Beranda

Salam Damai Kristus,

Pembaca yang budiman, sama seperti kekayaan alam melimpah di perut bumi pertiwi ini, keberagaman di Indonesia adalah anugerah dan rahmat yang taken for granted. Anugerah dan rahmat yang tidak perlu disangsikan kebenarannya.Indonesia adalah satu diantara sedikit negara di dunia yang penduduknya terdiri atas ratusan suku bangsa. Dengan beragam suku bangsa itu, berturut-turut kita jumpai ragam bahasa, adat-istiadat, kebiasaan dan kebijaksanaan. Tak perlu disangkal, itulah kekayaan kita. 

Edisi kali ini adalah wujud syukur atas keberagaman yang kami tampilkan lewat profil keluarga-keluarga yang hidup dalam keberagaman. “Keberagaman mendewasakan”. Kata-kata inilah yang ingin kami buktikan lewat rangkaian artikel dalam edisi bulan ini. Kami menyusun edisi kali ini dalam suasana sedih yang mendalam menyusul berita gempa di Sumatera Barat dan sekitarnya di penghujung bulan. Tapi, kesedihan itu justru menjadi sumber inspirasi kami untuk terus berkarya dan menyumbangkan apa saja yang kami bisa, agar kehidupan kita bersama menjadi semakin baik. Kami percaya musibah ini bukan tulah, melainkan ajakan untuk bangkit memperbarui diri. Juga kesempatan untuk lebih peka dan mencintai alam.

Jika Anda menerima majalah ini terlambat dari jadwal yang biasanya, harap itu dimaklumi. Suasana libur panjang di pertengahan bulan lalu membuat kami tersendat, terutama saat harus mencari narasumber. Tapi bagaimanapun, kami sungguh tak pernah luntur komitmen untuk terus hadir menemani hari-hari bersama keluarga harmonis Anda dengan bacaan-bacaan inspiratif.

Selamat membaca. Damai Tuhan beserta kita semua.

Yudhit Ciphardian

Ada Apa dengan Keberagaman?












Ny Sinta (nama rekaan) dengan bangga bercerita bahwa putrinya yang baru berusia 4 tahun dan duduk di TK kecil sudah mengenal kosakata yang merujuk pada kategori etnis dan agama teman-teman sekelasnya. “Bella itu”, kata Ny. Sinta menyebut nama putrinya, “suda tahu lgo tentang suku bangsa dan agama teman-teman sekelasnya. Dia sudah tahu kalau si Uni itu anak Minang, si Lena anak Manado, si Anggie anak Tionghoa, si Tera anak Batak, si Ida anak Jawa. Dia juga sudah tahu kalau si Lena itu beragama Kristen, si Anggie Katolik, si Uni Islam, si Tera Dia sendiri juga sudah tahu kalau dia anak Jawa dan  beragama Katolik”.

Yang menjadi teman bicara Ny. Sinta adalah bekas rekan kuliahnya, yang juga sesama ibu muda, yang mempunyai seorang putri berusia hampir tiga tahun. Obrolan di atas muncul ketika mereka sedang asyik ngobrol ngalor-ngidul di ruang tamu rumah Ny. Sinta. Di layar televisi muncul berita tentang aksi perusakan sebuah rumah ibadah agama tertentu oleh sekelompok orang yang mengenakan atribut-atribut agama lain.

Setelah berita itu berlalu, Ny. Sinta berkomentar bahwa sikap tidak toleran dan destruktif terhadap agama (dan etnis) lain seperti yang terlihat dalam berita itu kemungkinan kecil akan terjadi, atau bahkan bisa dicegah bila anak-anak dalam usia yang sedini mungkin diperkenalkan terhadap perbedaan sekaligus dididik untuk menghargai perbedaan.

Untuk membuktikan bahwa hal itu telah mulai dia tanamkan kepada anaknya, Ny. Sinta pun memanggil putrinya dan menanyai suku bangsa dan agama teman-teman sekelasnya.

“Bella, sini dik. Mama pengin tahu tentang teman-teman adik. Si Anggie itu orang apa?”

“Tionghoa”'

“Agamanya apa?”

“Katolik”

“Kalau si Ida?”

“Jawa”

Agamanya?”

“Islam”

“'Kalau Bella sendiri orang apa?”

“Jawa, deh”

“Agama?”

“Katolik”.

“Bella sayang nggak sama teman-teman yang bukan Jawa dan bukan Katolik?”

“Sayang dong. Kan mereka juga sayang sama Bella''

Ny. Sinta tampak bangga dan sekaligus berharap, bahwa sikap toleran atau menghargai perbedaan yang telah mulai tertanam di dalam diri putrinya yang baru berumur empat tahun itu terus berkembang seiring dengan pertambahan usia dan pertumbuhan kematangan jiwanya.

Kemudian ia pun berbicara panjang lebar tentang pentingnya pendidikan multikultural dalam konteks masyarakat Indonesia yang majemuk. la yakin bahwa konflik-konflik horisontal yang disebabkan oleh perbedaan agama, suku bangsa atau etnis yang belakangan ini muncul di berbagai wilayah Indonesia bisa dicegah bila pendidikan multikultural sebagaimana yang ia peragakan dengan putrinya itu ditanamkan baik dalam keluarga, sekolah, maupun masyarakat luas.

Lalu, ia bertanya bagaimana kawannya itu -sebut saja Ny. Ike- mendidik putrinya.

“'Ah, anakku masih terlalu dini untuk diberi pengertian seperti itu”.

''Nggak juga lho. Si Bella itu mulai aku beri pengertian seperti itu sejak setengah tahun yang lalu lho”.

“Aku nggak tahu ya. Cuma kalau aku punya pandangan lain. Anakku justru nanti aku persiapkan untuk mempertanyakan setiap upaya pembedaan. Bukan maksudku untuk menanamkan pandangan bahwa semua orang itu sama atau harus sama. Tetapi, yang mau aku tanamkan adalah pandangan bahwa perbedaan itu muncul sering karena pembedaan, dan perbedaan itu menjadi bermasalah tak jarang juga karena pembedaan. Kalau tak ada pembedaan, entah untuk tujuan baik atau buruk, perbedaan itu barangkali akan dianggap sebagai sesuatu yang normal”.

Ny. lke tak tahu apakah Ny. Sinta paham dengan jawabannya itu. Yang jelas, obrolan mereka pun dengan cepat berpindah ke soal melambungnya harga cabai rawit. Mereka sama-sama penggemar sambal dan makanan serba pedas. Mereka sama-sama merasa terpukul dengan melambungnya harga cabai rawit.

Mereka tidak mempersoalkan perbedaan etnis dan agama di antara mereka.

***

Cerita tentang obrolan sepasang ibu muda di atas akan mengantar kita pada topik keberagaman. Keberagaman adalah perbedaan identitas individu yang disadari tapi tidak dibedakan. Kata dasarnya, “beragam”, dalam kamus bahasa Indonesia diartikan sebagai bermacam-macam, dan berwarna-warni. Maka, dapatlah kita katakan keberagaman adalah anugerah kekayaan yang harus kita jaga.

Sayang sekali. di Indonesia, di masa lalu, keberagaman tidak mendapat tempat sewajarnya. Justru yang terjadi adalah penyeragaman. Kini, bangsa ini sedang menapaki era baru reformasi dan wacana tentang keberagaman semakin kuat dikampanyekan. Majalah kita tercinta ini juga mengemban tanggung jawab untuk menyebarluaskan wacana ini.

Keberagaman dan Kitab Suci
Dalam Perjanjian Baru, santo Paulus seringkali menggambarkan kata keberagaman dengan sebuah perumpamaan “tubuh” manusia. Lebih dari tiga puluh kali, Paulus memakai kata “tubuh” (soma, dalam bahasa Yunani), untuk menggambarkan sebuah gereja yang memiliki keunikan yang beragam. 
Perumpamaan “tubuh” dipakai oleh santo Paulus untuk menggambarkan kesatuan dalam sebuah gereja yang terdiri dari berbagai macam orang dengan warna-warni perbedaan, karakter dan karunia yang mereka miliki. Perumpamaan tentang “tubuh” yang paling banyak dikutip misalnya ada dalam 1 Korintus 12:12, “
Karena sama seperti tubuh itu satu dan anggota-anggotanya banyak, dan segala anggota itu, sekalipun banyak, merupakan satu tubuh, demikian pula Kristus”. Juga dalam Roma 12 : 4, “Sebab sama seperti pada satu tubuh kita mempunyai banyak anggota, tetapi tidak semua anggota itu mempunyai tugas yang sama”. Atau dalam Efesus 4 : 16, “Dari pada-Nyalah seluruh tubuh, --yang rapih tersusun dan diikat menjadi satu oleh pelayanan semua bagiannya, sesuai dengan kadar pekerjaan tiap-tiap anggota--menerima pertumbuhannya dan membangun dirinya dalam kasih”.

Keberagaman dalam keluarga besar

Lalu bagaimana jika keberagaman itu ada dalam keluarga besar kita? Sesungguhnya patutlah kita bersyukur jika itu terjadi. Dengan begitu hidup kita akan kaya warna dan sarat makna. Setiap perjumpaan, obrolan dan peristiwa-peristiwa kecil yang terjadi di keluarga besar kita akan meningkatkan batas toleransi kita.

Ya, yang paling susah menjalani hidup dalam keluarga besar yang beragam adalah menenggang rasa. Setiap individu dalam keluarga harus bersedia menerima tradisi, kebiasaan dan gaya yang berbeda dari individu yang lain. Sikap tenggang rasa adalah syarat penting bagi keharmonisan keluarga besar.

Akhir kata, jika keberagaman kita maknai sebagai kekayaan dan anugerah Allah, maka kita sepatutnya berterima kasih karena diperkenankan hidup dalam keluarga besar yang beragam.

Yudhit Ciphardian (dirangkum dari berbagai sumber)

Mengajarkan Keberagaman dengan Krayon

Mengajarkan keberagaman sejak dini, di masa sekolah, penting bagi masa depan hidup kita bersama. Dengan memperkenalkan keberagaman, sikap dan pola pikir anak akan lebih terbuka untuk memahami dan lebih tulus untuk menghargai keberagaman. Anak-anak perlu diperkenalkan dengan keberagaman etnis, agama, ras, dan antargolongan dengan cara yang mudah dicerna. Cara paling murah mungkin dengan menggunakan krayon.

Krayon? Ya. Ide ini dilakukan oleh Kim Troncone di Veterans Memorial Elementary School pada siswa-siswa SD kelas 1 yang diajarnya. Inspirasi ini diperolehnya dari Martin King Luther Jr.

Sekedar untuk mengingatkan, Martin Luther King (15 Januari 1929 – 4 April 1968) adalah seorang pendeta penerima Nobel dan aktivis HAM. Dia adalah salah seorang pemimpin terpenting dalam sejarah AS dan dalam sejarah non-kekerasan pada zaman modern, dan dianggap sebagai pahlawan pencipta perdamaian dan martir oleh banyak orang di seluruh dunia.

King berjuang melawan diskriminasi rasial. Dalam seluruh aksinya, ia mengikuti prinsip-prinsip Mahatma Gandhi untuk menghindari kekerasan. Untuk beberapa tahun, ia membuat kesuksesan besar, tetapi secara berangsur-angsur orang-orang kulit hitam muda untuk menjauhinya karena mereka tidak dapat menerima paham antikekerasannya dan. Sebaliknya, King tidak pernah berhenti dan sebaliknya semakin meluaskan programnya.

Bagaimana Kim Troncone mengajarkan pentingnya keberagaman dengan menggunakan media krayon?
Ketika siswa-siswa siap untuk menggambar mereka membuka kotak krayon dan terheran-heran karena hanya menemukan satu batang krayon! Mereka hanya mendapat satu karyon masing-masing dan mereka harus menggambar hanya dengan satu batang krayon tersebut. Ini adalah awal dari pelajaran tentang keberagaman.

Seorang anak mencoba sebisanya menggambar dengan hanya satu krayon. Tak lama kemudian ia langsung berkomentar, ”Satu krayon tidak asyik. Tidak banyak yang bisa kita lakukan dengan satu krayon.” Seorang anak hanya punya satu krayon warna hitam dan ia hanya bisa menggambar tenda berwarna hitam. Seorang anak yang lain dapat krayon warna hijau dan bisa menggambar lebih banyak, seperti rumput, anggur, dan bahkan mahkota. Tapi ia tidak bisa berkreasi lebih banyak lagi. Kim kemudian memberi mereka sisa krayon yang lain.
Tak lama kemudian anak-anak itu dapat menggambar jauh lebih banyak dan lebih menyenangkan. Mereka bisa menggambar mobil biru, tempat bermain, tempat bermain gantung, dan pohon. Dengan krayon yang lengkap mereka bisa menggambar jauh lebih banyak, lebih baik, dan lebih mengasyikkan.

Setelah itu mereka diajak membaca sebuah buku berjudul “The Crayon Box that Talked” (Kotak Krayon Yang Berbicara). Buku itu menunjukkan bagaimana semua warna dalam kotak dapat berteman dan bekerjasama. Seorang anak bercerita dengan antusias tentang isi buku itu. “Pada mulanya masing-masing krayon tidak suka satu sama lain. Tapi akhirnya mereka saling menyukai satu sama lain. Masing-masing krayon punya kelebihan,” ujar si anak.

Setelah sama-sama membaca buku, aktivitas berikutnya adalah mengisi poster besar yang berbunyi, ”Impian saya adalah …” dan anak-anak itu menambahkan dengan kata-kata, ”…orang kulit coklat dan putih bermain bersama di taman bermain.” Ada juga yang menambahkan “…punya teman yang berbeda denganku”. Yang paling membuat Kim Troncone terharu adalah tulisan ini, “Dr. King (Martin Luther King) hidup lagi”.

Berikutnya anak-anak ini diminta untuk bercerita dan menyampaikan apa yang membuat mereka berbeda dengan yang lain. Bersahut-sahutan mereka menjawab ragam perbedaan seperti warna mata, warna rambut, warna kulit, dan lain-lain. Di bagian akhir, anak-anak ini diminta untuk menyampaikan apa yang membuat mereka sama antara satu dengan yang lain. Seorang anak yang paling berani berkomentar, ”Menjadi lain adalah luar biasa”.

Keberagaman adalah realita yang indah. Sudah menjadi kewajiban kita, para orangtua untuk memperkenalkannya pada anak-anak. Lalu lihatlah hasilnya, anak-anak kita akan menjadi pribadi yang menerima dan menghargai keberagaman.

Disadur dan disunting seperlunya dari satriadharma.com

 

Love after the Wedding

Berbicara tentang cinta setelah menikah, kita dihadapkan untuk berefleksi tentang kualitas cinta kita terhadap pasangan hidup kita. Sejauh mana kita menyadari pasang-surutnya cinta kita setelah menikah. Tidak jarang cinta kita terhadap pasangan seringkali berubah menjadi perasaan. Kita harus cepat menyadari bila hal ini terjadi untuk mencegah hal ini menjadi berkelanjutan. Soal perasaan, yang harus kita miliki adalah “cinta walaupun” dan bukannya “cinta karena”. Ketika kita memiliki cinta karena, kita akan kehilangan cinta itu jika alasan kita mencintainya sudah tidak lagi pasangan yang kita miliki. Misalnya kita mencintainya karena pasangan kita selalu mendengarkan masalah kita. Ketika pasangan kita sudah terlalu sibuk untuk itu, masihkah kita mencintainya? Kita harus tulus dan tidak mengharapkan apa-apa darinya. Boleh-boleh saja pasangan kita memiliki kelebihan yang kita sukai, tapi kita tidak ingin mengambil manfaat dari kelebihannya itu. Misalnya kita menyukai ketekunannya berdoa, tapi kita tidak berharap pasangan kita akan mendoakan kita di setiap doanya. Kita mencintainya walaupun pasangan kita berubah. Ingat, cinta itu komitmen. Perasaan pasti akan pudar, tapi bila kita telah berkomitmen, hubungan kita akan langgeng.

Jangan lupa pula untuk melibatkan Tuhan dalam proses setelah menikah. Selalu tanyakan kepada Tuhan, bagaimana agar aku mampu memberikan hidupku bagi pasanganku? Apakah setelah menikah, cinta kita terhadap pasangan kita semakin bertambah atau mulai berkurang? Apakah kita lebih sering mengecewakan pasangan kita atau sebaliknya. Dan banyak pertanyaan refleksi yang bisa kita renungkan berkaitan dengan kualitas cinta kita setelah menikah? Proses pergumulan ini mungkin berlangsung lama, kita harus minta banyak petunjuk untuk mengerti kehendak Tuhan. Tapi percayalah, that is worth it. Tuhan tidak akan menyia-nyiakan kita.


Yang jelas, janganlah kita tertipu dengan gambaran cinta yang ditanamkan dunia. Karena dunia mengajarkan bahwa cinta itu adalah keromantisan, cinta tergila-gila sehingga dunia serasa milik berdua, cinta itu manis, cinta itu fisik. Dan pada akhirnya kita lupa bahwa kita tidak boleh mencari cinta di luar Allah. Padahal cinta yang dewasa, cinta yang sejati adalah cinta kasih di dalam Allah. Menikah bukan sekedar makan malam yang romantis berdua, tetapi juga berdoa bersama, ke gereja bersama, saling mendoakan – bukan hanya untuk diri kita, tapi terlebih untuk pasangan kita. Kalaupun ada keromantisan, itu hanyalah bumbu yang tidak boleh kita utamakan. Utamakan intisari dari hubungan kita sendiri bersama pasangan!

Dalam berelasi dengan pasangan, haruslah seimbang antara relasi kita terhadap Tuhan dengan pasangan. Jangan letakkan pasangan kita di posisi tertentu yang menghalangi posisi Tuhan. Demikian juga jangan memberikan pembenaran diri atas nama Tuhan yang bisa melukai relasi kita dengan pasangan. Prioritas pertama kita, sampai kapan pun juga, tetap Tuhan, tapi tanpa kasih kepada pasangan sebagai karunia Tuhan yang terindah bagi kita, semua itu menjadi sia-sia. Dan jadikanlah hubungan kita sehat. Kita dan pasangan saling membangun. Demikian juga bersama Tuhan. Hubungan yang ideal adalah sehat secara vertikal (antara kita dengan Allah) maupun sehat secara horizontal (antara kita dengan pasangan). Kalau salah satu hal di atas tidak seimbang, bisa jadi kita menjadi “married single” artinya menikah tapi hidup sendiri- sendiri, padahal yang diinginkan Tuhan adalah agar kita menjadi ”couple” (pasangan) yang satu hati dan satu roh. Dalam kesatuan ini, kita tidak menuntut dan tidak dituntut untuk menjadi ini atau itu, tetapi kita masing-masing mau berubah bila itu memang baik. Kita mau berubah bukan hanya untuk pasangan kita tapi pertama-tama untuk kemuliaan Tuhan. Sadarilah pula bahwa tidak ada manusia yang sempurna. Pasangan kita mungkin sekali sering menyakiti kita, tapi selalu berpikirlah positif bahwa pasangan kita tidak pernah bermaksud untuk melakukan itu, mungkin itu sesuatu yang di luar kemampuannya. Kita pun bisa melakukan hal yang sama. Keburukan kita dan pasangan kita pula yang membuktikan bahwa hanya Tuhan yang Maha Sempurna, karena itu kita membutuhkan Tuhan di setiap waktu.

Bagaimana bila hubungan kita tetap gagal? Percayalah bahwa Tuhan memiliki rencana yang indah untuk kita berdua. Pasti kita mendapatkan sesuatu dari hubungan tersebut, entah kita menjadi lebih memahami sesuatu atau mungkin menjadi lebih dewasa. Yang jelas, janganlah membiarkan masalah menjadi berlarut-larut antara kita dengan pasangan dengan alasan apapun, entah itu pekerjaan, mertua, karir, anak, seks, keuangan, dll. Bagaimanapun, pasangan kita adalah instrumen yang dipakai Allah untuk mengajar kita. Lagipula, kalau hubungan kita dengannya cukup sehat, kita tidak akan merasa terlalu sakit hati. Tetap doakanlah pasangan kita, agar pasangan kita semakin dekat dengan Allah yang pada akhirnya akan membantu relasi dengan kita sendiri..

Oleh Steph Gabriel di katolisitas.org

Anak Jadi Nasionalis

Perbedaan latar belakang budaya rupanya tidak menjadi hambatan bagi pasangan Aloysius Primus Evangelius Assan (35) dan Agnes Brigitta Sri Laksmini (35) dalam menjalani bahtera rumah tangga. Evan yang asli Flores dan Laksmi yang campuran Bali-Banjarmasin-Tionghoa sejauh ini cukup mampu berkompromi dengan segala perbedaan yang ada.

Kepada Harmoni, pasutri warga paroki Kristus Raja ini mengurai kisah-kisah unik di balik kehidupan perkawinan mereka. “Kami jadi bisa saling belajar satu sama lain, yang tadinya tidak tahu Imlek, sekarang jadi tahu,” papar Evan.

“Saya juga jadi tahu poco-poco (tarian, red),” ujar Laksmi, pemilik konselor biro psikologi dan juga Guru Bimbingan dan Konseling SMAK St. Louis I.

Bagi mereka latar belakang adat dan budaya masing-masing tetap ingin mereka pertahankan, tetapi bukan menjadi hal yang prinsip dan tidak dapat ditawar. Hal ini nampak dari cara mereka mendidik anak semata wayang, Michelle Placidia Evangelista Assan (4). “Michelle ini lebih nasionalis,” gurau Laksmi. Anak tetap mereka perkenalkan dengan budaya yang ada agar bisa saling menghormati, tetapi lebih fleksibel dalam penerapannya.

Menyikapi perbedaan ini, Evan dan Laksmi yang sedang sibuk merintis usaha barunya ini berusaha untuk saling toleran-si satu dengan yang lain. “Kuncinya adalah saling mau bertanya. Kami dan keluarga masing-masing sangat terbuka, terutama untuk belajar,” ungkap Laksmi menutup perbincangan dengan Harmoni. (*)

Agnes Lyta Isdiana

Keluarga Bhinneka Tunggal Ika

Andreas Fanny Ferianto (31) dan Angelica Chrisna Viriyanti (28) tidak membutuhkan waktu yang lama untuk melangkah menuju pelaminan. Tidak ada kendala dan halangan dari masing-masing keluarga mereka yang berbeda. Hal ini karena sejak awal mereka sudah terbiasa hidup dalam keberagaman.

Keluarga besar pasutri umat paroki Gembala Yang Baik ini terbentuk dari berbagai suku dan keyakinan yang berbeda-beda.

Keluarga besar Fanny, adalah campuran keturunan Tionghoa, Jawa, Bali, Batak. Demikian pula dengan keluarga Chrisna yang Muslim.

Biasanya di hari-hari besar keagamaan, mereka saling mengunjungi dan mengucapkan selamat. “Semua orang perlu bersilaturahmi, karena setiap pribadi selalu ingin dihargai dan wajib saling menghargai. Tidak ada masalah dengan perbedaan, selama tidak dibeda-bedakan,” kata Chrisna, perempuan asli Madiun. Menurut Fanny, tradisi saat Idul Fitri yaitu saling mengunjungi dan memaafkan, juga diajarkan dalam tradisi umat Katolik.

Pasangan yang menikah di gereja St Cornelius Madiun empat bulan lalu ini patut bersyukur karena memiliki keluarga Bhineka Tunggal Ika. Dengan begitu mereka menjadi lebih mudah beradaptasi dengan lingkungan sekitar. Tidak ada kecanggungan saat harus berinteraksi dan beraktivitas bersama orang lain yang berbeda suku maupun agama. Sikap ini tentunya yang akan mereka tanamkan kelak pada putra-putri mereka.(*)

Yohani Indrawati

Kumpul Setiap Natal, Lebaran dan Imlek

Jalan menuju jenjang pernikahan bagi pasangan Harmoni kita kali ini tidaklah mudah untuk ditempuh. Sejak awal Siprianus Yudhi Handoko (46) dan Andrea Pricillia Ima Herawati (52) harus menghadapi tantangan dari pihak keluarga yang kurang menyetujui hubungan keduanya karena perbedaan yang ada. Keinginan orang tua agar anaknya mendapatkan jodoh yang berlatar belakang sama, bertolak belakang dengan niat mereka yang terbiasa berkecimpung di lingkungan madani. Dukungan justru mereka dapatkan dari rekan-rekan Mudika dan umat Lingkungan.

Di tengah pertentangan dengan orangtua, mereka memasrahkan diri pada Tuhan. Pasangan yang telah dikaruniai Vincensia Clairine Dione Hanantan (16) dan Fidelis Abee Hanantan (14) ini tak henti-hentinya berdevosi melalui doa Novena dan Rosario (kebiasaan yang berlanjut hingga sekarang).

Hasilnya, setelah 4 tahun pacaran dan berkonsultasi dengan romo pendamping, pasangan Tionghoa-Jawa ini memutuskan untuk menikah. Mereka dituntut untuk menjadi keluarga yang benar-benar mandiri, sebab dengan cara inilah mereka dapat membuktikan kepada keluarga besar bahwa perbedaan itu sama sekali tidak mengendurkan tanggung jawab yang mereka emban setelah menerima Sakramen pernikahan kudus.

Kehadiran dua orang anak bagi umat paroki Salib Suci Tropodo ini menjadi berkat yang luar biasa. Kehadiran anak mampu mencairkan konflik yang dialami orangtua. Setelah anak-anak beranjak besar, masing-masing keluarga pasutri ini telah mampu menerima keberadaan mereka, bahkan memberikan kasih sayang yang berlimpah kepada anak-anak mereka.

Bahkan setelah itu, mereka mempunyai tradisi mudik yang baru; saat Natal, mereka berkunjung ke Malang (kediaman keluarga Yudhi), sebaliknya saat Lebaran dan Imlek, mereka sekeluarga berkumpul di Bojonegoro (kediaman orangtua Ima).

Pasangan yang telah membina rumah tangga sejak silam ini berpendapat bahwa sebagai orang Katolik, dimanapun kita berada, hendaknya kita mengembangkan sikap tenggang rasa dan membangun keakraban dengan orang-orang sekitar, sebab hal ini adalah wujud dari iman kita. Demikian pula mereka mengajarkan kepada putra-putri mereka untuk membina hubungan baik dengan semua orang walaupun berbeda latar belakangnya.(*)

Yohani Indrawati

Makin Beragam, Makin Kaya Budaya

Setelah kontak beberapa kali namun tidak pernah bertemu langsung, Harmoni akhirnya berhasil menjumpai Marian Rosidi (42) wanita aktif salah satu pemilik Diamond Dance Group yang sangat padat aktivitasnya ini.

Memiliki ayah seorang pelaut yang seringkali harus bepergian ke banyak tempat membuat wanita kelahiran Surabaya ini tumbuh dalam pendidikan yang sangat liberal. Meski kedua orangtuanya masih memiliki garis keturunan Tionghoa, Marian tidak pernah dibiasakan untuk belajar dan menghidupi tradisi Cina. Itulah mengapa, keluarganya tidak pernah merayakan Tahun Baru Cina secara khusus. Bebas, terbuka, dan menghormati pilihan orang lain adalah kultur yang selalu dibangun dalam keluarganya.

Tak heran bila keberagaman bukan barang asing baginya. Anak kedua dari empat bersaudara perempuan ini bercerita bila kakaknya yang pertama (sekarang tinggal di Palu), menikah dengan pendeta asli Toraja. Adik perempuannya yang ketiga menikah dengan pria keturunan Indonesia-Jerman, sedangkan adiknya yang terakhir menikah dengan pria Jawa sama seperti dirinya.

Meski mengaku tidak memiliki cerita unik di dalam keluarga besarnya, Istri dari Edwin Eriyanto (47) ini dengan bersemangat bercerita tentang suasana saat keluarga besarnya berkumpul. Gaya bicara dan penyebutan istilah tertentu yang berbeda dari masing-masing daerah sempat menjadi bahan bercanda di keluarga besarnya.

Tentang menu makanan yang biasa disantap ketika berkumpul, Ibu dari Narulita Josefa Eriyanto (13) dan Pierre Edward Eriyanto (6) ini mengungkapkan, “biasanya kalau kumpul, kami makan di luar. Kami makan masakan chinese food atau makanan apa saja yang semua suka. Suami adik saya yang Indo-Jerman juga suka masakan Indonesia. Dia sangat Indonesia,” imbuhnya dengan tersenyum.

Umat Paroki Santa Maria Tak Bercela, Ngagel ini memaknai keberagaman sebagai hal yang makin melengkapi. “Dengan keberagaman kita akan semakin kaya dalam pengetahuan dan budaya,” tutur wanita yang hobi menari, main musik, dan olah raga ini. (*)

M. Ch. Reza Kartika

Tetap Tak Lupa Asal-Usul

Membentuk keluarga kecil yang bahagia adalah cita-cita setiap orang, tak terkecuali pasangan Benediktus Benny Yulianto Kaboel (34) dan Monica Putri Astuti (32). Ditemui Harmoni di kediamannya, pasutri warga paroki Kristus Raja yang telah dikaruniai 2 anak, Ferdinand Feodore Flavius (2) dan Giovanni Dimas Imantaka (1) ini mengurai  kisah seputar kehidupan perkawinannya.

Enam tahun masa pacaran dan tiga tahun usia perkawinan telah membuat pasutri ini kian matang. Hal ini nampak dalam sikap keduanya yang selalu tenang dan bersahaja. Latar belakang suku dan budaya yang berbeda dari masing-masing keluarga tak lantas memunculkan jarak antara keduanya. Sikap toleransi dan saling menghargai senantiasa dijunjung tinggi. “Kami selalu diskusi lebih dulu sebelum menghadiri acara keluarga masing-masing, bagaimana sebaiknya supaya tidak salah bersikap,” tutur Benny.

Pada akhirnya, Benny yang seorang wiraswastawan dan Putri, karyawan RSK St. Vincentius A Paulo ini ingin membentuk keluarga kecil dengan konsep yang telah mereka sepakati sendiri. “Keluarga masing-masing hanya akan memberi dukungan,” tambahnya. Termasuk dalam hal mendidik anak-anak, keduanya cukup demokratis namun tidak terlepas dari latar belakang budaya masing-masing. “Anak-anak tetap memanggil orang tua saya 'Enkong' dan 'Mak', demikian juga dengan orang tua Putri, 'Mbah uti' dan 'Mbah kung'”. Cukup unik, pasutri ini ingin agar anak-anak mereka tak lupa asal-usulnya.

Bagi pasutri Tionghoa-Jawa ini, yang terpenting adalah senantiasa menjaga hubungan baik antara keluarga masing-masing serta mampu membuktikan yang terbaik bagi setiap anggota keluarga. (*)

Agnes Lyta Isdiana

Menerima Perbedaan, Memperkaya Tiap Pribadi

Hangat, bersahabat, dan terbuka, itulah kesan yang tampak ketika berkun jung ke kediaman pasangan Youdy Poluakan (36) dan Erry Dianna (36).  Keluarga besar umat paroki St. Stefanus ini sangat beragam. Erry bercerita bila adiknya yang kedua menikah dengan pria yang asal Flores dan adiknya yang ketiga menikah dengan pria Batak. Erry sendiri, yang Jawa tulen, menikah dengan Youdy yang asli Manado pada 5 September 1999 silam.

“Perbedaannya tidak terlalu mencolok karena mereka sudah lama tinggal di Surabaya. Jadi, kebiasaannya juga hampir sama, bahkan bisa berbahasa Jawa juga,” tutur Ibu dari Santa Theresia/Bunga (8), Santa Sisilia/Bening (6), dan Santa Lusia/Biru (4) ini. Meski demikian, Erry sempat ingin mengubah kebiasaan yang tidak disukainya dari sang suami, yaitu nada bicara keras. “Sebetulnya Kak Oudy bukan marah, tetapi nadanya saja yang keras jadi seperti sedang marah. Waktu pacaran, rasanya ingin sekali mengubah kebiasaannya itu tetapi hingga hari ini kami satu sama lain tidak saling terpengaruh. Tidak ada yang berubah,” ujar wanita yang berpacaran dengan Youdy sejak SMA .

Wanita karier yang suka sekali mengikuti program self healing ini mengungkapkan kuncinya ia temukan ketika membaca sebuah kalimat bijak “jangan punya keinginan mengubah apapun, tetapi terimalah perbedaan apapun”.

“Setelah membaca itu, kami mulai belajar menerima setiap perbedaan. Ketika semua hal itu diterima dengan lapang hati, kami merasa lebih 'ringan' untuk menjalani hidup yang lebih baik,” ungkap wanita yang hobi membaca ini.

Bagi keluarga ini, keberagaman makin memperkaya tiap pribadi di dalamnya. Bagaimana tidak? Keberagaman telah mengantar keluarga ini memiliki lembaga musik dan seni “Crescendo” di jalan Manukan Tengah 9 Km No. 6. Lembaga ini dikelola semua anggota keluarga. Dalam keberagaman, mereka saling mengisi satu dengan yang lainnya. Keberagaman membuat mereka terus bergerak maju. (*)

M. Ch. Reza Kartika

Orang Katolik Ternyata Tidak Menyembah Patung


Shalom, nama saya Sigrit. Lengkapnya Sigrit Rahayu Kusumawati (banyak yang bilang semakin ke belakang namanya semakin jawa, padahal saya bukan orang Jawa loh). Saya dilahirkan di Denpasar 10 Juni, 28 tahun yang lalu. Papi saya orang Bali asli seorang pekerja keras, dan sangat disiplin. Mami saya orang Finlandia, seorang ibu rumah tangga, seorang pelayan Tuhan yang sejati. Keluarga besar saya di Bali adalah keluarga Kristen Protestan yang giat melayani, bahkan rumah kami di kampung dijadikan gereja. Dari merekalah saya mengenal Kristus, sebagai seorang Protestan. Saya hanya mengetahui sedikit sekali tentang kampung halaman saya, karena setelah saya berumur lima tahun, kami sekeluarga pindah ke Jakarta, awal-awal di Jakarta pun kami harus berpindah-pindah tempat untuk kontrak rumah atau numpang dirumah saudara, sebelum akhirnya setelah saya duduk dikelas 3 SD saya benar-benar merasakan punya rumah sendiri. Tidak banyak kenangan yang saya dapat ingat mengenai masa kecil saya, mungkin karena terlalu sering pindah rumah.

Boleh dikatakan keadaan keluarga saya adalah broken home, karena komunikasi antar keluarga terutama suami istri tidak berjalan sebagaimana mestinya. Broken home bukan karena orang tua bercerai. Saya anak ke dua dari tiga bersaudara. Saya memiliki kakak perempuan dan adik laki-laki. Saya dan Kakak saya berjarak tiga tahun, sedangkan dengan adik saya, emapat tahun. Ada yang khusus dengan adik saya, dia penderita Down Syndrome (mungkin disinilah awal kekecewaan papi terhadap anak harapannya). Mungkin anda beranggapan saya pastilah memiliki panutan seorang kakak perempuan. Namun anda salah besar, karena kakakku adalah seorang pemberontak. Ya, karena pergaulan yang tidak benar dan kurangnya control dari orangtua, dia hamil di luar nikah waktu SMA (saya masih SMP waktu itu). Saking kecewanya, Papi akhirnya memborbardir saya dengan pernyataan yang diulang-ulang seperti ini: “Lihat, kakakmu sudah begitu, dan adikmu sudah tidak mungkin diandalkan, maka kamu harus jadi orang yang berhasil supaya ada yang bisa dibanggakan dari keluarga ini.” Bayangkan, anak ABG 14 tahun sudah didoktrinasi semacam ini. Saya pun tumbuh menjadi orang yang sangat penurut karena takut, seorang yang tidak dapat mengambil keputusan sendiri, seorang pencemas dan pemikir, seorang yang selalu penuh dengan kekhawatiran. Jadilah saya seperti orang yang merasa tidak mempunyai pegangan, tidak memiliki seseorang yang dapat saya andalkan, selain teman-teman saya.

Namun, saya adalah anak yang pintar dan di balik kecemasan saya, saya berpura-pura menjadi seseorang yang sangat ramah, agar orang-orang tidak tahu saya sedang sedih. Ya, seperti memiliki dua kepribadian yang berbeda. Sejak SMP, setiap selesai sekolah saya tidak pernah langsung pulang ke rumah. Saya pasti ke rumah teman sampai sore, dan baru pulang rumah setelah jam enam sore. Saya paling malas ke sekolah minggu karena saya berpikir dari Senin sampai Sabtu saya sudah sekolah, masak hari Minggu saya harus sekolah lagi, kapan liburnya…..? Dengan berbagai alasan saya selalu menolak.

Sampai pada suatu hari saya berkenalan dengan seorang teman baru di SMP saya. Dia yang akhirnya memperkenalkan kembali konsep keTuhanan dan Gereja kepada saya. Saya diajak ke gereja tempat dia biasa kebaktian, sebuah Gereja Pantekosta. Hasilnya luar biasa, saya lama-lama menjadi aktif sekali di sana, malah lebih aktif dari teman saya itu, entah itu merupakan suatu panggilan atau hanya pelarian. Saya menjadi singer, menjadi Guru Sekolah Minggu dan mengajar menari. Hal tersebut berlanjut samapai saya di SMA. Saya aktif di organisasi Kristen di sekolah, termasuk anak yang paling berpengaruh di lingkungan organisasi tersebut, tapi anehnya, cara hidup dan tingkah laku saya sama sekali tidak memcerminkan anak Tuhan. Tetapi toh menurut saya waktu itu, melayani Tuhan dan pergaulan saya adalah dua hal yang sangat berbeda dan keduanya tidak dapat dicampuradukkan.

Menjelang kelas 3 SMA Papi saya bertanya, karena beliau merasa ‘aneh’ melihat saya sangat santai, tidak pernah ikut bimbingan belajar untuk UMPTN. “Sigrit, kamu mau kuliah di mana nanti?” Dengan enteng saya menjawab, “Mau di Tarakanita saja Pi, jurusan sekretaris, biar kuliah tiga tahun saja bisa langsung kerja, jadi Papi ga repot”. Ya, saya sudah menyiapkan semuanya, saya sudah tau saya akan kuliah di Tarakanita. Karena jarak antara kampus dan rumah sangat jauh, maka saya minta masuk asrama. Alasannya,  supaya tidak terlambat kuliah. Padahal ini hanya merupakan salah satu alasan untuk “melarikan diri dari rumah”. Dengan tekad bulat saya tidak ikut UMPTN, saya tidak ikut test masuk perguruan tinggi manapun, kecuali test masuk Tarakanita. Malamnya sesudah selesai test saya berdoa dengan sungguh-sungguh. Sepertinya hanya doa ini yang pernah saya doakan dengan paling sungguh-sungguh masa itu! Tuhan menjawab doa saya, saya lulus dan berhasil masuk asrama.

Di asrama, saya terkaget-kaget dengan sistem pengajaran di sebuah akademi Katolik, luar biasa disiplin dan ketat. Kami semua satu angkatan terdiri dari 600 orang, jadi total di kampus itu ada 1800 orang calon sekretaris yang semuanya perempuan. Hanya segelintir orang yang masuk asrama, hanya 120 orang dari tiga angkatan. Di asrama sendiri tidak ketat, hubungan antar kami dekat sekali seperti kakak-beradik. Namun di sinilah iman Katolik saya bertumbuh. Karena menjadi anak Asrama Mediatrix, saya harus mengikuti semua kegiatan yang diprogramkan termasuk doa malam di kapel.

Saya termasuk anak yang rajin ke kapel. Pertama-tama, saya melihat dan berkata dalam hati, “Cara berdoa orang Katolik aneh sekali, membosankan, begitu hening, tidak ada tepuk-tepuk tangannya, tapi kok pada tahan ya?” Itu anggapan saya pertama kali ikut doa malam. Anehnya lagi ketika saya ikut doa rosario, batin saya berperang… apa saya sudah benar ikut-ikut doa begini, kan ngga boleh menyembah yang lain selain Tuhan, tapi kenapa kita berdoa dengan menyebut nama Maria? Kan dia juga manusia sama seperti kita… Berbulan-bulan hati saya berkecamuk.. tidak tenang, gelisah.

Tetapi pelan-pelan saya penasaran, saya belajar sendiri, saya bertanya dengan teman-teman, dengan pastur, dengan para biarawati yang tinggal di biara belakan kapel, lewat buku dan sebagainya. Saya belajar, bahwa orang-orang Katolik tidak menyembah Maria. Mereka menghormatinya karena Maria adalah Bunda Kristus yang sudah dipersiapkan Allah sejak awal untuk dikuduskan bagi Kristus. Orang Katolik juga menghormati Malaikat dan Orang Kudus karena mereka dekat kepada Allah dan mereka senantiasa berkomunikasi kepada Allah. Sebuah konsep yang sama sekali asing buat saya sebagai seorang Protestan, yang sama sekali tidak pernah mengenal konsep Maria dan orang Kudus, malaikat, dan sebagainya. Yang saya pelajari selama ini di gereja Protestan adalah bahwa Maria adalah manusia biasa yang dipakai Tuhan untuk melahirkan Kristus. “Kita tidak menyembah atau berdoa kepada yang lain selain kepada Kristus saja. Tidak juga berdoa kepada santo/santa karena mereka juga manusia yang pasti ada dosanya,” itu kata Pendeta saya waktu itu. Bagi gereja tempat saya beribadah, menjadi Katolik adalah sesuatu yang murtad dan “haram” karena sudah jelas-jelas menyembah patung. (Setelah saya menjadi Katolik, saya menyadari betapa kelirunya pandangan ini. Orang Katolik tidak berdoa kepada Maria dan orang Kudus, dan juga tidak menyembah patung. Orang Katolik hanya berdoa memohon agar Maria dan para orang kudus itu mendoakan mereka).

Tetapi anehnya, semakin diyakinkan oleh Pendeta saya, saya semakin merasa penasaran ingin tahu lebih banyak lagi tentang kebenaran Gereja Katolik. Saya tidak pernah ke gereja saya lagi sejak tahun kedua saya di Tarakanita. Saya jarang pulang karena situasi di rumah juga sangat tidak nyaman, karena banyak pertengkaran orang tua. Setiap minggu pagi saya selalu antusias untuk ke gereja St. Anna bersama teman-teman saya yang Katolik, walaupun tidak ikut komuni. Saya mendengarkan homili, saya merasakan tenangnya keheningan gereja, saya berdoa minta petunjuk pada Tuhan, saya harus bagaimana. Tuhan tidak langsung menjawab atau memberikan jalan. Menurut saya, Tuhan hanya ingin melihat kesungguhan saya untuk menjadi seorang Katolik.

Selepas kuliah saya belum juga menjadi Katolik, tapi saya dipertemukan Tuhan oleh seorang yang luar biasa yang menunjukkan jalannya kepada saya.  Dia seorang Katolik yang taat. Darinyalah saya belajar berdoa kembali setelah lama sekali tidak berani berdoa karena bingung dan takut salah. Dia meminjamkan buku doa kecil kepada saya, dan berkata, “Buku ini adalah hadiah krisma dari pastur parokiku waktu itu. Isinya banyak doa-doa. Kamu bisa belajar berdoa lagi dari buku ini.” Dia menyarankan kalau saya serius untuk menjadi Katolik lebih baik saya belajar dalam kursus katekumen di gereja.  Akhirnya saya mendaftar kursus di Gereja dekat rumahnya. Ternyata dia yang mengajakku itu akhirnya menjadi suami saya.

Tuhan menjawab doa saya, saat saya minta izin menjadi Katolik kepada Mami saya. Beliau senang sekali, katanya pada calon suami saya waktu itu: “Terimakasih, kamu sudah mengembalikan Sigrit ke jalan Tuhan.” Wow, saya tidak pernah mengira akan semulus ini jalannya. Lain cerita dengan reaksi Pendeta saya. Beliau hanya diam, tapi sejak saat itu, setiap kali bertemu, beliau selalu “menyempatkan diri” untuk mengajak saya kembali ke kebaktian di gerejanya dengan berbagai cara. Sampai-sampai saya merasa kok sepertinya dia berfikir saya dan suami saya adalah orang yang paling berdosa dan paling perlu diselamatkan dari Gereja Katolik.

Teman-teman kantor juga mulai bertanya, kenapa saya berpindah ke Gereja Katolik. Mereka pikir saya ikut-ikutan hanya karena ingin menikah dengan suami saya. Lalu saya bercerita tentang mengapa saya menjadi Katolik, mereka malah berkata, “Kamu kan tahu Gereja Katolik itu kayak apa bobroknya, masak dosa bisa dihapus pake surat?” (Setelah saya menjadi Katolik, saya mengetahui, yang dibicarakan adalah penyimpangan ajaran tentang Indulgensi, yang terjadi di abad ke-16). Saya hanya tersenyum dan berkata, “Memang di jaman dahulu terjadi penyimpangan dalam penerapan ajaran Gereja, walaupun sebenarnya, ajarannya tidak salah. Lagipula,  sekarang sudah tidak ada lagi penyimpangan itu. Dan Bapa Paus bahkan mengakui bahwa hal tersebut adalah kesalahan yang dilakukan oleh putera- puteri Gereja Katolik di masa lalu. Selanjutnya Gereja memperbaiki diri dan bertumbuh dari situ, untuk menjadi Gereja yang lebih baik. Sama seperti kita, Paus-paus terdahulu juga manusia biasa, yang bisa juga berdosa dan melakukan kesalahan, namun jangan lupa, mereka itu sudah dipilih Tuhan untuk menggantikan Rasul Petrus. Maka walaupun mereka dapat melakukan kesalahan sebagai manusia, namun pada waktu melaksanakan wewenang mengajar, mereka tidak dapat salah, karena kuasa Kristus sendiri yang menjamin demikian.” Pertanyaan seperti ini bukan hanya satu atau dua kali. Bahkan ada yang mengajak berdebat, namun saya menolak. Menurut saya percuma saja, maka saya katakan padanya, “Kalau mau cari info lebih lanjut, tanyalah kepada Pastur yang lebih tahu banyak atau baca buku, tapi jangan ajak saya debat, saya tidak mau”.

Saya diterima secara resmi di Gereja Katolik 31 Juli 2004 dengan mengambil nama baptis Theresa (St. Teresa dari Kanak-kanak Yesus) karena saya sebenarnya dibaptis di gereja protestan pada bulan Oktober, bulannya St. Teresa dan saya mau meneladani semangat St. Teresa berkarya bagi Tuhan melalui hal-hal yang kecil, untuk mengasihi Tuhan dan semua orang karena Tuhan mengasihiku.

Yang saya pelajari dari menjadi Katolik adalah menjadi pribadi yang lebih stabil, tidak melayani Tuhan hanya karena pelarian, tetapi karena Tuhan sendiri. Selanjutnya, saya belajar bahwa iman harus nyata dalam perbuatan, dan bukan hanya dalam perkataan saja, agar hidup kita dapat menjadi contoh dan teladan bagi orang lain. Saya menyanggupi panggilan hidup berkeluarga, menjadi istri dan ibu yang bekerja dari dua orang anak, Sebastian 3,5 thn dan Rafael 5 bulan. Saya melayani keluarga untuk Tuhan, dan aktif menjadi pengurus Perkumpulan Katolik di gedung Sentra Mulia tempat saya bekerja.

Saya, suami dan anak pertama kami Sebastian, biasanya mengikuti misa kedua di Gereja kami St. Matius Penginjil Bintaro. Anakku selalu berusaha untuk mengikuti dengan khidmat keseluruhan misa (dengan gaya kanak-kanaknya yang menggemaskan tentunya) dan selalu antusias untuk bersalaman dengan “Opa Pastur-nya” setiap kali habis misa. Pastur Paroki ingat sekali padanya, dan selalu berpesan…, “Jadi Uskup ya kalau sudah besar.” Sebastian tersenyum senang dan saya mengaminkannya. Semoga Tuhan mengijinkan…

Source : katolisitas.org

 

Peristiwa Penting Sesuai Usia Anak

Gunakan panduan usia yang spesifik sebagai salah satu alat bagi Anda untuk mengukur perkembangan anak secara keseluruhan.

Usia 6 Tahun:

Mayoritas anak usai ini bisa melakukan:

* Mencapai koordinasi dan kekuatan otot untuk dapat melompat, menghindar, dan menangkap bola.
* Mulai mengerti tentang sebab-akibat. Cara berpikir yang "gaib" alias imajinatif yang merupakan ciri khas anak usia ini, akan menghilang dengan cepat. Namun bagaimanapun, anak tetap memiliki imajinasi yang aktif.

* Memusatkan hanya pada satu masalah, pada satu saat.

* Mulai mengerti menggabungkan huruf-huruf dan suara-suara yang membentuk kata-kata. Mereka mulai bisa menulis beberapa kata-kata dan bahkan mulai dapat membaca teks yang sederhana.

* Sosialisasi dengan teman-temannya mulai meningkat meski mereka tetap tergantung pada ibu/pengasuhnya untuk setiap interaksi yang lebih pribadi.


Usia 7 Tahun:

* Mulai memperlihatkan minat pada satu gaya belajar tertentu seperti belajar berkelompok atau belajar sendiri.

* Persahabatan berkembang. Biasanya dengan anak-anak lain seusianya dan dengan jenis kelamin yang sama.

* Senang bergabung dengan kelompok (tari, drama, olahraga) tetapi tetap memerlukan waktu untuk sendiri.

* Menyukai seni, keterampilan/kerajinan tangan, dan peran fisik yang aktif.


Usia 8 Tahun:

* Biasanya berpikir yang ini atau yang itu. Segala sesuatu sangat bagus atau sangat jelek, cantik atau jelek, benar atau salah. Anak-anak memusatkan perhatiannya pada satu hal dan pada satu saat, yang membuat mereka sulit bisa mengerti hal-hal yang lebih kompleks.

* Membaca kalimat sederhana sebanyak 2 sampai 7 kata.

* Senang berada di antara teman-temannya. Ada yang senang ikut dalam suatu kelompok tertentu seperti tim sepak bola.

* Perubahan emosi yang cepat. Jika anak tiba-tiba marah, hal ini umum terjadi. Sebagian besar anak pada usia ini menunjukkan sikap kritis terhadap orang lain. Terutama terhadap orang tuanya. Mereka tampak dramatis dan kadang-kadang kasar.

* Pengucapan kata-kata yang tepat dan penggunaan tata bahasa yang betul.

* Mayoritas telah mampu berkomunikasi dengan baik.


Usia 9 Tahun:

* Berpikir lebih mandiri dan kemampuan dalam mengambil keputusan semakin berkembang. Hal ini mempengaruhi kemampuan cara berpikir yang kritis dan keterampilan untuk mempertimbangkan lebih dari satu perspektif pada saat yang bersamaan.

* Mulai memiliki persahabatan yang penuh kasih dan kuat.

* Telah mencapai kepekaan empati yang kuat mengerti dan peka terhadap perasaan orang lain.

* Rasa ingin tahu mengenai hubungan antara anak laki-laki dan anak perempuan. Rasa ketertarikan pada lawan jenis mulai tumbuh, meski sebagian anak menyangkalnya.

* Cara berbicara dan mengucapkan kata-kata sudah semakin jelas dan baik.

* Meningkatnya minat pada olahraga berkelompok.

* Gemar menggambar, melukis, senang membuat perhiasan, atau mencoba kegiatan lain yang menggunakan keterampilan motorik.


Usia 10 Tahun:

* Mengenal tanggal dengan baik (minggu, hari, bulan, dan tahun).

* Senang bergaul, berteman, dan mempunyai sahabat sesama jenis.

* Tetap senang melakukan kegiatan yang dilakukan berkelompok.

* Tetap menyangkal minat mereka terhadap lawan jenis. Tetapi di sisi lain, mereka memperlihatkan sikap mengganggu atau bersikap aneh-aneh untuk menarik perhatian lawan jenis.

* Cara berbicara yang mulai mendekati cara berbicara orang dewasa.

* Kadang-kadang mencari majalah-majalah atau buku-buku untuk topik-topik tertentu.

* Memperlihatkan perkembangan yang baik dalam mengendalikan otot besar dan kecil. Sebagian akan gemar melakukan kegiatan yang menggunakan otot seperti basket, menari, sofbol.

Source : tabloidnova.com

Urban


Mengapa setiap selesai Lebaran orang desa berbondong-bondong ke kota? Yang sudah mendapat pekerjaan mapan di kota, pulang ke desa untuk mengajak dua-tiga orang kerabatnya datang ke kota. Mengapa pula orang-orang muda dari desa yang kuliah di kota-kota besar enggan kembali ke desa setelah lulus? Mengapa “semangat merantau” yang dulu berkobar-kobar di dada mereka, tidak cukup kuat mengubah orientasi hidup mereka untuk membangun desa? Pertanyaan-pertanyaan ini menggelisahkan saya setiap tahun.

Jawabannya mungkin sudah kita ketahui bersama-sama; industrialisasi dan gaya hidup. Dua hal itulah yang tiap tahun menguras orang-orang desa dan membuat kota semakin sesak. Yang saya maksud dengan industrialisasi adalah peluang kerja, peluang berusaha, peluang berelasi dan peluang permodalan serta perputaran uang yang dinamis. Lalu yang saya maksud dengan gaya hidup adalah kesempatan menikmati hidup yang modern, nyaman, berbudaya, lebih terorganisir dan terjadwal.

Tapi –dan inilah yang menjadi pokok pikiran tulisan pendek ini– industrialisasi dan gaya hidup adalah ciptaan manusia.  Penciptanya dapat kita sebut urban founders (pendiri kota). Mereka dapat kita kenali dalam tiga golongan besar; pengusaha kelas menengah, pejabat pemerintah lokal dan pemilik perusahaan raksasa.

Sayang sekali, watak urban founders di semua kota besar di Indonesia nyaris sama. Pengusaha kelas menengah terus menumpuk modal dan kekayaan. Pejabat pemerintah tidak profesional dan korup. Konglomeratnya terus ingin berekspansi dan “menjajah” tempat-tempat baru.

Perpaduan ketiga watak itu membuat urbanisasi menjadi ritual tahunan yang merepotkan banyak orang. Selama “gula” yang dihidangkan tidak pernah dipindah dari tempatnya, “semut” akan terus berdatangan.

Kota sudah habis. Saatnya memikirkan desa.  

Yudhit Ciphardian

Kirim email


Nama
Alamat email
Subject
Pesan
Image Verification
Please enter the text from the image:
[ Refresh Image ] [ What's This? ]

Klik Dapat Dollar

Menjadi member Paid To Click

Klik Dapat Dollar