam'. Ibu dari Stefanus Anugraha Rusdiawan (19) dan Rizky Herliana Wati (12) ini dulu sempat bekerja di sebuah pabrik kayu. Ketika mengalami PHK secara masal, ia kemudian mencari nafkah dengan berjualan makanan. Sesekali ia berjualan di depan gereja, tetapi untuk membiayai kebutuhan hidup sehari-hari, ia berjualan tahu tek di depan rumah. Dengan bermodalkan 50.000 rupiah, ia mendapat keuntungan sekitar 20.000- 30.000 rupiah setiap hari.

Pendapatan yang jauh dari cukup untuk membiayai putra-putrinya mengenyam pendidikan di bangku sekolah. Wawan, putra pertamanya terpaksa harus putus sekolah ketika akan melanjutkan ke jenjang SMA.

Tak punya akta kelahiran, tak bisa sekolah

Kesulitan bersekolah bagi anak-anak di Kermil bukan hanya menyangkut persoalan biaya tetapi juga persoalan kelengkapan identitas. Warga yang sebagian besar pendatang seringkali tidak dilengkapi dengan kelengkapan identitas seperti akta kelahiran, akta perkawinan, kartu tanda penduduk (KTP), dan kartu susunan keluarga (KSK). Mereka mengalami kesulitan secara administratif ketika akan mendaftarkan anak untuk bersekolah karena ketiadaan kelengkapan identitas.

Ruby Herdelina (32), ibu dari Dessy (4) dan Christinawati (8 bulan) mengatakan akan menitipkan putri pertamanya ke Medan, ke rumah orang tuanya, bila hingga tahun depan tidak ada kepastian anaknya bisa masuk sekolah dasar lantaran tidak ada akta kelahiran. Kesulitan administrasi ini juga dibenarkan oleh sesepuh di CB3 yang enggan ditulis namanya. “Kebanyakan warga kesulitan untuk mendaftarkan anak  masuk sekolah karena tidak memiliki akta kelahiran. Anak tidak memiliki akta kelahiran karena orangtua tidak memiliki akta perkawinan, KTP, dan KSK. Beberapa warga mengalami kesulitan ketika harus berhubungan dengan birokrasi pemerintahan karena biaya untuk mengurus pembuatan KTP dan KSK tidak sedikit.

Permintaan pembuatan akta perkawinan di Gereja pun mengalami kesulitan karena ketiadaan surat baptis dari pihak pasangan dan status perkawinan yang tidak dilakukan di gereja, seperti nikah siri, menyebabkan perkawinan tidak tercatat di kantor catatan sipil,” imbuhnya.

Ketua Lingkungan CB3, FX. Sandoyo (52) juga punya keprihatinan akan masalah administrasi kependudukan ini. Baginya, jika masalah legalitas ini belum terpenuhi, sulit bagi warga untuk mengakses hidup yang lebih layak. “Saya berharap gereja atau pihak-pihak lain yang punya perhatian terhadap masalah ini bisa ikut membantu masalah warga urban tanpa identitas ini,” ujar ketua yang gemar blusukan mengunjungi warganya ini. Sandoyo juga prihatin dengan rendahnya minat umat lingkungannya untuk aktif dalam kegiatan lingkungan. “Mungkin juga karena warga Lingkungan sini terlalu sibuk cari uang. Tapi, harus diakui gereja Katolik kurang intensif mendekati umatnya. Dibanding gereja lain kita kalah langkah,” lanjutnya.

Mahalnya pergi ke gereja

Persoalan tidak berhenti sampai disitu, umat Katolik di lokalisasi Kermil sering mengalami kesulitan ketika ingin beribadah. Lokasi Gereja yang jauh menjadi tak terjangkau karena untuk datang ke Gereja mereka butuh biaya transportasi yang tidak sedikit.

Albertina Wora Deghu (35), ibu dari Yasinta Julita (9) dan Manasye Mardian (4) sering kebingungan ketika putra-putrinya merengek ingin ke gereja lantaran untuk mencapai gereja ia harus naik becak. “Kalau pas tukang becaknya kenal, dikasih 15.000 rupiah masih mau, tetapi kalau tidak kenal, biasanya harus bayar lebih,” tuturnya. Istri dari Hendrikus Ngongo (39), wakil ketua Lingkungan CB3 ini mengungkapkan bahwa pengeluaran itu cukup besar mengingat pendapatan yang dihasilkan dari pekerjaan suaminya sebagai buruh gudang di Margomulyo dan jualan kelontong di rumah tidaklah seberapa.

Hal serupa juga dialami oleh Brigitta Rusia Wati. Ia akhirnya memilih pergi ke gereja mana saja, yang terdekat, asal bisa beribadah dan menyampaikan kerinduan hatinya kepada Tuhan.

Selalu ada harapan

Meski dalam keterpurukan sekalipun, selalu ada harapan bagi warga Katolik di CB3. Di akhir perjalanan, Harmoni bertemu dengan Dominikus Darwanto Karwayu (37) dan Reyneldish Taghy (30), pasutri yang merintis perkumpulan Flobamora (Flores, Sumba, Timor, dan Alor) di daerah tersebut. Pasutri ini mengungkapkan cukup prihatin dengan keadaan umat di CB3. Beberapa muda-mudi yang ingin menikah mengalami kesulitan karena syarat seperti surat baptis dan status liber sulit untuk di-penuhi.

Darwanto berharap agar ada kunjungan dan kegiatan rutin yang diadakan oleh pihak Gereja bagi umat CB3. Darwanto sendiri tidak keberatan apabila kegiatan seperti sekolah minggu, katekumen, kunjungan iman, dan kegiatan lain diadakan di rumahnya, mengingat lokasi Panti Dharma Bakti, (rumah yang sering digunakan untuk kegiatan umat), di Taman Dupak Bandar Rejo letaknya cukup jauh dan sulit dijangkau oleh warga.

“Sebenarnya di dekat sini ada warga yang lulusan guru. Dia bisa mengajar anak-anak di daerah sini. Tetapi siapa yang membiayai tenaga yang akan ia berikan, itu yang menjadi masalah karena ia juga perlu dibantu. Bila itu bisa dipikirkan oleh pihak Gereja, maka itu bisa cukup membantu,” tuturnya. Untuk administrasi kependudukan, Sesepuh CB3 mengusulkan agar umat yang bekerja di bagian pemerintahan mau membantu umat CB3 dalam memperoleh akta kelahiran, KTP, dan KSK, sehingga biaya yang dikeluarkan untuk menyelesaikan administrasi kependudukan tidak terlalu besar.

Dalam rangka meningkatkan pendapatan, umat CB3 dapat dibekali dengan keterampilan dan diberi pinjaman modal usaha sehingga mampu meningkatkan taraf hidupnya sendiri. Harapannya, ketika taraf hidup meningkat, hak hidup layak dapat mereka rasakan. Kompleksitas masalah yang banyak diuraikan di atas memang melekat pada masyarakat urban yang tinggal di kota metropolitan besar. Meski sangat tipikal, labirin masalah itu masih dapat diurai satu-persatu dan diusahakan solusinya secara komprehensif.

Lantas, siapakah yang akan berjibaku mengusahakan solusi dan membantu mengangkat martabat mereka? Semoga Tuhan menggunakan tangan Anda untuk meringankan karya keselamatanNya. (*)

Reza Kartika

Keceriaan di Bawah Beton-beton Jalan Tol

Rumah-rumah itu tingginya hanya setengah meter. Mereka yang setiap hari lalu-lalang melewati rumah-rumah itu harus merunduk, membungkuk dan jika perlu merangkak. Rumah-rumah itu beratapkan beton-beton tebal, alas jalan tol yang sibuk. Beton-beton itu tak mungkin runtuh, tapi meski begitu tetap saja terbit kengerian saat melintas di bawahnya. Apa yang dapat Anda bayangkan tentang kehidupan di sana?

Saat melintas siang itu, tampak dua orang laki-laki sedang merawat ayam jago yang tampaknya dipelihara serius. Entah untuk diternak atau diadu. Bukti keseriusannya ada pada kandang-kandang ayam yang rapi, bersih dan lengkap dengan lampu khususnya. Ada lima kandang yang ditempatkan rapi berjajar di depan rumah. Dua lelaki ini menyambut dengan senyum ramah. Mungkin mereka geli melihat ekspresi kami yang keheranan, “bagaimana mungkin ada kehidupan di bawah jalan tol ini?”

Ayam-ayam itu mendapat rumah yang layak, sementara pemiliknya sendiri harus tinggal dalam rumah rendah, sempit dan pengap. Suara TV dan radio yang memutar musik pop terdengar jelas berbaur dengan lenguh ayam-ayam itu. Saat mengintip ke dalam salah satu rumah, tampak berjejal barang-barang yang ditempatkan sekenanya. Yang paling mencolok adalah ranjang dan TV yang tengah menyala. Di mana dapur dan kamar kecil yang umumnya “satu paket” dengan rumah? Jangan tanyakan itu karena petak rumah itu pun masih disekat untuk kamar orang lain. Bau kotoran ayam merebak di sepanjang jalan setapak itu bercampur dengan bermacam aroma yang muncul dari dalam rumah.

Di rumah paling ujung di bawah beton-beton itu, tampak pemandangan yang mencekat. Kakak-beradik sedang bermain kejar-kejaran dengan riang. Mereka tertawa dan berteriak-teriak gembira dengan permainan yang mereka ciptakan sendiri. Sang adik, sembari merangkak berusaha mengejar sang kakak yang berputar-putar mengitari seutas kain yang diikatkan persis pada beton di atasnya. Dilihat dari bentuknya, kain itu sengaja dipasang sebagai tempat tidur ayunan untuk menidurkan bayi. Kilatan blits kamera tidak mengganggu keceriaan kakak-beradik yang orangtuanya entah sedang ada dimana ini.

Rupanya itulah dunia mereka. Dunia yang sempit dan pengap. Sebidang “pelataran” kecil mereka manfaatkan untuk mereguk tawa dan canda di masa kanak-kanak.

Atap rumah dua anak ini adalah alas jalan tol Surabaya-Gempol yang membentang di atas buzem (danau buatan penampung air hujan) Kalianak di Kelurahan Dupak Kecamatan Asemrowo. Buzem itu ditimbun tanah dan dijadikan kampung dadakan oleh penduduk sekitar pada sekitar tahun 1980-an. Kampung itulah yang sekarang kita kenal sebagai lokalisasi Bangun Sari (biasa disebut lokalisasi Kremil). Keberadaan rumah-rumah itu jelas ilegal mengingat peraturan yang melarang mendirikan rumah di bantaran sungai, apalagi di bawah jalan tol.

Dua kakak-beradik itu masih terus bermain sementara pikiran ini menerawang entah kemana. Agak susah membayangkan bagaimana masa depan mereka. Bermacam pertanyaan aneh berkelebatan di kepala. Bagaimana situasi rumah jika malam hari? Bagaimana jika teman-taman sekolah mereka ingin berkunjung ke rumahnya? Atau bagaimana mereka akan menuliskan alamat rumah di buku rapor mereka? Lebih mendasar lagi, bagaimana mereka akan bermain dan belajar, melewati masa kanak-kanak yang (mestinya) indah, di dalam rumah yang tak layak itu? Di mana negara ketika mereka butuh diperhatikan?

Ah, pertanyaan-pertanyaan itu mestinya tak perlu ditanyakan. Bukankah yang mereka butuhkan adalah semakin banyak orang yang tahu kondisi mereka dan kelak menolong mereka?

Yudhit Ciphardian

 

Bertekun dan Sukses di Bisnis Rumah

Usaha yang didasari hobi dan kecintaan serta dilakoni dengan ulet dan pantang menyerah, niscaya membuahkan keberhasilan. Jika ditambah dengan sikap profesionalisme dan selalu menghargai orang lain, usaha apapun pasti melejit mencapai puncaknya. Berikut ini contoh keberhasilan dari seorang ibu yang tampak segar di usia yang lebih setengah abad.

Tjandra Setyawati (58) adalah senior associate director ERA Tjandra, agen properti yang kondang di Surabaya. Selepas SMA, Tjandra ingin kuliah yang cepat rampung dan cepat dapat kerja. Pilihannya jatuh pada Akademi Sekretaris Unika Widya Mandala Surabaya. Ia merampungkan studinya pada 1971 dengan gelar Diploma. Pekerjaan pertamanya adalah sekretaris di sebuah perusahaan kontraktor bangunan selama sepuluh tahun.

Di antara tahun-tahun ini, tepatnya 24 September 1974, ia dipersunting oleh Drg. Petrus Susanto (61), teman sekolahnya dulu. Tahun 1981, keluarga Petrus-Tjandra pindah rumah dan bersamaan dengan itu Tjandra memutuskan berhenti bekerja demi mengurusi kedua anaknya. ”Profesi” yang mulia sebagai ibu rumah tangga dilakoninya selama sepuluh tahun.

Niat kembali bekerja muncul setelah anak ketiga lahir. Karena tak ingin sering-sering meninggalkan rumah dan anak-anak, Tjandra berniat mencari pekerjaan yang tidak terikat jam kerja. Tahun 1991, lewat sebuah iklan di koran, Tjandra bergabung dengan agen properti pertama di Surabaya yaitu ERA Jatim. Pilihannya ini selain didasari pengalaman bekerja di kontraktor, juga karena anjuran seseorang yang mengaitkan shionya dengan bidang pekerjaan yang cocok. Sebagai agen, Tjandra mencatat prestasi selama lima tahun berturut-turut sebagai top sales agent (agen dengan transaksi terbanyak).

Baginya, sebagai agen ia wajib mengedepankan pelayanan untuk kepuasan pelanggan. Pekerjaan yang oleh sebagian masyarakat dipandang sebelah mata dengan sebutan ”makelar” atau ”broker” ini ditekuninya sampai sebuah keputusan besar diambilnya.

Tahun 1997, Tjandra memutuskan keluar dari ERA Jatim dan membeli merk dagang ERA (waralaba) lalu mendirikan ERA Tjandra, miliknya sendiri. Ia percaya, kebutuhan akan rumah adalah kebutuhan utama setiap keluarga. Lagipula, investasi rumah masih sangat menjanjikan dibanding investasi jenis lain.

“Tahun-tahun itu, karena bunga bank sangat tinggi, orang lebih memilih mendepositokan uangnya. Orang agak ragu dengan investasi rumah. Tapi saya yakin dengan pilihan usaha saya dan bertekad ingin sukses,” ujar nenek dua cucu ini.

Dukungan dari suami menguatkan keyakinannya. Pekerjaan Petrus sebagai dokter gigi dan PNS golongan III ditinggalkan guna membantu istri tercinta mengembangkan bisnisnya.

Perusahaan yang dirintis 12 tahun silam ini berkembang pesat. Di tahun 2002, Tjandra diundang ke Amerika untuk menerima penghargaan ERA Internasional sebagai agen berprestasi. Namanya disandingkan dengan agen-agen dari berbagai negara. Raihan prestasi internasional ini melecut kinerjanya.

Beberapa tahun kemudian ERA Tjandra mulai melebarkan sayap. Kantor pusat ERA Tjandra di jalan Indragiri berkembang menjadi tiga cabang untuk melayani kebutuhan klien. ERA Tjandra South dibuka di jalan Kendangsari. ERA Tjandra East dibuka komplek ruko Galaxy Mall dan ERA Tjandra West di daerah perumahan Citraland. Juni kemarin, ERA Tjandra meresmikan pengoperasian kantor baru di Seminyak Bali.

Saat diminta menceritakan kisah paling berkesan dalam bisnis yang dijalaninya, ibu penggemar senam yoga dan jalan pagi ini mengenang transaksi pertamanya sebagai agen. Karena pembeli tinggal di Tulungagung, Tjandra harus menyetir mobil sendiri dari Surabaya bersama salah seorang anaknya untuk menerima uang muka pembayaran rumah. Sepulangnya ke Surabaya, mendadak sang penjual rumah membatalkan transaksi. Masalah ini membuatnya berurusan dengan polisi karena sang pembeli menuntut ganti rugi. Alih-alih mendapatkan untung, Tjandra malah harus membayar ganti rugi kepada pembeli sebesar uang muka yang diterimanya.

Pengalaman itu tak menyurutkan semangatnya. “Ibarat bola karet, semakin keras ia dilontarkan ke lantai, maka semakin tinggi pula ia memantul. Setelah kejadian buruk itu, saya terlecut untuk menjadi lebih baik dan semakin yakin akan meraih kesuksesan”. Filosofi itulah yang sekarang selalu ia tanamkan pada para agen di perusahaannya.

Ibu dari tiga putra ; Daniel Sunyoto (34), Christopher Sunyoto (30), dan Benedicto Andreas Sunyoto (22) ini mengutamakan pelayanan pada para klien. Tak jarang ia memberi masukan tentang rumah yang akan dipilih oleh klien. ”Kalau klien ingin rumah tinggal, pertama kali selalu saya tanyakan dimana anak-anak mereka bersekolah. Lalu saya berikan pilihan rumah yang dekat dengan sekolah anak-anak mereka. Kalau klien ingin beli rumah untuk investasi, saya berikan pilihan rumah yang kelak harga jualnya tinggi,” ujar direktur yang lemari kerjanya berisi patung salib Kristus dan foto keluarga.

Sejak awal berdiri ERA Tjandra menghadirkan konsep one stop service (pelayanan menyeluruh) bagi klien yang ingin menjual maupun membeli properti. Untuk penjual, ERA Tjandra mengiklankan properti mereka lewat buletin bulanan gratis berisi katalog lengkap. Untuk pembeli, ERA Tjandra melayani semua kebutuhan pembeli, mulai dari survey rumah sampai ke pengurusan administrasi dan legalitas propertinya. Jika transaksi telah disetujui kedua belah pihak, ERA Tjandra baru mengenakan fee (biaya) pada penjual. ”Semuanya gratis, baik untuk penjual atau pembeli. Dan yang penting, semua puas,” ujar Tjandra. Dengan strategi usaha itu, ERA Tjandra tetap berjaya di tengah krisis keuangan global, di saat agen properti lain gulung tikar.

Kini, Tjandra sedang menikmati puncak kariernya. Di penghujung perjumpaan, Tjandra menyampaikan mimpinya menyongsong masa tuanya. Ia ingin membangun rumah peristirahatan, tempat bersantai dan menikmati hidup untuk dia dan suaminya beserta seluruh karyawan dan agen-agennya. ”Saya sangat dekat dengan karyawan dan agen-agen. Saya ingin terus berkumpul bersama mereka,” ujar anggota Marriage Encounter (ME) yang kerap membawa masakannya ke kantor untuk dibagikan ke karyawan dan agen-agen ini.

Tjandra juga memberi kiat-kiat bagi keluarga muda yang ingin membeli rumah. Pertama, carilah rumah bisa dijadikan tempat usaha. Keluarga muda umumnya masih fight dan bersemangat dalam bekerja.

Kedua, bila ingin mencari rumah tinggal, carilah area yang nyaman, utamakan lokasi yang dekat dengan sekolah anak dan juga tempat kerja.

Ketiga, gunakan fasilitas KPR (kredit pemilikan rumah) yang meringankan keluarga muda.

Sebuah pelajaran hidup tentang ketekunan yang pantas diteladani. (*)

Yohani Indrawati

Tinggal dan Merintis Usaha Dalam Rumah

Hidup merantau di Surabaya memang jadi pilihan bagi pasangan Parsaoran Siburian (31) dan Shanta Marito Harianja (28). Sejak mengenyam pendidikan di perguruan tinggi hingga sekarang, pasangan ini memutuskan untuk tinggal dan menetap di kota besar ini. Jiwa enterpreuner (wirausaha) yang mereka miliki menjadi modal untuk bertahan dan merintis sukses. Sekalipun pernah tujuh tahun bekerja di sebuah perusahaan rokok besar di Indonesia, Parsaroan yang lulusan ITS ini akhirnya memilih untuk berwirausaha. Ia memilih bidang fotografi . Demikian juga halnya dengan Shanta yang juga menekuni usaha salon untuk keperluan pernikahan.

Bagi pasangan asal Medan yang menikah tiga tahun lalu di stasi St. Yusup Deli Serdang, Sumatera Utara ini, rumah menjadi tempat yang paling nyaman untuk beristirahat dan berkumpul dengan keluarga, di samping juga untuk tempat merintis usaha. Suasana yang tenang juga menjadi faktor penting untuk menciptakan kenyamanan.

Setelah menikah, pasangan ini sempat menyewa rumah selama 2 tahun sampai pada akhirnya menempati rumah mereka sekarang di kawasan Kebaraon Surabaya. Dari hasil usaha itu mereka sisihkan sebagian untuk ditabung, dan selebihnya diputar lagi untuk usaha. Bahkan tidak jarang mereka tidak sempat menabung Karena dana yang ada habis untuk keperluan usaha.

Jatuh bangun telah mereka rasakan, tetapi keyakinan kuat untuk berhasil menjadi satu dorongan untuk tetap giat dan tekun berusaha. “Meskipun banyak saingan yang terpenting kita harus bekerja dengan baik dan jujur supaya orang tidak kecewa. Dengan begitu orang akan percaya dengan kita, dan rejeki pasti akan datang juga,” ujar Parsaoran.

Untuk masa mendatang, pasangan yang juga warga paroki St. Yusup Karangpilang ini ingin sekali punya ruko yang bisa menjadi tempat tinggal sekaligus usaha. Ini semua mereka yakini dapat tercapai dengan ketekunan dan kerjasama yang baik dalam keluarga. (*)

Agnes Lyta Isdiana

Rumah Sebagai Media Untuk Kompromi


Yustinus Hari Suyanto (35) dan Agnes Kristin (35) hanya modal 'nekat' ketika memutuskan untuk menikah. Bukan masalah bagi mereka jika rumah tangga harus dirintis dari nol.

Dengan mengandalkan nasihat sang kakak di desa, pasangan yang menikah 11 Januari 1999 ini mulai rajin menabung. Cukup unik caranya, penghasilan Hari dari mengajar di SMAK St. Louis 1 Surabaya dan Kristin yang juga guru di SDK St. Theresia 1 Surabaya ini, mereka sisihkan untuk membeli sapi. Nyata, 1,5 tahun berikutnya mereka mulai mencicil sebuah rumah kecil dari hasil memelihara dan menjual sapi. Berkat ketekunan itupun, alhasil pasangan ini bisa membangun lagi satu rumah yang lebih besar.

Bagi keluarga ini, rumah merupakan satu tempat yang paling nyaman, terlebih dapat melepas penat setelah seharian bekerja. Kepada Harmoni Kristin menjelaskan, “rumah itu seperti surga, kita bisa ber-kumpul dengan anak-anak dan suami, capek jadi hilang”. Keluarga ini menjadikan rumah sebagai tempat yang paling baik, terutama karena bisa melakukan banyak hal yang tidak dapat dilakukan di luar.

Pasangan yang telah dikaruniai dua anak; Mellania Hari Kristanti (10) dan Irene Hari Kristanti (1) menganggap bahwa rumah besar dan mewah belum tentu ideal bagi keluarga. Rumah bersih dan rapi akan lebih memancarkan keindahan karena seluruh anggota keluarga dapat merasa nyaman. “Kalau belum bersih rasanya suasananya (rumah, red) jadi tidak enak, apalagi untuk anak-anak,” demikian Kristin memaparkan.

Ditanya mengenai konsep bangunan, pasutri warga paroki St. Marinus Yohanes Kenjeran ini mengungkapkan bahwa mereka sempat mengalami kendala ketika hendak menentukan letak dan pengaturan ruang karena adanya perbedaan pendapat. Namun, itu tidak menjadi masalah karena sejauh ini sudah terjalin pola komunikasi yang baik, sehingga untuk hal-hal semacam ini kompromi menjadi satu cara untuk menyatukan perbedaan.

Pada akhirnya, rumah menjadi wadah akan banyaknya proses krompromi untuk berbagai perbedaan yang terjadi di dalamnya.  (*)

Agnes Lyta Isdiana   

Rumah Hasil Kebaikan Banyak Orang

Barangsiapa menabur kebaikan juga akan menuai kebaikan. Hal inilah yang dirasakan betul oleh pasangan Alfonsus Tommy Oktavian Basoeki (31 tahun) dan Ririh Wijayanti (30 tahun) ketika akan membeli rumah. Rumah baru mereka adalah hasil kebaikan banyak orang.

Bermula dari rasa lelah yang dirasakan saat menempuh perjalanan 30 Km pulang pergi setiap hari dari rumah kontrakan mereka di Sidoarjo ke tempat kerja, pasangan yang menikah 23 Desember 2007 ini memutuskan untuk mencari kontrakan yang lebih dekat dengan tempat kerja.

Setelah mengobservasi banyak tempat, harga sewa kontrakan di kota yang tinggi membuat pasangan ini mulai berpikir untuk beli rumah sendiri. Bagi pasangan yang tinggal di Jalan Kedurus II No. 65 ini, rumah adalah tempat pembentukan diri dari dua latar belakang berbeda untuk melebur menjadi satu identitas. Hal inilah yang membuat pasangan ini kemudian memperhitungkan banyak hal ketika akan membeli sebuah rumah.

Tidak main-main, sedan kesayangan Tommy, hasil kerja keras dan punya nilai sejarah karena menjadi kendaraan yang mengantar mereka mengikat janji pernikahan, dijual untuk memperoleh uang muka rumah. Sang istri juga terlibat dengan mengajukan pinjaman ke koperasi tempatnya bekerja. Dan ketika dana belum juga mampu digenapi, pinjaman ringan dengan bunga 0% dan dapat dibayar kapan pun dari orang-orang terdekat memberi makna luar biasa bagi terwujudnya mimpi memiliki rumah sendiri.

Suasana rumah baru di tengah kampung sangat berbeda dengan kontrakan lama di tengah perumahan. Letaknya yang tepat di depan mushola sempat membuat warga setempat meragukan pasangan ini akan betah tinggal di rumah tersebut.

Belum genap empat bulan, rumah mereka sudah sering digunakan untuk kegiatan umat lingkungan. “Rumah ini jadi titik perkenalan dengan banyak orang. Kami jadi aktif berkegiatan, dan punya banyak teman dan saudara setelah menempati rumah ini,” tutur Ririh.

Sang suami menyebut rumah mereka sebagai 'rumah tumbuh'. Segala sesuatu di dalamnya, penghuni dan perabotannya, akan terus bertumbuh. Keduanya berharap rumah mereka dapat menjadi saluran berkat bagi orang lain.

Reza Kartika

Berbekal Slip Gaji Kakak


Melangkah dalam iman menjadi hal terpenting bagi pasangan Christian Adi Putra (29) dan Santi Sulistyawati (28) dalam menjalani bahtera rumah tangga. Pengalaman beberapa kali pindah rumah dan berulang kali beradaptasi dengan lingkungan baru memotivasi Ayah dari Princessa Heaven Chloe (1) ini untuk memiliki rumah sendiri.

Pasangan yang menikah pada 3 November 2007 ini berpandangan rumah harus menjadi tempat yang dipenuhi dengan kehangatan sehingga nyaman bagi setiap anggota keluarga. Sebelum menikah, umat Paroki St. Yakobus ini sudah berencana membeli rumah sendiri. Lantaran tidak punya slip gaji, pihak bank sempat tidak menyetujui kredit perumahan yang diajukan oleh Christian.

“Saat itu, saya baru saja mengundurkan diri dari pekerjaan, lantas merintis usaha sendiri. Karena itu tidak punya slip gaji,” ungkapnya. Berbekal slip gaji kakaknya, ia kembali mengajukan kredit ke pihak bank. Hasilnya ; tetap ditolak.

Dalam ketidakpastian tersebut, mereka tetap punya keyakinan. “Saya hanya punya tabungan untuk membayar uang muka rumah tetapi tidak punya slip gaji. Saya percaya bila Tuhan sudah ijinkan saya bertemu istri saya maka Dia pasti juga mengijinkan saya punya rumah,” imbuhnya.

Keyakinan itu terbukti. Tepat seminggu setelah menikah, pihak bank menyetujui kredit yang diajukan atas nama kakaknya tersebut. Rumah sendiri pun terwujud.

Tinggal di rumah sendiri memberi suasana yang berbeda. “Apa yang ingin diperbuat untuk rumah dapat dilakukan, semuanya create by ourself,” tutur pria yang hobi main musik ini.

Rumah mungil bergaya minimalis di Bukit Palma A6-22, Citra Raya ini merupakan perpaduan konsep pasangan yang aktif melakukan pelayanan di Heman Salvation Ministry (HSM) ini. “Bagi pasangan muda, tidak perlu menunggu punya uang banyak dulu untuk beli rumah. Jangan takut untuk melangkah karena tidak ada yang mustahil bagi Tuhan,” pungkas mereka.

Reza Kartika

Rumah Tempat Berbagi Kasih

Setelah berputar-putar di daerah paroki St Maria Annuntia Sidoarjo, Harmoni akhirnya singgah di sebuah rumah yang di terasnya ditata layaknya butik. Tak heran, sebab ini adalah rumah fashion designer milik pasutri Handy Sutanto dan Albina Kiem Lan.

Awalnya mereka hanya mengontrak rumah mungil untuk mereka tinggali berdua. Lan yang punya keahlian menjahit bertekad membantu suami menambah pemasukan keluarga dengan keahliannya. Ibu yang enerjik dan hobi menyanyi ini memberanikan diri berhutang kain pada kenalannya. Kain-kain itu lalu dijual di kota asalnya, Kebumen. Bisnis ini berkembang dan mulai dikenal di Sidoarjo.

Dua tahun sesudah perkawinan, mereka dikaruniai putra kembar Felix Edwin Sutanto dan Guido Edward Sutanto (23). Ketika berumur satu tahun, keinginan dan doa untuk memiliki rumah sendiri, dijawab oleh Tuhan. “Atasan suami saya menawarkan bantuan untuk mengambil kredit rumah yang boleh kami pilih sendiri lokasi dan tipenya,” tutur Lan dengan mata berkaca-kaca.

Pasutri Han-Lan akhirnya memutuskan memilih rumah yang mereka tempati sekarang di kawasan Pucang Indah Sidoarjo. “Rumah ini begitu besar dan tidak pernah terbayangkan sebelumnya oleh kami,” ujar ibu yang sangat betah di rumah ini..

Di rumah ini bisnis jahit-menjahit berkembang menjadi fashion design hingga mampu menjadi penopang hidup keluarga, bahkan mampu memberikan kesempatan kerja bagi orang lain.

Sebagai ujud syukur kepada Tuhan, mereka menyediakan sebuah ruangan di samping rumah untuk latihan koor bagi warga paroki St Maria Annuntiata Sidoarjo.

Di akhir perbincangan, pasutri yang menikah pada 11 November 1984 dan telah menjalani “kawin perak”, (25 tahun) ini menganggap arti rumah lebih dari sebuah bangunan fisik. Rumah adalah tempat berbagi kasih, tidak hanya terhadap seluruh anggota keluarga, namun juga untuk orang-orang di sekitar mereka. Kasih itu terpancar dalam kebaikan-kebaikan dalam menjalani hidup sehari-hari. (*)

Yohani Indrawati

Rumah Produktif Untuk Usaha


Menurut pasutri Stephanus Andri Tjandrakusuma (30) dan Maria Magdalena Novita Arisandy Wibowo (28), rumah sekaligus bisa menjadi tempat untuk usaha. Ini terbukti dengan usaha lem kertas merk “OKE” milik Andri yang berdiri sejak 2003.

”Perasaan dilindungi, merasa semua sudah tertata, nyaman dan ada orangtua itu merupakan sebagian perasaan sebelum menikah. Setelah menikah lebih merasa mandiri dan perasaan lebih senang karena dulu yang melindungi orangtua, sekarang ada suami,” ujar Novi.

Ini berbeda dengan Andri, baginya tidak ada perbedaan yang besar karena Andri sudah menempati rumah sendiri pemberian orangtuanya sejak tahun 2003 di jalan Simo Pomahan VIII/62.

“Bedanya, sebelum menikah rumah hanya tempat untuk istirahat karena saya sering ngeluyur. Setelah menikah jadi betah di rumah karena ada istri yang menemani,” ujarnya sembari melirik mesra ke istri tercinta.

Pasutri umat paroki Rfedemptor Mundi ini berharap 5-10 tahun kedepan dapat membeli rumah baru dan rumah yang lama akan difokuskan untuk tempat usaha. Pasutri yang aktif di komunitas Choice ini berangan-angan dikaruniai orang anak. (*) 

Ferdinand Vidiandika

Rumah Mewah Belum Tentu Indah

Burung-burung mempunyai sarang, serigala mempunyai gua, tetapi anak manusia tak punya tempat untuk membaringkan hatinya. Demikian sepenggal puisi “Laut” karya seniman Santo Yuliman, yang menjadi inspirasi bagi Peter Megantara (35), konsultan desain arsitektur dalam memaknai sebuah rumah. “Manusia di dunia ini punya dimensi ruang, seperti burung yang punya sarang dan serigala yang punya liang. Begitu pula manusia perlu rumah untuk jenak setelah beraktivitas seharian,” ujar ayah dari Ignasius Mahatma Gabriel  (2).

Berkesempatan untuk ngobrol intens dengan Harmoni, Peter menjelaskan bahwa bentuk fisik dan isi rumah dapat mencerminkan apa yang menjadi latar belakang (profesi, suku/ras, agama) sekaligus latar depan (harapan dan cita-cita) sebuah keluarga. Maka dalam hal mendesain rumah, seorang arsitek harus mampu menerjemahkan kebutuhan dan keinginan calon penghuni. Jika mungkin, rumah itu harus sangat khas sehingga bila rumah itu akan dijual, maka desain rumah perlu dirombak lagi. “Berbicara tentang rumah adalah berbicara tentang keluarga, tentang manusianya,” tegasnya.

Lantas, bagaimana jika dalam satu rumah ada dua keluarga? Bagaimana dengan “keluarga besar” yang tinggal dalam satu rumah? Saat pertanyaan-pertanyaan itu diajukan kepada Peter, ia menyarankan untuk memulai dari sesuatu yang ideal. Keluarga muda sebaiknya memulai “perjalanannya” dengan tinggal terpisah dari orangtua, kecuali karena alasan tertentu. Faktor kemandirian menjadi alasan utama bagi keluarga muda agar dapat mengusahakan tempat tinggalnya sendiri. Setidaknya mereka memiliki otoritas atas kehidupan keluarganya sendiri, misalnya dalam hal mendidik anak.

“Kalau tinggal dengan orangtua akan ada kecenderungan untuk mencari bantuan atau penengah ketika menghadapi konflik dalam rumah tangga,” ujar Peter yang masih aktif dalam komunitas orang muda Katolik di Keuskupan Surabaya ini. Baginya, konflik dalam keluarga adalah kesempatan untuk belajar guna membangun tingkat hubungan yang lebih tinggi.

Lebih lanjut Peter menjelaskan, kalau pun keterbatasan dana menjadi penghambat bagi keluarga muda untuk segera mengusahakan tempat tinggalnya sendiri dan masih harus bergabung di rumah orang tua, setidaknya disediakan dapur yang terpisah. “Umumnya masalah muncul dari dapur. Awalnya sepele, tapi lama kelamaan bisa menyulut konflik yang lebih besar,” ujar suami dari Maria Milagrosa (29). Yang dimaksud dengan “dapur” adalah masalah ekonomi rumah tangga.

Dilihat dari sudut pandang ilmu arsitektur, Peter menjelaskan bahwa sebuah rumah yang dibangun pasti dilandasi oleh filosofi tertentu. Filosofi itu sendiri berakar dari sebuah konsep yang matang tentang makna keluarga. Sebuah keluarga yang hendak membangun sebuah rumah, seharusnya sudah memiliki gambaran kemana konsep keluarga itu diarahkan.

Konsep itu akan mempengaruhi bentuk dan penataan ruang dari rumah yang akan dibangun. Contoh, konsep tentang cara mendidik anak dapat mempengaruhi penataan ruang tidur anak. “Orangtua yang ingin agar anaknya belajar mandiri, mungkin akan membuatkan kamar tidur yang luas lengkap dengan meja belajar. Ada juga keluarga yang menempatkan meja belajar untuk semua anggota keluarga. Dua pilihan ini sama benarnya, tergantung konsep orangtua. Termasuk juga pilihan menaruh televisi atau kamar mandi pribadi di kamar anak. Semua punya konsekuensi,” ujar arsitek yang sempat mengenyam pendidikan di bangku seminari menengah St. Vincentius A Paulo, Garum ini mencontohkan.

Konsep itupun dapat berubah seiring berjalannya waktu dan dengan berbagai alasan. Renovasi rumah yang dilakukan berkali-kali dapat menggambarkan dua hal, yaitu terjadinya perubahan konsep keluarga atau justru karena konsep itu sedang dicari.

“Kita bisa buktikan, sekalipun bentuk bangunan di komplek perumahan nyaris semua sama, lambat laun akan nampak perbedaan antara satu rumah dengan rumah lain yang mencerminkan konsep masing-masing keluarga yang tinggal di dalamnya,” tutur pria yang pernah mengisi rubrik konsultasi rumah “wastu” di halaman Griya di Jawa Pos Minggu selama 3 tahun ini.

Bentuk rumah modern saat ini adalah bukti bahwa konsep tentang keluarga jaman sekarang telah berubah. Peter mencontohkan, dalam budaya Jawa, letak dapur selalu di belakang dan tidak boleh terlihat dari luar. Dapur adalah “wilayah kekuasaan”  perempuan pada jaman itu. Semakin modern, dapur tidak lagi harus ada di belakang, bisa menyatu dengan ruang yang lain. Ini berarti ada cara pandang baru terhadap sosok perempuan.

Tentang konsep rumah indah, warga paroki St. Stefanus Tandes Surabaya yang gemar dengan bacaan-bacaan filsafat ini menggambarkan bahwa rumah besar dan mewah belum tentu dapat memancarkan keindahan.

Berpedoman pada sebuah motto dari St. Thomas Aquinas “Pulchrum Splendor Est Veritatis” (keindahan adalah pancaran akan kebenaran), Peter meyakini bahwa kehidupan keluarga yang harmonis dengan sendirinya akan memancarkan keindahan, sekalipun dengan bentuk rumah yang sederhana.

Ia menjelaskan, dalam dunia arsitektur, keindahan rumah berikut dengan interiornya bukan ditentukan dari mahalnya material atau bentuk yang neko-neko. Menurutnya, keindahan akan muncul dari rumah yang dibangun dengan 'benar'.

Maka, tugas kita adalah mencari kebenaran, bukan keindahan. Keindahan akan datang sendiri setelah kebenaran ditemukan. Ayat kitab suci dari Injil Matius 6:33, “tetapi carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semua itu akan ditambahkan kepadamu” menjadi landasan baginya untuk memperkuat pandangan ini.

Motto dan ayat inilah yang pada menjadi pedoman bagi Peter dalam setiap pekerjaannya. Bersikap jujur, tulus dan berusaha melakukan yang terbaik menjadi prinsip hidupnya. Ia percaya bahwa Tuhan akan selalu memberi jalan dan rejeki jika perbuatan-perbuatan yang benar sudah dilakukan.

Di ujung percakapan, Peter berharap agar setiap keluarga muda mulai merancang sebuah konsep berumahtangga sebelum membeli atau merancang rumah baru. “Agar ada keselarasan antara bentuk rumah dan fungsinya serta interaksi antar pribadi yang tinggal di dalamnya,” ujarnya.

Rumah memang haruslah berdiri di atas pilar kokoh yang disebut kepercayaan dan komitmen bersama. Pasutri yang tinggal di dalam rumah  beratap cinta dan berdinding keharmonisan niscaya akan menjadi keluarga teladan, seperti Keluarga Nazareth. (*)

Agnes Lyta Isdiana

 

Doa Bapa Kami, Doa Yang Sempurna

Doa Bapa kami merupakan salah satu warisan yang paling berharga dari Yesus, guru kita. Doa ini mengandung tujuh permohonan yang terbagi menjadi dua bagian. Bagian pertama untuk memuliakan Tuhan (Mat. 6:9-10) sedangkan bagian kedua untuk kebutuhan kita yang berdoa (Mat. 6:11-13). Doa ini mengandung penyembahan, penyerahan diri, pertobatan dan permohonan sekaligus.

Namun, betapapun indahnya suatu doa, yang terpenting adalah bagaimana kita meresapkannya, sehingga kata-kata yang diucapkan bukan hanya hafalan tetapi sungguh keluar dari hati. Santa Teresa dari Avila memberikan tips yang sangat berharga, “Arahkanlah matamu ke dalam batin dan lihatlah di dalam dirimu. Engkau akan menemukan Tuhanmu”.

Baiklah kita menghayati tiap kata dalam doa yang sempurna ini

Bapa, atau “Abba” dalam bahasa Aramaic adalah panggilan yang erat seorang anak kepada ayahnya. Setiap kita mengucapkan kata “Bapa”, selayaknya kita mengingat bahwa kita ini telah diangkat oleh Allah Bapa menjadi anak-anak-Nya oleh jasa Kristus Tuhan kita.  Saat kita katakan “Bapa” resapkanlah bahwa kita berada dalam hadirat Allah yang Maha Mulia, namun juga yang Maha Pengasih. Ia yang lebih dahulu rindu kepada kita, sehingga kita diberikan kerinduan untuk berdoa, dan memanggil nama-Nya.

Bapa Kami: Alangkah baiknya, jika dalam mengucapkan doa ini kita membayangkan bahwa kita berada di antara para rasul pada saat pertama kali Yesus mengajarkan doa ini kepada mereka. Bayangkan bahwa kita memandang Kristus yang mengajar kita untuk memanggil Allah sebagai Bapa kami, karena Kristus tidak hanya mengangkat “saya saja” menjadi saudara angkat-Nya, tetapi juga orang-orang lain yang dipilih-Nya, yaitu anggota-anggota Gereja.

Yang ada di surga: Kita mempunyai seorang Bapa di surga, yang mengasihi kita sedemikian rupa, sehingga tak menyayangkan Anak-Nya sendiri untuk wafat bagi kita, supaya dosa-dosa kita diampuni dan kita dapat mengambil bagian dalam kehidupan ilahi-Nya.

Dimuliakanlah nama-Mu, datanglah Kerajaan-Mu: “Dimuliakanlah nama-Mu, ya Tuhan, dalam keluargaku, pekerjaanku, perkataanku, segala sikapku….; Jadilah Engkau Raja dalam rumahku, pekerjaanku, studiku, dalam pikiran dan perbuatanku.” Ini mengingatkan kita agar kita jangan mencari dan mengejar kemuliaan diri sendiri dalam segala sesuatu, karena segala sesuatu yang ada pada diri kita sesungguhnya adalah milik Tuhan dan harus kita gunakan untuk kemuliaan nama Tuhan.

Jadilah kehendak-Mu di atas bumi seperti di dalam surga: Ketaatan dan penyerahan diri kepada Tuhan mensyaratkan kerendahan hati. Sering manusia berkeras dalam memohon sesuatu kepada Allah, namun Yesus sendiri mengajarkan kepada kita untuk berserah kepada Allah Bapa. “…tetapi bukanlah kehendak-Ku melainkan kehendak-Mulah yang terjadi.” (Luk 22:42).

Berilah kami rejeki pada hari ini: Yesus mengingatkan kita bahwa rejeki  dan nafkah kita, “our daily bread“, adalah berkat dari Tuhan. “Ingatkanlah aku bahwa semua rejeki yang kuterima adalah semata-mata berkat-Mu, dan bukan milikku sendiri.” Maka kitapun harus teringat pada orang lain, terutama mereka yang berkekurangan, agar merekapun beroleh berkat Tuhan. Santo Agustinus mengkaitkan “our daily Bread” dengan Ekaristi. Ini mengingatkan kita agar tidak semata-mata mencari rejeki duniawi, tetapi juga berkat rohani. Berkat rohani yang tertinggi maknanya adalah Ekaristi, saat kita boleh menerima Kristus Sang Roti Hidup. Di sini kita diingatkan oleh para Bapa Gereja untuk memohon kehadiran Yesus, Sang Roti Hidup, di dalam hidup kita setiap hari. Dan jika “setiap hari” ini diucapkan setiap hari, maka artinya adalah selama-lamanya.

Dan ampunilah kesalahan kami seperti kamipun mengampuni yang bersalah kepada kami: Dikatakan di sini bukan “ampunilah kami, seperti kami akan mengampuni yang bersalah kepada kami.” Artinya, Tuhan akan mengampuni kalau kita terlebih dahulu mengampuni orang lain. Maka mengampuni orang lain sesungguhnya bukan saja demi orang itu, tetapi sebaliknya, demi kebaikan diri kita sendiri: supaya kita-pun diampuni oleh Tuhan.

Dan janganlah masukkan kami ke dalam pencobaan tetapi bebaskanlah kami dari yang jahat: Pencobaan yang datang pada kita bisa bermacam- macam: ketakutan akan masa depan, sakit penyakit, masalah keluarga, pekerjaan, dan seterusnya. Namun bisa juga merupakan ‘pencobaan rohani’, terutama godaan untuk menjadi sombong, karena merasa telah diberkati dengan aneka karunia dan kebajikan.

Doa Bapa Kami adalah doa yang sempurna yang berasal dari Allah sendiri, dan karenanya marilah kita mengucapkannya dengan kasih yang besar kepada Dia yang telah mengajarkan-Nya kepada kita!

Oleh Ingrid Listiati. Disunting seperlunya dari www.katolisitas.org

 

 

Rumah Yang Layak Untuk Keluarga

Tema edisi bulan ini menghadirkan ulasan tentang rumah atau hunian yang diimpikan keluarga. Rumah maknanya telah bergeser dari hanya sekedar tempat  berlindung (house) menjadi tempat bernaung (home).

Bernaung tidak hanya menyatakan tempat tetapi lebih dari itu adalah situasi yang nyaman dan layak bagi semua orang yang menempatinya. Nyaman untuk melepaskan lelah, beristirahat dan layak bagi pertumbuhan, pekembangan dan kebahagiaan keluarga.

Jadi, tidak mengherankan bila banyak yang menyebutkan Rumahku Istanaku, teristimewa bagi keluarga muda yang mulai menata hidup berkeluarga. Ada yang mempersiapkannya jauh-jauh hari, ada juga yang mengupayakannya setelah menikah. Upaya untuk mempersiapkan “istana” ini pun beragam bagi setiap keluarga.

Rumah ideal tentu berbeda bagi setiap keluarga. Rumah yang nyaman dan layak mungkin istilah  yang pas. 

Rumah yang layak dari sudut pandang pemukiman dan tata kota disajikan dari hasil wawancara khusus dengan Johan Silas (73) di kantornya, Laboratorium Pemukiman Fakultas Arsitektur ITS .

Bagaimana perkembangan pemukiman di kota Surabaya?

Surabaya penuh dengan pilihan bagi orang yang mau menetap, pilihan yang mungkin tidak  ada di kota lain. Salah satunya adalah Surabaya tetap menjaga keberadaan kampung. Di perkampungan kita memiliki berbagai pilihan berbagai jenis rumah sesuai dengan kebutu- han, dengan segala kemungkinan mulai dari mondok, menyewa bahkan membeli. Jadi tidak meng-herankan bila kampung ada di setiap sudut kota, contoh sering kita lihat adalah setiap kampus dan bahkan mall yang paling mewah sekalipun di sekitarnya selalu ada kampung. Ini menunjukan banyaknya peluang untuk memperoleh tempat tinggal. Selain itu di Surabaya pengadaan rumah yang formal cukup beragam, mulai dari yang perumahan biasa sampai real estate. Baik yang dikem-bangkan pengembang besar, perumnas dan bahkan yang dikembangkan perorangan yang sering kami sebut “real estate-nya pak haji”.

Suami dari Maria Silas ini adalah dedengkot program perbaikan kampung, atau Kampung Improvement Program (KIP). Pria kelahiran Samarinda, 24 Mei 1936 ini sudah sejak 1968 aktif di KIP. KIP adalah program yang dijalankan oleh Pemerintah Kota Surabaya sejak 1924. Awalnya fokus pada perbaikan sanitasi dan berkembang pada perbaikan kualitas hidup warga.

Sebetulnya prospek kepemilikan rumah bagi keluarga muda di Surabaya cukup bagus karena beragamnya pilihan. Jadi tidak perlu buru-buru beli rumah kecuali punyak uang banyak. Segala peluang terbuka bagi keluarga muda untuk memperoleh tem-pat tinggal, entah hanya mengontrak atau menyewa, menyicil atau cash; sederhana atau mewah semuanya tersedia. Bahkan juga men-jawab kebutuhan, apakah karena dekat dengan sekolah, tempat ker-ja dan sebagainya. Dan yang menarik juga adalah kota Surabaya adalah kota yang tumbuh artinya semua orang memiliki peluang untuk maju.

Bagaimana dengan perencanaan tata kota?

Tentu itu kewenangan Pemkot. Namun penataan kota Surabaya banyak melibatkan perguruan tinggi sejak masterplan awal mulai tahun 1965 sampai sekarang. Yang membedakan dengan kota lain, mereka menggunakan konsultan dari luar, Surabaya justru lebih memilih bekerjasama dengan perguruan tinggi lokal. Ini juga yang kemudian menjadi kekhasan Surabaya, karena tata ruang kotanya sangat localize. Dan Surabaya bahkan Provinsi Jawa Timur, mungkin satu-satunya kota dan provinsi yang penataan kotanya ditangani perguruan tinggi lokal sehingga kekhasannya masih terjaga.

Apa yang Anda ketahui tentang rencana pengembangan kota Surabaya masa depan?

Yang dikerjakan ITS bersama Pemkot sekarang ini adalah rencana pengembangan kota tahun 2005-2015. Tapi dengan disahkannya Undang-Undang no 26 tahun 2007 tentang Tata Ruang, jangka waktu perencanaannya harus dirubah dan diperpan-jang dari tahun 2010-2030. Pemkot akan membuat peraturan daerah (perda) tentang tata kota sesuai UU itu. Kebetulan saya terlibat di dalamnya. Maka kalau perda ini sudah ditetapkan akan ada sosialisasi kepada masyarakat luas dan masyarakat bisa mengakses semua informasi yang dibutuhkan.

Umat Paroki St Maria Tak Bercela Ngagel Surabaya ini baru saja merampungkan program rehabilitasi pemukiman pascabencana di Aceh dan Nias Selatan. Pekerjaan yang dimulai sejak sehari setelah bencana tsunami (Desember 2004) ini baru kelar Juni kemarin. “Selama 4,5 tahun saya bolak-balik Aceh-Surabaya demi menyelesai-kan program ini,” ujar pria yang masih tampak sehat dan cemerlang dalam pemikiran ini. Sejak terlibat program di Aceh, komitmennya pada masalah pemukiman dan tata ruang kota yang manusiawi, kian menguat.

Terkait rencana itu, bagaimana peta pengembangannya?

Surabaya masih bisa berkembang ke semua penjuru. Tapi, yang diprioritaskan adalah barat dan timur. Kenapa tidak selatan, karena berbatasan dengan Sidoarjo dan Gresik. Juga tidak ke utara karena sudah dibatasi laut. Sekarang semua pengembang cenderung ke barat dan timur.

Tapi pengembangan Surabaya tidak terlalu kaku dan tidak mengistimewakan kawasan tertentu. Singkatnya,  Surabaya masih cukup ideal bagi warga dan masih bisa berkembang luas.

Guru besar ini mengaku mengagumi dan terinspirasi sosok Yosef, ayah Yesus. Baginya Yosef adalah pribadi yang sederhana, cinta damai dan tidak suka pujian. “Namanya disebut sedikit sekali dalam Injil. Setelah reformasi gereja Katolik, barulah sosok Yosef mendapat penghargaan yang sepantasnya,” terangnya. Johan Silas percaya, iman Katolik mendapat ujian yang sesungguhnya di tengah masyarakat dalam karya dan kehidupan sehari-hari.

Saat ditanya tentang konsep doa, pria yang gemar blusukan di kampung-kampung Surabaya ini menyebut doa ibarat air. “Tidak ada kewajiban orang minum air putih, tapi tidak ada seorangpun manusia yang tidak butuh air putih. Setiap kita minum air putih juga tidak langsung terasa manfaatnya, tapi kita tidak bisa hidup tanpa air putih. Begitu juga dengan doa pribadi,” tuturnya.

Profesor yang masih aktif menulis dan menjadi pembicara di berbagai seminar  ini paling tidak suka saat ditanya hal-hal pribadi semacam nama anak dan keluarganya. “Apa relevansinya untuk wawancara kita. Mari kita fokus ke topik saja,” demikian dia menjawab.

Tentang arah pengembangan kota seperti digambarkan kayaknya sudah cukup jelas tertata. Tentang pemukiman, Menurut Prof, seperti apakah pemukiman yang ideal?

Ada dua kriteria, dan mungkin istilahnya bukan ideal karena ideal relative berbeda bagi setiap orang. Istilah yang pas menurut saya perumahan yang layak. Pertama, kriteria rumah atau bangunan. Rumah layak pertama adalah, minimum luas rumah untuk satu penghuni adalah 10 meter persegi. Jadi kalau ada lima orang penghuni berarti 50 meter persegi. Rumah layak kedua, tersedianya sanitasi dan air bersih. Layak ketiga, struktur bangunannya harus kokoh supaya kalau ada goncangan atau bencana tetap aman. Layak keempat, dijamin status kepemilikannya harus jelas. Dan tentang kejelasan status kepemilikan di Surabaya sudah ada peraturan tentang ijin kelayakan bangunan dan ini kaitannya dengan sertifikat kepemilikan bangunan yang selama ini terlupakan karena kita hanya memiliki surat kepemilikan tanah.

Kriteria kelayakan kedua adalah layak kawasan. Ada beberapa kriteria perumahan layak kawasan, yaitu, pertama, tersedianya jalan atau aksesibilitas. Kedua, tersedianya fasilitas sosial (sekolah, tempat ibadah, rumah sakit). Ketiga, layak ekonomi dan lingkungan, misalnya harus tersedia pasar, dan juga ke-leluasaan melakukan aktifitas ekonomi. Keempat, alamnya bagus yaitu adanya pembagian ruang terbuka dan untuk bangunan. Prosentase yang biasa adalah 30% ruang terbuka hijau dan 70 % bangunan. Kelima, tidak ada ancaman  bencana alam seperti banjir, gempa, tanah longsor dan sebagainya. Kalau ini sudah terpenuhi maka dapat dikatakan bahwa perumahan itu layak. Dan ini juga sedang dirumusan dalam undang-undang perumahan yang baru, semoga bisa diselesaikan sehingga kita bisa menata perumahan dan pemukiman yang layak dan kita menjadi negara yang “normal”. (*)

Yulianus Andre Yuris

Teror


Modernisasi yang menjadi anak kandung abad 21 membagi manusia menjadi tiga jenis. Jenis pertama menjalani, menikmati dan menuai keuntungan dari remeh-temeh produk barang dan jasa. Orang-orang di golongan ini tidak hanya modern dalam tingkah-polahnya, tapi juga dalam pikirannya. Mereka lahir dan tumbuh besar dalam “cuaca dan atmosfer” yang dalam modernisasi kita kenal dalam istilah rasionalisme (logis dan dapat dicerna indera), efektivitas (cepat-tepat-ringkas), individualis (tentang aku dan kelompokku) dan hedonis (memburu kenikmatan ragawi).

Jenis kedua adalah mereka yang gagap, minder dan takluk pada modernisasi. Orang-orang di jenis kedua ini sesekali kritis pada modernisasi tapi tak kuasa menahan gempurannya. Mereka melakoni dengan pasrah hidup secara modern dalam masyarakat yang (sejatinya) masih primitif. Acapkali golongan ini merindukan nilai-nilai hidup yang lebih otentik, oriental dan orisinil demi kesempurnaan hidupnya. Tapi, apa daya, “cuaca dan atmosfer” itu begitu kuat berhembus menelusup sumsum tulang dan memperlambat peredaran darah. Tubuh, jiwa dan pikiran tak bebas bergerak meski kehendak begitu kuatnya. Anda dapat menduga, saya ada di golongan ini.

Jenis ketiga ada di pinggiran dan terlempar daripadanya. Modernisasi adalah “dunia lain” menurut golongan ini. Sesungguhnya mereka telah menjadi korban

Tidak ada satu golonganpun yang layak dianggap bersalah atau lebih unggul daripada yang lainnya. Tiap golongan memiliki “cacat jaman” yang kelak akan di

Khusus untuk golongan ketiga, ada yang spesial. Mereka percaya, modernisasi lahir dari belahan barat dunia. Dari Eropa dan Amerika, gampangnya. Kehadirannya merenggut dan menghancurkan kebijaksanaan-kebijaksanaan yang lahir dari sisi timur dunia (east wisdom). Mereka serta-merta menolak dan berniat membendungnya dengan apa saja yang mungkin. Jika dianggap perlu, mereka hendak meluluh-lantakan modernisasi agar kehidupan kembali pada kesucian dan kemurnian.

Modernisasi bukan soal agama. Sialnya, golongan ini melakukan simplifikasi yang ceroboh. Mereka meredusir masalah ini sedemikian piciknya hingga tampak seolah-olah seperti perjuangan agama tertentu melawan agama yang lain. Mereka dengan telak telah salah mengartikan modernisasi seperti imperialisme agama modern terhadap agama tradisional.

Maka, mereka melakukan teror bom.

Mereka bunuh diri sembari membunuh orang lain yang tak berdosa demi sebuah pesan pada dunia, “kami ada dan rela mati untuk menolak Barat”. Kesucian dan kemurnian hidup harus dipertahankan, meski dengan kematian diri dan orang lain. Begitu pikir mereka. Lucunya, tak ada satupun manusia normal yang simpati dengan perjuangan mereka, kecuali kelompok mereka sendiri.

Lantas, apakah modernisasi akan terusik oleh teror-teror itu? Jelas tidak. Modernisasi adalah jaman yang bergerak.

Apakah teror-teror itu akan membuat kita takut dan mengubah cara pandang kita tentang kehidupan? Lebih baik jangan. Jika pesan itu sudah salah sejak awal, maka caranya pun juga salah. Jika kita takut, lalu diam dan mengundurkan diri sebagai agen kebaikan, kita ada dalam kendali para pelaku teror itu. Saya sungguh berharap, Anda tidak salah mengartikan teror sebagai masalah agama. Agama hanya kedok bagi mereka yang menjadi korban modernisasi beserta seluruh turunannya.

Maka kita seharusnya bisa jadi golongan keempat dalam himpitan modernisasi, yakni mereka yang teguh mempertahankan nilai-nilai hidup yang luhur sembari menikmati modernisasi sebagai “cuaca dan atmosfer” yang tak sekalipun dapat mengganggu hidup keseharian kita.

Yudhit Ciphardian

 

Televisi, teknologi bermata dua

Pembaca yang budiman, televisi –seperti teknologi yang lain– adalah pisau bermata dua. Televisi dapat menjadi sumber informasi, pendidikan dan hiburan. Tapi televisi sekaligus juga dapat menjadi “racun” bagi pikiran dan batin kita. Ia dapat menjadi sumber inspirasi dan motivasi, sekaligus melemahkan produktivitas dan membentuk alam bawah sadar kita. Persis seperti pisau, ia dapat meringankan pekerjaan kita, tapi juga bisa melukai.

Ada baiknya kita tidak terlalu banyak berharap pada pihak pengelola stasiun televisi. Tentu faktor bisnis dan perputaran modal masih menjadi pertimbangan utama saat harus menentukan program acara yang akan ditayangkan. Di Indonesia, stasiun televisi masih menjalankan bussines as usual. Kepentingan, kebutuhan dan hak pemirsa masih tergeletak di prioritas terendah. Kita dibanjiri tayangan 24 jam dan seleksi paling ampuh ada di tangan kita kita sendiri.

Kami yakin Anda sudah mawas pada bahaya laten tayangan televisi yang tidak mendidik. Untuk itu, edisi ini hendak membagikan cerita tentang keluarga-keluarga yang meraup manfaat dari televisi. Juga tentang lembaga bentukan negara dan lembaga swadaya masyarakat yang mendedikasikan karyanya untuk masyarakat dengan terus mengkampanyekan gerakan menonton sehat.

Di rubrik Jendela kami menampilkan profil gereja yang menjadi cagar budaya Pemerintah Kota Surabaya. Juga hadir artikel tentang memahami perasaan anak yang sedang beranjak dewasa dan baru berkenalan dengan emosi dan perasaan.

Semoga menginspirasi. Demi Semakin Besarnya Kemuliaan Allah

Yudhit Ciphardian

Televisi Menghibur Sampai ”Mati”

Oleh ERIYANTI

PAUL Johnson, jurnalis yang juga ahli sejarah Amerika menyebutkan, ada tujuh dosa (seven deadly sins) dari kebebasan dunia televisi, yaitu distorsi informasi, dramatisasi fakta palsu, mengganggu privasi, pembunuhan karakter, eksploitasi seks, meracuni benak pikiran anak-anak, dan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power).

SALAH satu adegan sinetron berbau mistik yang ditayangkan sebuah televisi swasta. Sinetron berbau agama dan mistik, cenderung hanya menakut-nakuti tentang surga dan neraka.

Sementara itu, laporan Unesco menyebutkan, 27% remaja yang dihukum karena tindak kejahatan, terdorong melakukan aksinya setelah menonton aksi serupa dalam televisi. Sedangkan laporan di AS menyebutkan, di antara kejahatan anak-anak yang telah dihukum oleh pengadilan, sebanyak 10% anak laki-laki dan 25 % anak perempuan mengakui, mereka tertarik melakukan tindakan kejahatan akibat tayangan film yang mereka saksikan di televisi.

Hasil riset Globescan & We Media Global Forum tentang kepercayaan masyarakat terhadap jurnalistik dibandingkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah menyebutkan, di Nigeria mencapai 88% versus 43%, di Indonesia 86% versus 71%, di India 82% versus 66%.

Survei lain menyatakan, 49% penjahat yang tertangkap membawa senjata api ilegal, 28% yang melakukan pencurian, 21% yang melarikan diri dari jerat hukum, dan 25% perempuan yang menjadi pekerja seks komersial, semuanya mengaku mendapat inspirasi dari film-film yang mereka tonton dari televisi.

Lalu, bagaimana dengan Indonesia? Apa saja content (isi) yang disuguhkan televisi swasta yang notabene sudah merangsek semua ruang kehidupan? Seberapa jauh tayangan tersebut memengaruhi pola perilaku masyarakat? Padahal literasi sebagian masyarakat Indonesia juga masih sangat rendah.

HASIL pemantauan BTW (BTW)terhadap tayangan acara yang disuguhkan sepuluh TV swasta dan satu TV nasional seperti yang tertuang dalam buku Laporan Ringkas BTW menyebutkan, beberapa materi berita keras (hard news) yang disampaikan cenderung masih memihak dan tidak netral. Ditemukan pula sejumlah tayangan tanpa sensor dengan visualisasi yang dapat mengakibatkan traumatik bila tayangan tersebut ditonton anak-anak.

Sedangkan untuk berita-berita yang bersifat ringan (soft news) ditemukan banyak pelangaran kode etik, seperti tidak layak tayang, vulgar, korban kejahatan yang tidak disensor, pengambilan gambar korban secara close up, reka ulang tindak kejahatan yang tidak etis (seperti reka ulang kasus perkosaan), dan nama pelaku kejahatan tidak disamarkan. Padahal, pelaku belum ditetapkan sebagai terdakwa.

Isi berita juga cenderung makin sadis. Sedangkan jam tayang tidak proporsional (pagi hari) dan segmennya tidak jelas. Akibatnya, memberi inspirasi modus operandi baru untuk tindak kriminal, karena umumnya berita yang disampaikan adalah usaha penangkapan. Tetapi tidak disertai informasi pemberlakuan tindakan hukum perundang-undangan yang semestinya.

Hasil pemantauan terhadap tayangan acara infotaintment menyebutkan, tayangan infotaintment melenceng dari kebutuhan memberikan informasi menjadi memberikan asumsi yang ambigu dan membingungkan. Bukan kebenaran yang disampaikan, tetapi lebih pada pembenaran. Objektivitas juga diragukan, karena terlalu dibuat-buat dan didramatisasi. Tidak ada pemisahan antara profesi dan privasi. Mengangkat hal-hal pribadi ke ruang publik. Tidak ada pencantuman segmentasi batasan umur. Padahal jumlah jam tayang sangat banyak dan disaksikan semua umur.

Hasil pemantauan tadi dilakukan 100 relawan BTW yang terbagi dalam tiga bidang pemantauan, yaitu bidang pendidikan, bidang informasi, dan bidang hiburan. Ketiga bidang ini melakukan uji coba pemantauan terhadap acara-acara yang ditayangkan sepuluh televisi swasta (TransTV, TV7, GlobalTV, Lativi, RCTI, SCTV, Indosiar, MetroTV, ANTV, TPI) dan satu televisi nasional (TVRI). Acara-acara yang dipantau terbagi ke dalam 11 genre, yaitu berita (news), dokumenter, film (meliputi sinetron, seri, dan lepas), kuis, reality show, talk show, musik & tari, olah raga, iklan (meliputi iklan produk, iklan layanan masyarakat, iklan acara/thriller), pengetahuan agama, dan puspa ragam (variety show).

Pemantauan dilakukan dengan menggunakan format pedoman penilaian tayangan televisi. Pedoman ini dibuat 28 orang dari berbagai latar belakang yang berbeda, mulai dari beragam dasar pendidikan, usia, status ekonomi, sosial, sampai pekerjaan. Aspek penilaian meliputi isi, bahasa, gambar, jam tayang, dan usia. Untuk memperoleh nilai hasil pemantauan tersebut diberikan predikat tidak layak tonton (TLT) dengan pembobotan mencapai skor 1, hati-hati (H2) skor 2, dan layak tonton (LT) skor 3.

Uji coba pemantauan dilakukan selama sepekan dari tanggal 4 hingga 10 Mei 2006. Namun, karena keterbatasan waktu, setiap bidang pemantau tidak dapat memantau semua tayangan acara yang ada. Bidang pendidikan memantau enam materi acara, bidang informasi memantau 27 materi acara, dan bidang hiburan memantau 67 acara.

Bidang pendidikan memantau tiga tayangan umum dan tiga tayangan agama. Bidang informasi memantau berita (enam tayangan acara), kriminal (enam tayangan acara), dokumenter (11 tayangan acara), dan talkshow (enam tayangan acara).

Bidang hiburan memantau film kartun (sembilan tayangan acara), film lepas (empat tayangan acara), telenovela (empat tayangan acara), sinetron (18 tayangan acara), reality show (delapan tayangan acara), dan variety show (24 tayangan acara).

Hasil pemantauan tersebut menyatakan, kategori bidang pendidikan berjumlah enam (6 %) dari total 100 (100 %) yang terdiri atas lima aspek penilaian, yaitu isi, bahasa, gambar, jam tayang, dan usia, menghasilkan predikat 100 % layak tonton. Kategori bidang informasi berjumlah 27 (27 %) dari total 100 (100 %) dengan lima aspek penilaian yang sama menghasilkan predikat layak tonton adalah 95 (13 %), hati-hati adalah 14 (7,5 %), dan tidak layak tonton adalah 19 (6,5 %). Kategori bidang hiburan berjumlah 67 (67 %) dari total 100 (100 %), dengan lima aspek penilaian yang sama menghasilkan predikat layak tonton adalah 100 (20 %), hati-hati adalah 114 (22,4 %), dan tidak layak tonton adalah 121 (24,6 %).

Hasil pemantauan bidang hiburan menyebutkan, tayangan film dan sinetron sebagian besar kering dari pesan moral, ”menawarkan” kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), seks bebas di kalangan remaja dengan jam tayang yang tidak sesuai dan kostum yang tidak mendidik. Sinetron berbau agama dan mistik, cenderung hanya menakut-nakuti tentang surga dan neraka.

Khusus untuk pemantauan acara musik dan lagu, sebagian besar lebih menonjolkan goyang dan bentuk tubuh daripada kemahiran olah vokal. Yang lebih parah terjadi pada acara-acara lawak, pada umumnya tayangan lawak mengangkat topik dan cerita-cerita yang berbau seks (pelecehan seks) dan menjadikan perempuan sebagai objek lawakan tersebut.

BERKACA dari hasil pemantauan tersebut, acara-acara televisi di Indonesia, menurut catatan BTW, tidak mengajak masyarakat untuk berpikir dan menambah wawasan pengetahuan, tetapi lebih mengajak masyarakat untuk menghibur diri. Atau seperti disampaikan George Orwell & Neil Postman, ”Menghibur Diri Sampai Mati”. Padahal, televisi seharusnya memiliki tiga fungsi sosial, yaitu sebagai pengawas sosial, korelasi sosial, dan sosialisasi. Sebagai pengawas sosial, merujuk pada upaya penyebarluasan informasi dan interpretasi yang objektif mengenai berbagai peristiwa yang terjadi di dalam dan luar lingkungan sosial dengan tujuan kontrol sosial agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.

Dalam kapasitas korelasi sosial, merujuk pada upaya pemberian interpretasi dan informasi yang menghubungkan satu kelompok sosial dengan kelompok sosial lainnya atau antara satu pandangan dengan pandangan yang lainnya agar tercapai konsensus. Sedangkan dalam kapasitas sosialisasi, merujuk pada upaya pewarisan nilai-nilai dari satu generasi ke generasi yang lainnya atau dari kelompok ke kelompok yang lainnya.

Namun, televisi di Indonesia belum seperti itu! Televisi di Indonesia lebih menggiring pemirsa kepada ”penjara” hiburan. Bukan dengan paksaan tetapi atas kemauan sendiri. Kondisi seperti itu tentu saja sangat berbahaya mengingat televisi juga menjadi ”guru” dalam mengubah perilaku seseorang.

Cukup beralasan, jika BTW mengeluarkan rekomendasi untuk ”menyelamatkan” masyarakt dari ”sihir” televisi semacam itu. Rekomendasi tersebut adalah, membentuk lembaga pemantau di daerah-daerah lain di Indonesia, sehingga semangat BTW untuk merepresentasikan suara masyarakat terhadap televisi dapat terbangun. Selain itu, posisi tawar masyarakat sebagai mitra potensial terhadap tayangan TV akan tetap dibutuhkan bukan saja untuk rating tetapi juga untuk ”pencerdasan” pada pengelola televisi.

Rekomendasi lainnya adalah, membuat paket pedoman menonton tayangan televisi dalam bentuk tertulis maupun visual untuk disosialisasikan dan diimplementasikan ke seluruh lapisan masyarakat. Selain itu, juga direkomendasikan kampanye menonton tayangan televisi yang sehat dan cerdas. Sehingga televisi menjadi representasi nurani dan mata hati bagi silent majority yang masih dominan di Indonesia.

BTW juga mendorong optimalisasi fungsi dan peranan TVRI selaku televisi publik. Dengan program acara yang memberi edukasi pada publik dalam kemasan edutainment dan technotainment agar TVRI sebagai stasiun televisi nasional menjadi pilihan utama masyarakat dalam menonton tayangan televisi.***

 

Eriyanti, wartawan media mingguan


Kirim email


Nama
Alamat email
Subject
Pesan
Image Verification
Please enter the text from the image:
[ Refresh Image ] [ What's This? ]

Klik Dapat Dollar

Menjadi member Paid To Click

Klik Dapat Dollar