Reformanda


Perempuan itu menatap lekat televisi yang sedang menayangkan berita audisi para calon menteri Kabinet Indonesia Bersatu 2009-2014 di kediaman Presiden terpilih di Cikeas Bogor. Saya memperhatikan perempuan itu sambil menyantap makan siang di warung pinggir jalan. Dari sinar matanya tampak dia menyimak. Sesekali dia lepas konsentrasi mengurus pernak-pernik barang dagangan di warungnya. Meski begitu, dengan cepat dia bisa kembali menyimak berita apik itu. Pasti hatinya sudah tertambat. Entah oleh apa atau oleh siapa.

Mungkin hatinya tertambat pada isi berita yang unik itu. Baru pertama kali ini ada audisi calon menteri yang disiarkan langsung di televisi. Mungkin juga ia tertarik pada profil calon-calon menteri itu, dengan bermacam-macam gelar dan jabatan yang menyilaukan itu. Tapi bisa jadi ia hanya tertarik pada penyiarnya yang heboh plus tampilan gambar-gambar yang menjadi latar belakang berita.

Setelah sibuk menduga-duga, saya pastikan ia menyimak seluruh isi berita itu. Komentarnya yang mengagetkan membuat saya makin yakin. “Piyambake nopo kerjo kanggo awak dewe yo mas? (apa mereka bekerja untuk kita, ya mas?)” ia bertanya ke semua pengunjung warung. “Duko (entah),”jawab saya spontan. 

Perempuan ini mungkin hanya penjaga warung biasa. Tapi siang itu, ia tampak seperti seorang warga negara yang baik. Warga negara sederhana yang menginginkan kehidupan yang lebih baik. Perempuan ini mungkin hanya menjual nasi bungkus dan gorengan murahan. Tapi siang itu ia tampak seperti seorang ibu yang bertanggung jawab. Sambil memikirkan nasib bangsanya, mungkin ia juga memikirkan masa depan anak-anak dan keluarganya. Perempuan ini mungkin satu diantara jutaan warga negara yang terus memupuk harapan akan masa depan yang lebih baik. Ia tidak hanya memikirkan dirinya sendiri. Ia juga memikirkan yang di luar dirinya. Saya terkesima.

Manusia, yang dimensi hidupnya sangat luas, kerap terombang-ambing dalam kesulitan untuk menjalani hidup sembari menyempurnakan tiap dimensi itu. Dimensi itu misalnya, keluarga, pekerjaan, relasi di kampung, hidup beragama, sebagai warga negara, bergelut dengan hobi atau penganut ideologi tertentu, dan lain sebagainya.

Manusia yang gampang menyerah akan memilih untuk menyempurnakan satu-dua dimensi dan mengabaikan dimensi yang lain. Di kantor, dia adalah karyawan yang baik tapi di rumah menjadi orangtua yang asal-asalan. Di gereja menjadi pengurus yang cekatan, terampil dan bisa diandalkan, tapi di kampung menjadi orang asing yang tidak kenal tetangga kanan-kiri.

Tapi, kenapa manusia harus menyempurnakan setiap dimensi hidupnya? Karena ia berbeda dengan fauna yang hanya punya dua dimensi ; makan dan bertahan hidup. Saat Tuhan meniupkan nafas kehidupan, Ia juga menitipkan “satu paket” dimensi hidup yang harus disempurnakan, sesuai kehendakNya.

Lalu, bagaimana caranya? Saya belajar dari peristiwa singkat bersama ibu warung tadi. Manusia musti punya semangat semper reformanda, terus memperbarui diri. Seperti yang sudah sering kita dengar sebagai nasihat bijak ; terus belajar tentang apa saja, buka hati untuk setiap mutiara-mutiara kehidupan yang sejenak mampir. Buka mata dan telinga akan setiap peristiwa-peristiwa kecil, terus menjaga kepekaan dan berlatih memetik hikmah. Puncaknya, selalu ingat Tuhan dan rajin bersyukur.

Itulah pribadi semper reformanda. 

Yudhit Ciphardian 

Tidak ada komentar:

Kirim email


Nama
Alamat email
Subject
Pesan
Image Verification
Please enter the text from the image:
[ Refresh Image ] [ What's This? ]

Klik Dapat Dollar

Menjadi member Paid To Click

Klik Dapat Dollar