Penderitaan kecilku, penderitaan sesamaku
Hallo Bu Uti, selamat Natal ya…gimana dengan kemajuan pengobatannya ?” seorang kawan guru di sekolah menegurku selepas mengajar.
“Heei,… Bu Tineke sendiri bagaimana, sudah hamil nih ya sekarang?” aku bertanya sepintas lalu pada kawan yang baru menikah kira kira enam bulan lalu ini. Sebelumnya kuterangkan bahwa inseminasi ketiga yang baru saja kujalani kembali gagal, dan aku sampai berobat ke Singapura dengan hasil masih harus dioperasi (lagi). Karena aku sudah sempat menjalani operasi laparoskopi di Jakarta untuk problem endometriosis yang ternyata ditemukan dalam rahimku.
Lalu Ibu Tineke menjawab pertanyaanku dengan pelan, seolah mau menjaga perasaanku, “Aku sudah Bu Uti, ini sudah jalan tiga bulan “ katanya lirih. Aku kaget, lalu segera menyahut spontan. “Waah, senangnya, selamat yaa, semoga semuanya berjalan lancar dan baik, aduh, aku ikut senang”, kataku dengan tulus. Aku tidak mengira karena sesaat sebelum menikah rekanku Tineke ini baru saja menjalani operasi pengangkatan kista sebesar kepala bayi dari rahimnya. Kini ia sudah hamil tiga bulan. Setelah kami berpisah, aku berdoa dalam hati untuk keselamatan kehamilannya.
Kalau mau dihitung hitung, potongan adegan seperti di atas sudah terjadi belasan kali, karena rekan rekan guru di sekolah adalah orang orang muda pada usia menikah dan melahirkan.
Mereka semua tahu aku berganti status dari guru tetap menjadi tenaga honorer seperti ini dalam rangka usahaku untuk menjadi hamil. Tetapi tiga tahun telah lewat sejak aku berhenti bekerja sebagai guru penuh, dan aku masih mereka dapati berobat saja terus, tanpa ada be rita tentang kehamilan. Kadang kadang aku merasa tidak enak karena kabar kemajuanku sendiri mengenai usaha untuk menjadi hamil seringkali membuat suasana gembira pada teman-temanku yang baru saja menikah dan kemudian hamil menjadi berkurang. Tampaknya mereka menjadi prihatin atau merasa kasihan.
Ah, benarkah demikian? Atau itu hanya perasaanku saja sendiri? Sambil berjalan sepanjang koridor, aku menelisik batinku sendiri, mencari rasa perih yang biasanya menelusup manakala aku mendengar teman teman yang baru menikah sebulan atau beberapa minggu mengabarkan kehamilannya. Aku ingin tahu, masihkah perih itu ada di sana? Masihkah per tanyaan 'aku kapan ya?' itu menggema mengi ringi kegembiraanku kepada kawan? Sekalipun aku banyak melupakan mengenai kehamilan saat aku pulang ke Malang kemarin (seperti biasa, lupa kesedihan bila sedang berada dekat Bapak Ibu dan kampung halaman), tetapi ter nyata aku masih menemukan kepedihan itu di sana, jauh tersembunyi di dalam relung hatiku yang berkelok-kelok seperti labirin. Aku meng hela napas panjang, seperti berusaha untuk mengusir perih itu jauh jauh dari labirin hatiku. “Apa apan kamu, jangan bersedih dong, harus bergembira dengan orang yang bergembira”. Lalu aku melanjutkan lagi kegiatanku sambil mengubur perasaan sedih itu dalam dalam.
Sampai di rumah, aku menghidupkan televisi. Sambil melepas lelah, aku memperhatikan, hampir semua stasiun TV masih memberitakan mengenai tragedi Aceh. Sudah hari keduabelas, pikirku, dan keprihatinan dunia belum luntur juga. Aku melihat anak anak yang kehilangan orang tua, orang tua yang berusaha mencari anaknya yang hilang tak tentu rimbanya, me nyaksikan orang orang selamat yang begitu kosong tatapannya karena masih trauma.
Seandainya aku ada di posisi mereka, duh, tak terbayangkan beratnya. Sejenak aku memanggil kesedihanku dari labirin hati dan larut dalam kesedihan yang kulihat di televisi. Sebelum mataku terpejam untuk tidur siang, hatiku bertanya, “Tuhan, apa sebenarnya rencanaMu yang penuh misteri? Mengapa kami harus melihat dan mengalami kepahitan kepahitan hidup seperti ini? Mengapa tidak Kau permudah hidup kami yang sudah lelah dengan keluh kesah ini ?”
Sebelum aku tertidur, masih tertangkap olehku gambar Yesus yang begitu tegas tetapi damai penuh wibawa menatapku dari meja doa di ujung tempat tidurku. Seandainya aku boleh bermimpi bertemu Engkau, Tuhan, dan mendengarkan suaraMu menerangkan semua pertanyaanku ini. Tetapi Tuhan tetap diam, dan gambar Yesus itu tetap tidak berubah, seperti biasanya. Sudah sifat Tuhan untuk tidak berbicara terang-terangan pada manusia barangkali, pikirku, kecuali pada orang orang kudus pilihanNya. Lalu bagaimana kami dapat survive?
Bila aku menengok kembali usahaku selama 6 tahun aku menikah untuk bisa menjadi hamil, entah sudah berapa jenis dan tempat pengobatan alternatif yang kami datangi, entah sudah berapa nama dokter yang kami kunjungi, berapa jenis suplemen yang sudah kami telan, berapa banyaknya jenis pemeriksaan yang menyakitkan, serta berapa panjangnya doa yang kami panjatkan siang dan malam nyaris tak pernah putus supaya Tuhan berbelaskasih an, tetapi rasanya Tuhan tetap diam. Sepertinya Dia tak bergeming.
Sementara aku berjuang tak pernah putus, setiap saat aku harus berhadapan dengan teman teman yang begitu mudah menjadi hamil. Baik teman teman guru di sekolah maupun para tetangga. Tak berapa lama setelah mereka menikah, kehamilan itu pun datang. Atau kapanpun mereka menginginkan anak kedua, dengan sedikit sekali upaya, mereka pun hamil. Entah apa namanya, mungkin iri hati. Tetapi setiap aku tersenyum lebar memberi selamat kepada mereka, jauh di dalam hatiku, aku menangis. Setelah sekian lama peristiwa itu terjadi, lama lama aku menjadi kebal dan telah terbiasa, walaupun perasaan sedih itu tidak pernah sama sekali hilang. Paling aku hanya menghibur diri “Tiap orang punya jalan hidupnya sendiri sendiri”
Pertanyaan “Mengapa saya” sudah lama berlalu dari benakku. Aku menyadari bahwa orang lain pun punya beban yang jauh lebih berat dari bebanku. Dan bahwa hidup ini memang penuh dengan harapan harapan yang tak terpenuhi. Bukannya aku tak menyadari itu semua. Aku juga bukannya tidak bersyukur atas karunia Tuhan pada hidupku yang begitu ber limpah, dan rasanya tak pantas manusia penuh dosa seperti aku ini menerima berkat sebegitu banyaknya.
Bukan, aku bukannya tidak bersyukur dan tidak mau menanggung salib kehidupan. Yang terjadi sebenarnya adalah bahwa penderitaan yang kualami dan kulihat pada sesamaku selalu menggiringku pada pertanyaan “Tuhan, Engkau di mana? Semua kehidupan ini, Kau maksud kan kemana? Kau ingin kami bagaimana, Tuhan? “Karena Tuhan tidak pernah menjawab secara verbal dan gamblang, aku menyadari bahwa aku harus aktif mencari sendiri jawa bannya.
Kekhawatiran Versus Iman
Setelah 6 tahun berjuang tanpa hasil, hari hari belakangan ini aku mulai dirambati pegel linu kekhawatiran. Aku mulai bertanya “Bagaimana bila aku tidak akan pernah bisa punya anak? “ “Bagaimana hari tuaku bersama Yoyok nanti?” “Alangkah sepinya rumah kami nanti, sampai kapan kesepian ini akan terus berlangsung” dan sejumlah pertanyaan bagaimana bagaimana yang lain.
Dalam Kitab suci, kekhawatiran diibaratkan sebagai seekor singa yang mengaum ngaum mencari mangsa di sekeliling kita. Kita bisa habis olehnya sebelum peristiwa apapun benar benar terjadi pada kita. Betapa sia sianya kegiatan khawatir itu. Tetapi juga betapa sulitnya mengelolanya agar tidak menguasai kita.
Stress manusia modern terbesar adalah mereka tidak pernah berada pada saat ini, di tempat ini, sekarang ini. Pikirannya terus melayang ke masa depan. Bukan hanya masa depan yang jauh, tapi juga nanti siang makan apa, nanti sore dalam meeting harus bicara apa, besok presentasi ke atasan harus bagaimana. Tentu saja hal itu perlu untuk perencanaan dan atisipasi. Namun tidak berarti kita mendahului waktu un tuk tiba lebih dulu di masa depan yang belum tiba. Hanya sedikit sekali manusia yang sung guh hadir pada saat ini, detik ini, dan menik matinya sepenuh penuhnya. Sebab, tahu apa kita tentang hari esok? Sudah susah susah mikir gimana kalau tua kelak nggak punya anak, eh, tahu tahu dalam semenit ada gelom bang tsunami menggulung semuanya habis tak bersisa.
Stress memikirkan harus berargumen dengan bos besok pagi? Sudah sulit tidur semalaman, eh,.. tahu-tahu esok pagi itu matahari tidak terbit, seluruh bumi gelap gulita karena ada awan debu muntahan gunung berapi, dan sebagainya. Hari esok, termasuk semenit ke de pan, adalah abstrak. Satu satunya yang nyata dan kita miliki secara riil adalah saat ini, detik ini. Nikmatilah itu sebaik baiknya, hayatilah setiap detik hidup ini dengan penuh syukur. Kita tidak perlu bersusah memikirkan hari esok yang belum tentu terjadi, dan belum tentu terjadi seperti yang kita pikirkan. What a waste! Tuhan kita adalah Tuhan atas hari esok.
Dan bagaimana kita menikmati hari ini, saat ini, detik ini? Tuhan sudah menyediakan begitu banyak untuk kita nikmati dan syukuri. Bangun pagi ada kehangatan matahari, kicauan burung yang merdu. Dengarkanlah, nikmatilah, syukurilah. Bangkit dari tempat tidur ada kamar yang bersih, terlindung dari panas dan hujan, ada perlengkapan tidur yang baik, perhatikan lah, nikmatilah, syukurilah. Keluar dari kamar ada senyum orang rumah, sehat, hidup, kaya akan keunikan. Sapalah, nikmatilah, syukuri lah. Lalu mulailah kerjakan satu demi satu apa pun yang kau kerjakan dengan penuh pengha yatan. Ambil gelas, mengaduk gula, menuang teh, penuh konsentrasi, penuh syukur. Jangan biarkan pikiran mengelana ke masa depan, bahkan sejam ke depan. Kerjakan dan hayati penuh syukur apa yang kau lakukan saat ini, detik ini.
Setiap detik adalah berharga, dan setiap ka rakter orang yang kita jumpai adalah unik dan berharga, begitu kaya, tak pernah sama setiap hari. Terlalu kaya untuk kita lewatkan begitu saja. Selalu ada yang bisa kita syukuri pada detik ini. Bila berpikirnya melayang ke depan, tidak bisa bersyukur, karena hanya kekhawatiran yang ada. Bila menjalaninya setiap detik, maka yang ada hanya syukur karena masih diberi hidup, teman, udara pagi, dan lain lain.
Percayakan hari esok kita kepada Tuhan. Ia adalah Tuhan atas hari esok. Karena cintaNya, Ia punya rencana yang indah di hari esok, buat masing masing kita. Tak peduli betapapun be ratnya penderitaan kita saat ini, rencana Tuhan hanyalah indah semata. KasihNya terlalu besar dan kuasaNya terlalu agung, untuk membiar kan kita hanyut dalam arus kehidupan yang memisahkan kita dari kasihNya yang tak terpa hami. Tak terpahami karena besarnya dan agungnya, sehingga setiap detik hidup ini terasa begitu berharga. Dan di balik setiap peristiwa hidup adalah tak lain tuntunan kebijaksana anNya bagi kita.
Dalam perjalanan pengobatan medis yang kami jalani di 6 tahun pertama pernikahan, kami akhirnya juga mempunyai kesempatan dan memenuhi syarat untuk menjalani program ba yi tabung yang disarankan dokter sebagai alternatif terakhir dari perjalanan usaha kami yang panjang. Tetapi kami sadar Gereja tidak menyetujuinya. Kami tidak ingin melukai hati Tuhan. Maka kami pun memutuskan untuk tidak akan pernah melakukannya. Karena kami yakin Tuhan tahu apa yang sedang Dia lakukan dan sedang Dia ijinkan terjadi pada kami, kami percaya sepenuhnya bahwa Dia sedang bekerja melalui segala sesuatu bagi kebaikan kami.
Bagi aku dan Yoyok, filosofi hidup yang ingin kami pegang erat adalah filosofi “Wis Embuh” (bahasa Jawa yang artinya : nggak tahu deh). Hari depan kami ada di tangan Allah. Karenanya kami tidak perlu merasa khawatir. Bahkan memikirkannya pun tidak perlu. Kami tahu siapa yang memegang hidup kami.
Wis Embuh adalah pegangan kami mengarungi hidup ini. Wis embuh berarti percaya dan pasrah total kepada penyelenggaraan Allah. Tak berjarak lagi dengan Allah. Seperti ayam, seperti burung pipit, yang dipelihara Allah. Kami mau menyerahkan semua ke dalam tangan Allah. Bila kami sibuk memikirkan atau mengkhawatirkannya lagi, berarti kami mengambilnya lagi dari tangan Allah, mengulik-uliknya lagi, mengotak-atiknya lagi. Berarti kami tidak percaya Allah sudah dan akan selalu menghandlenya dengan baik.
Kini telah 14 tahun kami mengarungi bahtera rumahtangga berdua saja, belum lagi bersama kehadiran tawa ria dan canda anak anak buah cinta yang kami rindukan. Namun kasih Allah Bapa yang tak terukur mendampingi kami dengan cara yang luar biasa unik dan nyata, sehingga kami tak sedikitpun merasakan kekurangan kasih Allah yang maha Hadir.
Diceritakan oleh Uti, Serpong, 8 Januari 2005, disunting seperlunya dari katolisitas.org
Tidak ada komentar:
Posting Komentar