Pekerjaan Perjuangan

Sekolah SMP Katolik Indriyasana VII identik dengan sekolah kaum pinggiran. Namun, berkarya didalamnya adalah bentuk perjuangan lain. Keterbatasan dana dan minimnya sarana dan prasarana membuat sekolah yang berlokasi di daerah Dukuh Kupang ini harus rela ditinggalkan oleh masyarakat.
Lewat perjuangan panjang selama 21 tahun, Aloysius Stefanus Johan Indarto (47) yang dipercaya memimpin sekolah tersebut harus memasang kedua kakinya lebih kuat. Tak sedikit yang harus diperjuangkan. Mulai dari penataan adminitrasi dan kesejahteraan guru, SPP murid yang sering terlambat dan tetap menjaga prestasi siswa. Meski sekolahnya 'berlabel' minus, Indarto sapaan akrabnya, tak mau tergelincir oleh sesaknya persaingan sekolah 'kaya'. Ia tetap berjuang dengan berbagai upaya untuk mewujudkan sekolah tersebut tetap diminati masyarakat, khususnya kalangan pinggiran. Harapanya kaum miskin masih punya tempat untuk menyekolahkan anaknya.
Kondisi lain yang cukup memprihatinkan adalah jumlah siswa yang kian menurun. Tahun ajaran ini saja jumlah siswanya tinggal 58 siswa, terdiri dari kelas I-16 siswa, kelas II-25 siswa dan kelas III hanya 17 siswa. Hal ini sangat berpengaruh terhadap kelancaran operasional sekolah. Belum lagi minimnya kesejateraan guru. Untuk menggaji guru dari yayasan hanya mampu memberi Rp 15.000 per jam.
Saat ditanya tentang loyalitas para 'pejuang' disekolahnya, ia merasa kagum dengan teman-teman guru yang masih gigih untuk turut berjuang meski dengan pendapatan yang serba minim. Hal ini diakui bapak yang tinggal di jl. Krukah Lama tersebut sebagai bentuk dari pekerjaan perjuangan. Pendekatan dengan para guru dan karyawan terus dibina supaya komunikasi tetap berjalan. Keluh kesah dan kegelisahan
selalu didengar supaya para karyawan dan guru tetap teguh dalam menjalani profesinya.
Sekolah adalah hdiupnya. Meski kadang jengkel melihat keadaan, perasaan itu luluh ketika datang pikiran, "Kalau bukan kita, lalu siapa?". Rasa frustasi biasanya terobati bila perjuangan itu berhasil. Ia mencontohkan kebanggaannya manakala siswanya mendapatkan prestasi bagus dalam bidang studi. Tak ada tanda jasa yang besar, tetapi ada perasaan bangga yang menggericik dalam benaknya. Kebahagiaan kecil-kecil lain membuat istri dari Cicilia Erna Darmawati (37) ini lebih betah menjadi seorang 'pejuang' sekolah.
Indarto mengawali kariernya di SMP Katolik Indrayasana VII mulai tahun 1987 sebagai guru matematika dengan gaji 6000 per jam atau 108 ribu tiap bulan. Jumlah yang tidak banyak untuk ukuran tahun itu. Padahal hingga kini Ia sudah menjadi kepala sekolah dengan masa kerja 21 tahun gajinya tak lebih dari Rp. 500 ribu. Jumlah yang teramat sedikit untuk ukuran keluarga yang harus menanggung 3 anak dan istri. Bahkan suatu saat istrinya pernah menyuruhnya untuk mencari pekerjaan lain. Namun bagi bapak yang mengidolakan Uskup Mgr. Dibyokaryono ini, ia merasa lebih tertantang dengan pekerjaan guru. "Kalau saya ngaboti guru yang bergaji minim, sejak dulu saya harus mengundurkan diri", tapi tidak untuk itu saya berjuang. Saya tetap komitmen dengan profesi saya", paparnya.
Untuk bisa menghidupi keluarga, Indarto harus mencari tambahan lain. Memberi lest privat dan membuka toko kecil dikampungnya adalah cara lain untuk bisa bertahan hidup. Menurutnya rejeki bisa dari tempat lain, namun baginya bentuk pelayanan diwujudkan dalam lembaga sekolah. Begitulah pilihannya, menjadi seorang kepala sekolah yang tak pernah berpikir mencari kekayaan. Indarto tetap bersahaja dengan pilihan hidupnya.

Aloysius Suryo Abie

MENDIDIK DENGAN HATI


MENDIDIK DENGAN HATI


Menjadi guru adalah pilihan yang tak pernah dibayangkan olehnya, tetapi semangatnya untuk mencintai profesi sebagai pendidik mampu membuatnya mengabdi hingga 25 tahun. Pak Bosco, demikian bapak yang bernama lengkap Yohanes Bosco (50) ini akrab dipanggil.
Berawal dari kuliah keguruan di Universitas Katolik Widya Mandala, ia kemudian mengajar di Yayasan Pendidikan Pengajaran Indonesia (YPPI) selama 1 tahun dan kemudian pindah ke SMP Katarina hingga tahun 1990. Guru yang kini mengajar mata pelajaran matematika di SMP Angelus Custos (AC) II Kebraon ini mengaku tidak pernah bosan mengajar karena keterlibatannya dengan orang lain selalu membawa hal baru dalam hidupnya.
Warga Paroki St. Yusuf Karang Pilang ini menceritakan, jika dulu metode menghukum siswa dirasa cukup efektif dalam proses mendidik maka tidak demikian saat ini. Saat ini, ruang gerak guru lebih dibatasi karena orang tua merasa bahwa hal itu bukan merupakan proses mendidik. Padahal kesulitan menghadapi siswa saat ini adalah sikap malas terbebani oleh tugas dan PR sehingga banyak dari mereka yang sering bolos dan tidak mengerjakan kewajibannya.
Metode efektif yang dipraktekkan untuk mengatasi masalah ini adalah dengan melakukan komunikasi dengan orang tua siswa. Konfirmasi antara guru dan orang tua banyak membantu mengatasi persoalan ini. Ayah dari Yohanes Bayu Kusnanto (17) dan Fransisca Indah Kurniawati (13) ini berharap kerjasama dan pengertian yang baik antara orang tua, murid, guru dan yayasan dapat terus dibangun untuk mendukung tercapainya pendidikan yang berkualitas.
Menyoal pendidikan katolik, pria kelahiran Ngawi, 11 Maret 1958 ini mengatakan bahwa kesulitan yang dihadapi sekolah katolik saat ini adalah penurunan jumlah murid. Lantaran banyak bermunculan sekolah negeri hingga tingkat kecamatan.
“Di daerah, masuk sekolah katolik gratis saja banyak yang tidak mau. Misalnya, anak tidak mampu bersekolah di sekolah A maka biaya sekolah akan ditangani umat di daerah A, tetap saja banyak yang tidak mau. Karena saking banyaknya kesulitan yang dihadapi mengakibatkan banyak sekolah katolik yang tutup”, papar Bosco.
Sekolah AC II sendiri saat ini memiliki jumlah siswa kurang lebih 300 orang, dengan rata-rata jumlah siswa 100 orang per angkatan. Menempati 3 ruang kelas dengan 34-35 orang siswa dalam satu kelas. Jumlah ini termasuk sedikit karena dalam setiap tahun selalu dibuka empat kelas untuk masing-masing angkatan. Dalam situasi yang demikian, seringkali dilakukan kompromi terhadap kualitas standar masuk siswa.
Suami dari Maria Yosephin (42) ini juga merasakan turunnya nilai kedisiplinan sebagai ciri khas yang seharusnya melekat dan ditanamkan di sekolah katolik saat ini juga menjadi pemicu turunnya minat untuk bersekolah di sekolah katolik. Meskipun demikian, Pak guru yang masih bersemangat untuk kuliah ini tetap berharap siswanya menjadi manusia yang berbudi luhur, tahu sopan santun, dan menghormati orang yang lebih tua.

. Ch Reza Kartika P. R.

Selamatkan Sekolah Kami

Ditengah hiruk pikuk persaingan sekolah kaya dan berlabel berstandar internasional, disisi lain ternyata Surabaya masih ada sekolah yang bernasib tragis. Jumlah murid yang sedikit dan dana yang kurang mencukupi membuat sekolah tersebut harus bertahan dengan cara apa adanya Ironisnya, sekolah tersebut masih bertahan meski jalan dengan sempoyongan.
Sekolah TK, SD dan SMP Katolik Indriyasana VII yang berlokasi di daerah Dukuh Kupang Surabaya adalah salah satu gambaran dari sekian sekolah minus yang ada di wilayah Surabaya. Dibawah naungan Yayasan Dharma Ibu milik Wanita Katolik Republik Indonesia (WKRI) cabang paroki Hati Kudus Yesus Surabaya.
Dari tahun ke tahun jumlah murid tidak selalu bertambah, justru sebaliknya semakin berkurang. Hal tersebut dibenarkan oleh Ibu Bernadeta Sri Hartati (68) ketua Yayayasan Dharma Ibu. Sebagai ketua Yayasan, ibu yang tinggal di Jl. Dinoyo Baru ini tahu betul tentang sekolah yang kini dihadapinya. Segala tenaga dan upayanya dikerahkan supaya sekolahnya bisa bertahan ditengah persaingan yang serba ketat.
Sejak tahun 2002 Bernadet ditunjuk untuk mengurus yayasan Dharma Ibu. Berkiprah di sekolah yang ‘miskin’ tentu dibutuhkan kearifan sejati. Dimulai dengan membenahi SDM, admintrasi, sarana dan prasarana. Menjalin komunikasi antar guru dan karyawan adalah salah satu wujud bahwa sekolahnya masih mampu untuk eksis.
Terhadap para murid yang belum bisa membayar SPP pun tidak diberlakukan kaku asal orang tua datang dan bisa menjelaskannya. Karena bagi Bernadet sekolahnya memang diperuntukkan bagi kaum miskin meskipun bukan gratis.
Sayangnya, dana operasional lagi-lagi tak mencukupi untuk membuat sekolah ini menjadi segar kembali. Uang SPP dari para murid tak lagi cukup untuk dibagi menjadi gaji guru dan karyawan.Bernadetpun tak pernah berhenti untuk berjuang untuk mencari dana talangan. Ia harus berkeliling mencari dana kepada seorang room dan para dermawan.
Pada tahun ajaran baru ini dari paroki Santo Yakobus berencana membantu sekolah Indriyasana VII. Selama 3 tahun kedepan sekolah tersebut akan dijadikan sekolah yang benar-benar layak. Bahkan menurut Bernadet sekolahnya akan dijadikan sekolah maju dengan berbagai fasilitas yang memadai. Bernadet merasa bersyukur karena sekolahnya kelak bisa menjadi sekolah yang favorit pula. “ Semoga sekolah kami benar-benar menjadi sekolah yang maju” tutur ibu yang masih aktif mengajar katekumen ini . Namun, Bernadeth berharap kaum miskin yang tidak mampu untuk sekolah di Indriyasana tetap berpeluang bisa bersekolah di situ. Dengan begitu sekolah Indriyasana bisa selamat.

Aloysius Suryo Abie

Pendidikan Berawal Dari Rumah

“Awal 1967, saya pertama kali menjadi guru di SDK Yohanes Gabriel. 24 tahun kemudian saya terpaksa mengundurkan diri karena ikut suami pindah kerja ke Yogya. Hanya bertahan satu tahun, akhirnya 1992 saya kembali lagi ke Surabaya dan oleh Suster Serafin, SSps saya ditarik untuk mengajar lagi di SDK Kristus Raja di jalan Wisma Permai. Di sana 11 tahun mengajar, lalu 2003 saya dipindah lagi di SDK Theresia 2 sampai sekarang. Saya jadi kepala sekolah di sana baru 1997 lalu,” kenang J.M.Annie Herawati (61) mengawali obrolan tentang harapan dan tantangan pendidikan Katolik.
Sekolah Katolik jaman sekarang bisa dibilang mahal. Tapi menurut perempuan kelahiran 19 Juli 1947 yang akrab dipanggil Bu Wati ini, mahalnya biaya sekolah katolik itu relatif. Faktornya adalah kemandirian yayasan pengelolanya. Di kota besar mungkin terbilang mahal. Sebab bila tidak mahal, sekolah Katolik tidak bisa “hidup”. Dilemanya, hal ini tidak bisa diterapkan pada sekolah pinggiran di desa-desa.
Mengenai pencanangan Tahun Pendidikan oleh Uskup Surabaya, umat paroki Kristus Raja ini mengaitkannya dengan sistem subsidi silang. Sekolah-sekolah di kota-kota besar yang lebih mandiri harus bekerja lebih ekstra. Sekolah itu harus mau berbagi dengan sekolah-sekolah yang minus. Begitulah sistem subsidi silang diterapkan.
Menurut Wati pendidikan di sekolah sering terhalang oleh keluarga-keluarga yang kurang mengerti pentingnya arti pendidikan. Sebenarnya pendidikan bukanlah melulu tugas sekolah tapi terutama adalah tugas keluarga. Keluarga bertanggung jawab atas pendidikan dan kedisiplinan anak-anak. Ia juga miris melihat keluarga-keluarga yang kurang peka terhadap perkembangan anak. “Seharusnya komunikasi antar orangtua dan anak harus selalu terjalin,” katanya. Kebutuhan materi bukan yang paling pokok. Kebutuhan lain seperti komunikasi dan pendekatan emosional juga penting. “Orangtua harus rajin menyapa anak-anaknya tentang apa saja yang mereka kerjakan di sekolah,” paparnya.
Dengan usia pengabdian 41 tahun, tentu tidak berlebihan jika ibu empat anak ini memberikan harapan bagi sekolah-sekolah Katolik. “Semoga pendidikan Katolik bisa kembali seperti semula. Artinya bisa punya murid yang banyak dan terus mau memacu diri, mau berkembang dan mau melayani penuh dengan cinta kasih,” pungkasnya.

Fransiscus Gandhi Muda

Pendidikan Berawal Dari Rumah

“Awal 1967, saya pertama kali menjadi guru di SDK Yohanes Gabriel. 24 tahun kemudian saya terpaksa mengundurkan diri karena ikut suami pindah kerja ke Yogya. Hanya bertahan satu tahun, akhirnya 1992 saya kembali lagi ke Surabaya dan oleh Suster Serafin, SSps saya ditarik untuk mengajar lagi di SDK Kristus Raja di jalan Wisma Permai. Di sana 11 tahun mengajar, lalu 2003 saya dipindah lagi di SDK Theresia 2 sampai sekarang. Saya jadi kepala sekolah di sana baru 1997 lalu,” kenang J.M.Annie Herawati (61) mengawali obrolan tentang harapan dan tantangan pendidikan Katolik.
Sekolah Katolik jaman sekarang bisa dibilang mahal. Tapi menurut perempuan kelahiran 19 Juli 1947 yang akrab dipanggil Bu Wati ini, mahalnya biaya sekolah katolik itu relatif. Faktornya adalah kemandirian yayasan pengelolanya. Di kota besar mungkin terbilang mahal. Sebab bila tidak mahal, sekolah Katolik tidak bisa “hidup”. Dilemanya, hal ini tidak bisa diterapkan pada sekolah pinggiran di desa-desa.
Mengenai pencanangan Tahun Pendidikan oleh Uskup Surabaya, umat paroki Kristus Raja ini mengaitkannya dengan sistem subsidi silang. Sekolah-sekolah di kota-kota besar yang lebih mandiri harus bekerja lebih ekstra. Sekolah itu harus mau berbagi dengan sekolah-sekolah yang minus. Begitulah sistem subsidi silang diterapkan.
Menurut Wati pendidikan di sekolah sering terhalang oleh keluarga-keluarga yang kurang mengerti pentingnya arti pendidikan. Sebenarnya pendidikan bukanlah melulu tugas sekolah tapi terutama adalah tugas keluarga. Keluarga bertanggung jawab atas pendidikan dan kedisiplinan anak-anak. Ia juga miris melihat keluarga-keluarga yang kurang peka terhadap perkembangan anak. “Seharusnya komunikasi antar orangtua dan anak harus selalu terjalin,” katanya. Kebutuhan materi bukan yang paling pokok. Kebutuhan lain seperti komunikasi dan pendekatan emosional juga penting. “Orangtua harus rajin menyapa anak-anaknya tentang apa saja yang mereka kerjakan di sekolah,” paparnya.
Dengan usia pengabdian 41 tahun, tentu tidak berlebihan jika ibu empat anak ini memberikan harapan bagi sekolah-sekolah Katolik. “Semoga pendidikan Katolik bisa kembali seperti semula. Artinya bisa punya murid yang banyak dan terus mau memacu diri, mau berkembang dan mau melayani penuh dengan cinta kasih,” pungkasnya.

Fransiscus Gandhi Muda

Beasiswa Bagi Siswa Berprestasi

Oleh: M. Ch. Reza Kartika P. R.

“Ada living value (nilai hidup) yang diperoleh karena mendidik orang lain sama seperti mendidik dan mengendalikan diri sendiri.”, tuturnya ketika ditanya mengapa bertahan menjadi pendidik selama 20 tahun. Bapak Antonius Rujanto (46) atau yang akrab dipanggil Pak Anton ini pernah bermimpi menjadi politisi sebelum akhirnya menjatuhkan pilihan untuk setia pada profesi guru yang ia geluti saat ini.
Dengan prinsip saya harus bekerja tidak berangkat dari rumah orang tua, pria kelahiran Yogyakarta, 16 Januari 1962 ini memberanikan diri untuk bekerja di Surabaya. Guru yang mengajar ekonomi dan geografi di SMUK Stella Maris ini mencoba untuk mengikuti pola pikir siswanya dalam mengajar. Hal-hal sederhana dilakukannya, tak segan ia meminta lagu yang sedang nge-trend atau mempelajari fitur HP yang baru untuk lebih mengenal dunia siswanya.
Lebih baik tahu banyak tentang sedikit, menjadi acuannya dalam mengajar. Warga paroki St. Stefanus Surabaya ini lebih senang bila dari keseluruhan materi yang diajarkan ke siswa ada beberapa bagian yang dimengerti lebih dalam daripada mengetahui keseluruhan materi tetapi hanya memahami permukaannya saja. Untuk meningkatkan kualitas siswa, problem solving yang dikemas dengan dramatisasi juga diselipkan sebagai materi dalam pelatihan OSIS yang pernah dibimbingnya.
Ditanya mengenai kesulitan dalam mengajar, suami dari Gabriel Apsari Sitoresmi (45) ini mengungkapkan perbedaan kultur dan menurunnya relasi antar personal sebagai sebuah keprihatinan dari siswa saat ini. "Saya yang orang Yogya, tidak terbiasa dengan gaya bicara Surabayaan yang ceplos-ceplos, terbuka, dan apa adanya. Sehingga sesuatu yang wajar bagi orang lain belum tentu wajar dan sopan bagi saya", imbuhnya. Meskipun demikian, Ayah dari Miryam de la Rosa (10) ini merasa bersyukur karena dapat menemukan teman seprofesi yang saling mendukung dan murid yang ngajeni di tempatnya mengajar sekarang.
Saat dikonfirmasi tentang tantangan yang dihadapi oleh pendidikan katolik, bapak guru yang pernah mengajar di SMA St. Thomas Yogyakarta ini mengungkapkan penurunan jumlah siswa merupakan salah satu masalah yang harus segera dicarikan solusinya.
Di SMUK Stella Maris sendiri program beasiswa bagi siswa berprestasi hingga kini masih dipertahankan. Sedangkan bagi siswa yang tidak mampu dicarikan dana sosial. Penurunan jumlah murid di sekolah katolik, kata Anton, disebabkan karena biaya yang semakin mahal. Sementara banyak sekolah negeri maupun swasta yang menjamur dengan biaya yang bisa terjangkau. Anton berharap agar yayasan lebih banyak memperhatikan kesejateraan guru dan karyawan.

Wajibkah Anak Katolik Bersekolah di Sekolah Katolik?

Oleh : A.Tri Hartono Pr

Dalam Dokumen Konsili Vatikan II tentang Pendidikan Kristen, Gravissimum Educationis (GE) art. 8, antara lain dikatakan: "Konsili memperingatkan para orang tua Katolik akan kewajiban mereka untuk mempercayakan anak-anaknya bila dan di mana mungkin, kepada sekolah-sekolah Katolik, dan untuk mendukung sekolah-sekolah Katolik sekuat tenaga serta bekerja sama dengannya demi kepentingan putera-puterinya".
Kalau disederhanakan, Konsili Vatikan II mengingatkan "kewajiban orang tua Katolik untuk menyekolahkan anak-anaknya di sekolah Katolik, bila mungkin".
Implikasi dan persoalannya:
1.Ketika orang tua Katolik menikah secara Katolik, selalu diingatkan akan kewajiban mereka untuk mendidik anak-anaknya secara Katolik. Hal serupa diulang lagi ketika mereka mempermandikan anak-anaknya.
2.Walaupun "mendidik secara Katolik" tidak identik dengan "menyekolahkan anaknya di sekolah Katolik" karena pendidikan jauh lebih luas dari sekedar sekolah, namun sekolah Katolik mestinya lebih memberikan pendidikan Katolik dari pada sekolah non Katolik.
3.Dengan menyekolahkan anak-anaknya di sekolah Katolik berarti orang Katolik ikut mendukung keberadaan dan perkembangan sekolah Katolik, sebagaimana telah diamanatkan dalam GE art. 8.
4.Di sini tersirat pentingnya hubungan dan kerjasama yang baik antara sekolah Katolik dengan umat/Gereja setempat. Apalagi kalau kita sadari bahwa sekolah Katolik merupakan kerasulan Gereja di bidang pendidikan. Bahkan harus kita akui bahwa pada awal karya misi, sekolah Katolik merupakan ujung tombak karya kerasulan Gereja. Di mana ada sekolah Katolik di situ Gereja tumbuh dan berkembang. Dengan kata lain di banyak tempat sekolah Katolik mempunyai sumbangan yang signifikan kepada tumbuh dan berkembangnya Gereja Katolik. Sebaliknya karena sekolah Katolik merupakan ujung tombak karya kerasulan Gereja, maka Gereja perlu terlibat aktif dalam penyelenggaraan dan pengelolaan sekolah-sekolah Katolik. Dalam hal ini kita diingatkan akan pentingnya hubungan baik dan kerjasama yang baik antara sekolah Katolik dengan umat/Gereja setempat. Ada contoh yang menarik untuk diperhatikan. Ada sekolah Kristen yang amat maju dan berkembang karena didukung penuh oleh jemaat dan pendeta setempat, sebaliknya Gereja setempat amat berkepentingan dengan sekolah sebagai tempat pembinaan dan kaderisasi.
5.Mengapa sering ada hubungan yang kurang baik antara sekolah Katolik dan Gereja setempat? Tentu ada banyak penyebabnya. Misalnya sekolah Katolik yang dikelola oleh tarekat biarawan atau biarawati tertentu merasa otonom terhadap Gereja setempat. Bisa juga masalah pribadi antara pengelola sekolah Katolik dengan pimpinan Gereja setempat. Dalam situasi seperti sekarang ini, perlu kita sadari bahwa sekolah Katolik yang mempunyai hubungan dan kerjasama yang baik dengan Gereja setempat pun tantangannya berat, apalagi kalau tidak ada kerjasama. Maka sesuai dengan amanat Konsili Vatikan II dalam GE, bagaimana pun juga sekolah Katolik harus berkerjasama secara baik dengan Gereja setempat. Dalam hal ini memang amat dibutuhkan kerendahan hati dan keterbukaan satu-sama lain. Dalam hal ini Komisi Pendidikan setempat bisa menjadi fasilitator dan mediator.

6.Mengapa banyak orang katolik yang tidak menyekolahkan anaknya di sekolah katolik? Ada banyak sebab. Ada orang tua yang berpandangan bahwa dengan menyekolahkan anaknya di sekolah negeri atau sekolah non Katolik, anak akan terbiasa bergaul dan berinteraksi dalam kemajemukan masyarakat. Alasan ini ada betulnya tetapi juga ada tidak-betulnya. Sebab banyak sekolah Katolik yang siswanya juga heterogen. Seandainya di sekolah lebih banyak bergaul dengan anak-anak Katolik toh dalam pertemanan di masyarakat juga heterogen. Ada juga orang tua yang punya prinsip pada tingkat SD dan SMP, anak disekolahkan di sekolah Katolik tetapi setelah masuk SMA/SLTA disekolahkan di sekolah negeri atau non Katolik. Alasannya dalam jenjang pendidikan dasar (SD dan SMP) anak perlu mendapatkan pendidikan dasar (termasuk pendidikan iman) yang kokoh dan baik. Setelah mempunyai dasar yang kokoh dan baik, mereka dibiarkan masuk sekolah negeri/non Katolik yang heterogen seperti yang ada di masyarakat. Namun kenyataan sering mununjukkan bahwa walau SD dan SMP bahkan sampai SMA di sekolah Katolik, tetapi setelah masuk Pergruan Tinggi non Katolik, hanyut ikut arus yang lain. Dengan kata lain sungguhkah sekolah Katolik memberikan dasar-dasar iman yang kokoh dan baik?
Dalam situasi seperti ini bisa terjadi sekolah Katolik menyalahkan orang tua dan Gereja setempat yang kurang memberikan pendidikan dan pembinaan iman secara baik. Sebaliknya orang tua atau Gereja setempat bisa menyalahkan sekolah Katolik yang tidak memberikan pendidikan iman yang baik. Sebetulnya dari pada saling menyalahkan lebih baik duduk bersama untuk bekerjasama secara baik demi pendidikan iman anak-anak Katolik. Bisa juga orang tua tidak menyekolahkan anaknya di sekolah Katolik karena mutu sekolah Katolik setempat kalah jauh dari sekolah negeri atau sekolah non Katolik. Bila hal itu benar, bukankah tugas kita semua termasuk para orang tua Katolik untuk ikut membantu mengembangkan sekolah Katolik agar semakin bermutu sesuai harapan para orang tua? Paling menyedihkan kalau ada orang Katolik yang tidak menyekolahkan anaknya di sekolah Katolik karena ada permusuhan pribadi antara orang tua dan guru di sekolah Katolik.
7. Lalu bagaimana kesimpulannya? Seperti ditegaskan oleh Konsili Vatikan II dalam Gravissimum Educationis art. 8: " Para orang tua berkewajiban untuk menyekolahkan anak-anaknya di sekolah Katolik, bila mungkin". Tentu saja sekolah Katolik dan atau Gereja tidak boleh hanya menuntut agar para orang tua menyekolahkan anaknya di sekolah Katolik, tetapi juga perlu memberikan jaminan mutu pendidikan yang baik dan beaya yang sesuai atau terjangkau oleh kebanyakan orang tua Katolik. Sebaliknya para orang tua Katolik, tidak boleh hanya serba menuntut agar sekolah Katolik bermutu dan terjangkau beayanya, tetapi tidak mau memberikan sumbangan nyata bagi peningkatan mutu pendidikan di sekolah Katolik. Maka perlu ada kerjasama yang baik antara: sekolah Katolik; Gereja setempat dan para orang tua. Semoga!

***

Penulis, Anggota Pengurus Komisi Pendidikan KWI

Matang di Usia Setengah Abad

Sukses dalam karier dan keluarga adalah dambaan setiap orang. Begitu pula dengan Errol Jonathans (50), Direktur Operasional radio Suara Surabaya (SS) yang telah bergelut dengan dunia media selama lebih dari dua dekade. Di Surabaya, jika kita mencari radio yang menginformasikan tentang traffic (situasi jalan raya) dan berita sosial, ekonomi, politik paling up to date, kita pasti memilih radio SS. Program andalan Kelana Kota adalah salah satu hasil racikan pria berambut putih ini.
Adalah Bernadetta Nunung Parman (53), sang istri, yang berada “di balik layar” kesuksesan Errol Jonathans, pakar komunikasi dan media, alumnus AWS (Akademi Wartawan Surabaya, sekarang STIKOSA-AWS). Nunung-lah yang paling berperan dalam mengatasi masa sulit di awal pernikahan. Pindah-pindah rumah kontrakan, membesarkan anak dan membangun keluarga dilakukannya sembari sang suami merintis karier.

Pasangan ini tampak kompak luar-dalam. Saat wawancara di halaman rumah yang asri, mereka memakai kaos yang sama, bergambar foto mereka bersama dua putranya.
22 tahun menjalani bahtera perkawinan, tak membuat pasangan ini kehilangan keharmonisan. Matthieu Errol Jonathans (21) dan Damien Errol Jonathans (17) merupakan buah perkawinan mereka. Perayaan ulang tahun setengah abad usia Errol yang penuh kejutan bersama teman dan kerabat adalah satu dari sekian banyak hadiah indah yang diberikan sang istri terhadapnya. “Sengaja saya menyiapkan perayaan HUT ke-50 yang penuh surprise 26 April lalu, karena ini momentum untuk memperkuat komitmen kami bersama untuk terus berbagi kebahagian bersama orang lain,” ujar Nunung sembari berkisah tentang kejadian-kejadian mengharukan dalam perayaan HUT Errol itu.
Tentang istrinya, Errol berkisah, “Saya bertemu dengannya saat masih kuliah. Sejak muda dia pemberani karena sering bepergian luar kota sendiri. Aktivitas bareng di Senat Mahasiswa membuat kami dekat dan pacaran selama lima tahun.”
Titik balik keluarga ini, menurut Nunung, terjadi saat mereka mulai mendekatkan diri pada Kristus. Nunung, yang dulunya Muslim, mengalami pengalaman spiritual yang indah saat berkesempatan berziarah sendirian ke Roma dan berjumpa Paus Yohanes Paulus II (almarhum), tahun 2002. Sepulang berziarah, kehidupan keluarga menjadi lebih baik. “Rasanya, semakin dekat dengan Tuhan, semakin kami dilimpahi banyak berkat,” tutur Nunung yang hobi naik gunung dan travelling.

Masalah terbesar yang dihadapi pasangan ini tatkala menghadapi kedua anak yang beranjak remaja, di mana kebersamaan dalam keluarga mulai luntur. “Anak remaja jaman sekarang lebih cenderung dekat dengan peer groupnya (teman sebaya, red.), beda dengan paradigma dulu di mana anak-anak selalu dekat dengan orangtua,” ujar Nunung, yang oleh koleganya dikenal sebagai pendoa. Ketidaksiapan mereka untuk berpisah dengan anak-anak yang studi di lain tempat, menjadi masalah tersendiri bagi pasangan ini.
Si sulung, Matthieu, kuliah di Australia dan si bungsu, Damien masih sekolah di SMAK Dempo Malang. Kesempatan berkumpul bersama adalah kesempatan emas yang jarang mereka dapatkan. Komunikasi lewat telepon dan email menjadi andalan bagi pasutri yang pernikahannya 26 April 1986 diberkati almarhum Uskup Dibyokaryono ini.
Errol mengawali kariernya di radio SS sebagai penyiar tahun 1983. Kesempatan magang selama setahun di sebuah radio di Amerika membuka wawasannya tentang jurnalisme radio. Sepulang dari magang, Errol bertekad menjadikan SS sebagai radio dengan konsep interaktif dan mengusung berita aktual. Kenikmatan menjadi penyiar ditinggalkannya demi tantangan yang lebih tinggi; direktur operasional. Ketekunannya di bidang jurnalistik mengantarkan umat paroki St Yakobus yang tinggal di perumahan Citra Raya ini meraih penghargaan The Best Writter Journalistic Manuscript (Penulis Naskah Jurnalistik Terbaik) versi Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Jatim tahun 1982.
Ada tiga hal yang menjadi prinsip dasar bagi pasangan ini demi mencapai suatu keharmonisan dalam keluarga, saling menghargai, saling mencintai dan saling mempercayai. Sekilas terdengar klise, namun prinsip ini justru ditemukan pasutri ini dalam perjalanan kehidupan berkeluarga sekian lama.
Nunung menyadari peran Errol bagi publik. Banyaknya tugas dan undangan untuk mengajar serta menjadi pembicara dalam berbagai event, membuat Errol harus pandai-pandai membagi waktu. Namun, di balik kesibukannya itu ia tetap berusaha meluangkan waktu dan menciptakan atmosfir yang baik dalam keluarga. Satu hal lain yang ditekankan Errol terhadap istrinya, yaitu bahwa sebisa mungkin tidak ada gap (jarak) di antara mereka. “Saya berusaha untuk menyatukan dunia kami, sebisa mungkin dia (istri) bisa terlibat dalam setiap aktivitas saya,” imbuhnya. “Biasanya saya yang bagian motret aja kalau Pak Errol diundang jadi pembicara,” ujar Nunung merendah.
“Kadang saya ‘cemburu’ dengan karier Pak Errol. Tapi saya juga bangga karena ini adalah buah dari ketekunannya, sekian tahun bergelut di dunia media,” tutur Nunung yang juga berlatar belakang pendidikan jurnalistik.
Ketekunan, keseriusan dan komitmen tinggi pada satu bidang menghantarkan Errol Jonathans pada pencapaian karier yang membanggakan. Buah dari semua itu adalah kematangan dan komitmen pribadi untuk terus berkarya bagi sesama.
Di balik semua usaha dan perjuangan keluarga ini, bagi Errol dan Nunung sebisa mungkin segala sesuatu terpusat kepada-Nya, karena itu menjadi satu kekuatan tersendiri. Hal tersebut sekaligus menjadi satu pesan yang mereka titipkan untuk banyak keluarga Katolik, di mana keutuhan keluarga dapat terwujud jika segala sesuatu yang kita lakukan berorientasi pada-Nya, yaitu untuk menyenangkan Dia.

Kebosanan Melumpuhkan Dinamika Perkawinan

Oleh : Thoby M. Kraeng, SVD

Alkisah seorang ibu rumah tangga, sebut saja namanya Agata, berusia 29 tahun hidup dengan seorang anak. Mereka dulu tinggal di kota dan sekarang harus pindah ke desa setelah menikah. Di tempat yang baru inilah awal dari problem rumah tangga.

Agata tidak bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan hidup di tempat baru karena sudah biasa bersosialisasi dan bertemu dengan banyak orang, banyak teman….begitu datang ke desa , rasanya asing dan jarang bertemu orang yang bisa diajak bicara. Dia coba berusaha membangun relasi dengan orang-orang sekitarnya, tetapi hasilnya nihil.
Sebelum menikah dia adalah seorang wanita pekerja keras. Terlintas dalam pikirannya semuanya pasti beres, ketika mereka mencapai kata sepakat untuk menikah. Ia memutuskan untuk hidup berkeluarga, akan tetapi yang terjadi malah sebaliknya. Ia mengalami dan merasakan bahwa situasi dan kondisi semacam ini dapat melumpuhkan bahkan mematikan dinamika hidup berkeluarga yang harmonis.
Bagi Agata, ini tidak berarti tidak ada cinta diantara mereka sebagai pasangan, tetapi karena dia merasa bosan dan kesepian dalam hidup. Tidak ada orang yang bisa diajak bicara, tidak ada seorang pun yang menjadi tempat curhat. Suaminya adalah seorang dokter yang lebih banyak waktu di rumah sakit karena profesinya. Sementara itu dia harus hidup berkumpul bersama ipar-iparnya. Tidak heran kalau sangat sering Agata mengeluh karena melihat perilaku ipar-iparnya yang tak karuan dan sungguh membosankan. Dengan berat hati ia coba mengatakan secara terus-terang dan terus-menerus kepada suaminya tentang pengalaman hidupnya ini. Dia menyarankan supaya mereka sebaiknya tinggal sendirian dan mengurus rumah tangga sendiri. Akan tetapi suaminya berkeberatan. Ia mengatakan belum waktunya untuk bisa urus rumah tangga sendiri. Agata agak sewot mendengar jawaban suaminya: “Lalu kapan kita bisa mengurus diri sendiri kalau kita tidak berani mengambil langkah untuk mulai?”

Agata sangat depresi dengan jawaban suaminya yang nadanya meragukan kemampuan untuk mandiri dalam hidup berumah tangga. Iklim rumah tangganya tidak memberi harapan untuk menjadi baik dan harmonis. Yang terlintas dalam benak Agata ialah bahwa dia tidak bisa berbuat apa-apa. Karena itu dia ingin kembali kota asalnya dan mencari pekerjaan di sana. Secara jujur dan terus-terang dia mengatakan bahwa dia tidak bahagia dengan situasi hidup semacam.
Sayangnya bahwa perkawinan mereka masih terlalu hijau. Sadar atau tidak, mereka sebetulnya sedang melangkah masuk ke ambang persoalan yang serius. Memang tidak tersurat, tetapi tersirat dalam pembicaraan. Ketika mengikuti alur pemikirannya, saya bukan menilai tetapi mendapat kesan bahwa cinta Agata dan suaminya mulai mengalami inflasi bila dibandingkan dengan mutu cinta pada awal hidup perkawinan mereka. Nampaknya, intensitas cinta mereka berdua tidak mengalami kemajuan bahkan hambar. Kehangatan dan kemesraan antara mereka, tidak terasa lagi dari hari ke hari. Muncul pertanyaan dalam benak saya: “Bukankah orang yang saling mencintai secara murni dan konsekuen tidak akan membiarkan kehangatan dan kemesraan itu berlalu?” Kemesraan ini…..? Kehangatan ini……?
Andaikata rencana Agata untuk menjauh dari suami dan bekerja di kota asalnya merupakan jalan yang terbaik, maka apa mungkin kata bijak ini bisa terwujud, “Jauh sama dirindu dekat sama disayang?” Mereka berdua makin jauh satu sama lain bukan hanya secara fisik, tetapi secara emosional, apakah ini jalan yang terbaik untuk menghilangkan kebosanan dan menyelamatkan perkawinan? Saya sangsi! Langkah tawaran dalam benak itu malah membuka kesempatan untuk hancurnya keutuhan perkawinan mereka sendiri. Sampai kapan perkawinan mereka berdua bisa dipertahankan? Saya cuma menduga atau katakanlah meramalkan bahwa perkawinan mereka pada akhirnya akan menemui ajalnya. Sekarang hanya tunggu waktunya saja.
Jika mereka berdua masih saling mencinta, mereka bisa bernegosiasi, duduk bersama dan membicarakan masalahnya dan mencari solusi untuk menyelamatkan perkawinan. Pasangan suami istri yang sungguh saling mencintai, pasti mereka akan mengupayakannya, agar keluarganya tidak babak belur gara-gara tidak cepat mengambil langkah solutif buat perkawinan dan rumah tangga mereka.
Ketika saya bertemu dengan seorang teman kelas saya yang sudah menikah, dia menceritakan pengalaman hidup suka dan duka, dalam hidup berumahtangga. Bayangkan saja, dua orang yang berbeda watak dan kepribadian, beda latarbelakang keluarga, budaya dan pendidikan, beda jenis kelamin, membangun kebersamaan secara mulus tanpa hambatan, tidak segampang membalikkan telapak tangan! Tidak gampang menyatu-padukan perbedaan-perbedaan dalam waktu yang relatif singkat. Pengalaman membenarkan bahwa lebih sering “perbedaan” atau istilah santunnya “keunikan” dijadikan sebagai alasan untuk konflik daripada untuk saling melengkapi dan memperkaya satu sama lain sebagai pasangan yang tidak sempurna. Teman saya mengatakan dia tinggal bersama istri di kota asalnya suami selama kurang lebih dua tahun setelah perkawinan mereka, dia merasa sungguh sengsara di sana dan ingin kembali ke tempat di mana dia bekerja – teman asal istrinya. Istrinya malah lebih memilih tinggal di kota asal suaminya daripada kembali ke tempat di mana suaminya bekerja…..sungguh aneh tapi nyata. Suatu pengalaman yang menarik…..tetapi ketika istrinya melihat betapa suaminya tidak betah dan tidak bahagia, dia mengatakan: “Sudahlah! Mari kita kembali saja. Jika engkau bahagia di tempat kerjamu, itu sudah cukup bagiku. Sekrang ini, saya tidak tega melihat kamu seperti itu. Jadi, mari kita pulang dan tidak perlu kita berdiskusi lagi.” Mereka kembali dan keduanya mengalami dan merasa bahagia di tempat kerja suaminya, tempat asal istrinya. “Percayalah bahwa jika pasanganmu sungguh mencintaimu, ia akan menemukan cara untuk mengurangi perderitaanmu dan menyelamatkan perkawinanmu!”
“Hati dan pikiran mereka akhirnya sepaham dan sepakat, bahwa kebosanan itu melupuhkan dinamika perkawinan dan membuat rumah tangga kandas terkaram!” Ini bukan suatu hukuman, tetapi supaya sadar untuk membaharui komitmen - janji perkawinan dan menata kembali kehidupan berumah tangga.
@@@

Berpihak


Gde Prama pernah berbisik lirih kepada kita soal kemelekatan. Semakin banyak unsur-unsur duniawi yang melekat pada hidup kita, semakin tidak tenang hidup kita. Kebahagiaan menjauh jika kita tidak sadar pada kemelekatan itu. Pesan itu disimpulkan dengan sederhana; berbahagialah lewat batin dan jiwa, bukan benda-harta-kuasa.
Hemat saya, kemelekatan dewasa ini diciptakan oleh iklan. Iklan menyerbu tiga wilayah nafsu kita. Nafsu memiliki, nafsu menjadi istimewa (privilege) dan nafsu romantisme-sensualitas. Kadang kita terjerumus pada salah satu diantaranya, tapi tak jarang juga ketiganya.
Iklan tidak hanya menggoda tapi juga meletakkan standar hidup di tempat yang tinggi. Ketika dia mengatakan standar perempuan cantik adalah berkulit putih dan berambut lurus, dia tidak hanya mengolok-olok perempuan Indonesia yang lahir di daerah tropis dan berkulit sawo matang, tapi ia juga menyeret setiap perempuan pada upaya membabi-buta mencapai standar itu.
Karena iklan kita rabun soal kebutuhan dan keinginan.

Iklan adalah mesin promosi ciptaan pasar (market; yang berarti aktivitas tukar-menukar. Aktivitas ini memang sudah dipakai para leluhur kita ribuan tahun lalu. Tapi, yang saya maksud di sini adalah sistem pasar).
Ada juga mesin pasar yang bekerja tanpa kita sadari. Dia disebut liberalisasi ekonomi. Dalam liberalisasi ekonomi, pasarnya adalah pasar dunia. Indonesia ibarat seorang pembeli yang pucat setelah dibentak oleh sang penjual, “harga ini tidak bisa ditawar, keluar dari pasar ini atau beli!”. Bayangkan itu yang terjadi ketika pemerintah beralasan harga BBM harus naik karena harga minyak dunia naik.
Dalam liberalisasi ekonomi, pasar adalah Tuhan, laba adalah dewa dan negara adalah pion yang harus segera dipinggirkan. Tujuan negara untuk mensejahterakan rakyatnya lewat pendidikan, kesehatan, sandang-pangan-papan dan pelayanan sosial dapat ditunda dulu sampai laba diraih.
Kenapa Indonesia ikut liberalisasi ekonomi? Karena itu adalah aturan yang dibuat oleh negara-negara yang memberi hutang Indonesia. Kenapa Indonesia berhutang? Karena kita negara korup yang tidak bisa mengelola kekayaan bumi. Saking gilanya, hutang pun dikorupsi. APBN kita yang harus melunasinya.
Gereja sudah mencium gelagat ini pagi-pagi sekali. Maka saat Gereja memilah tiga poros (negara, pasar dan warga), Gereja juga berpesan agar kita memperkuat poros warga.
Negara ini sudah mencederai kita dengan berpihak pada pasar. Maka mari taat pada Gereja; berdayakan poros warga!

Yudhit Ciphardian

Kirim email


Nama
Alamat email
Subject
Pesan
Image Verification
Please enter the text from the image:
[ Refresh Image ] [ What's This? ]

Klik Dapat Dollar

Menjadi member Paid To Click

Klik Dapat Dollar