Oleh : Thoby M. Kraeng, SVD
Alkisah seorang ibu rumah tangga, sebut saja namanya Agata, berusia 29 tahun hidup dengan seorang anak. Mereka dulu tinggal di kota dan sekarang harus pindah ke desa setelah menikah. Di tempat yang baru inilah awal dari problem rumah tangga.
Agata tidak bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan hidup di tempat baru karena sudah biasa bersosialisasi dan bertemu dengan banyak orang, banyak teman….begitu datang ke desa , rasanya asing dan jarang bertemu orang yang bisa diajak bicara. Dia coba berusaha membangun relasi dengan orang-orang sekitarnya, tetapi hasilnya nihil.
Sebelum menikah dia adalah seorang wanita pekerja keras. Terlintas dalam pikirannya semuanya pasti beres, ketika mereka mencapai kata sepakat untuk menikah. Ia memutuskan untuk hidup berkeluarga, akan tetapi yang terjadi malah sebaliknya. Ia mengalami dan merasakan bahwa situasi dan kondisi semacam ini dapat melumpuhkan bahkan mematikan dinamika hidup berkeluarga yang harmonis.
Bagi Agata, ini tidak berarti tidak ada cinta diantara mereka sebagai pasangan, tetapi karena dia merasa bosan dan kesepian dalam hidup. Tidak ada orang yang bisa diajak bicara, tidak ada seorang pun yang menjadi tempat curhat. Suaminya adalah seorang dokter yang lebih banyak waktu di rumah sakit karena profesinya. Sementara itu dia harus hidup berkumpul bersama ipar-iparnya. Tidak heran kalau sangat sering Agata mengeluh karena melihat perilaku ipar-iparnya yang tak karuan dan sungguh membosankan. Dengan berat hati ia coba mengatakan secara terus-terang dan terus-menerus kepada suaminya tentang pengalaman hidupnya ini. Dia menyarankan supaya mereka sebaiknya tinggal sendirian dan mengurus rumah tangga sendiri. Akan tetapi suaminya berkeberatan. Ia mengatakan belum waktunya untuk bisa urus rumah tangga sendiri. Agata agak sewot mendengar jawaban suaminya: “Lalu kapan kita bisa mengurus diri sendiri kalau kita tidak berani mengambil langkah untuk mulai?”
Agata sangat depresi dengan jawaban suaminya yang nadanya meragukan kemampuan untuk mandiri dalam hidup berumah tangga. Iklim rumah tangganya tidak memberi harapan untuk menjadi baik dan harmonis. Yang terlintas dalam benak Agata ialah bahwa dia tidak bisa berbuat apa-apa. Karena itu dia ingin kembali kota asalnya dan mencari pekerjaan di sana. Secara jujur dan terus-terang dia mengatakan bahwa dia tidak bahagia dengan situasi hidup semacam.
Sayangnya bahwa perkawinan mereka masih terlalu hijau. Sadar atau tidak, mereka sebetulnya sedang melangkah masuk ke ambang persoalan yang serius. Memang tidak tersurat, tetapi tersirat dalam pembicaraan. Ketika mengikuti alur pemikirannya, saya bukan menilai tetapi mendapat kesan bahwa cinta Agata dan suaminya mulai mengalami inflasi bila dibandingkan dengan mutu cinta pada awal hidup perkawinan mereka. Nampaknya, intensitas cinta mereka berdua tidak mengalami kemajuan bahkan hambar. Kehangatan dan kemesraan antara mereka, tidak terasa lagi dari hari ke hari. Muncul pertanyaan dalam benak saya: “Bukankah orang yang saling mencintai secara murni dan konsekuen tidak akan membiarkan kehangatan dan kemesraan itu berlalu?” Kemesraan ini…..? Kehangatan ini……?
Andaikata rencana Agata untuk menjauh dari suami dan bekerja di kota asalnya merupakan jalan yang terbaik, maka apa mungkin kata bijak ini bisa terwujud, “Jauh sama dirindu dekat sama disayang?” Mereka berdua makin jauh satu sama lain bukan hanya secara fisik, tetapi secara emosional, apakah ini jalan yang terbaik untuk menghilangkan kebosanan dan menyelamatkan perkawinan? Saya sangsi! Langkah tawaran dalam benak itu malah membuka kesempatan untuk hancurnya keutuhan perkawinan mereka sendiri. Sampai kapan perkawinan mereka berdua bisa dipertahankan? Saya cuma menduga atau katakanlah meramalkan bahwa perkawinan mereka pada akhirnya akan menemui ajalnya. Sekarang hanya tunggu waktunya saja.
Jika mereka berdua masih saling mencinta, mereka bisa bernegosiasi, duduk bersama dan membicarakan masalahnya dan mencari solusi untuk menyelamatkan perkawinan. Pasangan suami istri yang sungguh saling mencintai, pasti mereka akan mengupayakannya, agar keluarganya tidak babak belur gara-gara tidak cepat mengambil langkah solutif buat perkawinan dan rumah tangga mereka.
Ketika saya bertemu dengan seorang teman kelas saya yang sudah menikah, dia menceritakan pengalaman hidup suka dan duka, dalam hidup berumahtangga. Bayangkan saja, dua orang yang berbeda watak dan kepribadian, beda latarbelakang keluarga, budaya dan pendidikan, beda jenis kelamin, membangun kebersamaan secara mulus tanpa hambatan, tidak segampang membalikkan telapak tangan! Tidak gampang menyatu-padukan perbedaan-perbedaan dalam waktu yang relatif singkat. Pengalaman membenarkan bahwa lebih sering “perbedaan” atau istilah santunnya “keunikan” dijadikan sebagai alasan untuk konflik daripada untuk saling melengkapi dan memperkaya satu sama lain sebagai pasangan yang tidak sempurna. Teman saya mengatakan dia tinggal bersama istri di kota asalnya suami selama kurang lebih dua tahun setelah perkawinan mereka, dia merasa sungguh sengsara di sana dan ingin kembali ke tempat di mana dia bekerja – teman asal istrinya. Istrinya malah lebih memilih tinggal di kota asal suaminya daripada kembali ke tempat di mana suaminya bekerja…..sungguh aneh tapi nyata. Suatu pengalaman yang menarik…..tetapi ketika istrinya melihat betapa suaminya tidak betah dan tidak bahagia, dia mengatakan: “Sudahlah! Mari kita kembali saja. Jika engkau bahagia di tempat kerjamu, itu sudah cukup bagiku. Sekrang ini, saya tidak tega melihat kamu seperti itu. Jadi, mari kita pulang dan tidak perlu kita berdiskusi lagi.” Mereka kembali dan keduanya mengalami dan merasa bahagia di tempat kerja suaminya, tempat asal istrinya. “Percayalah bahwa jika pasanganmu sungguh mencintaimu, ia akan menemukan cara untuk mengurangi perderitaanmu dan menyelamatkan perkawinanmu!”
“Hati dan pikiran mereka akhirnya sepaham dan sepakat, bahwa kebosanan itu melupuhkan dinamika perkawinan dan membuat rumah tangga kandas terkaram!” Ini bukan suatu hukuman, tetapi supaya sadar untuk membaharui komitmen - janji perkawinan dan menata kembali kehidupan berumah tangga.
@@@
Kebosanan Melumpuhkan Dinamika Perkawinan
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Kirim email
Penting Bagi Keluarga
Sujana
Artikel Suami Istri
Artikel Kehamilan
- Biar Hamil, Latihan Jalan Terus!
- Tanda-tanda Lain Kehamilan
- Menghitung Usia Kehamilan
- 7 Benda Wajib Dimiliki Ibu Hamil
- Keguguran? Jangan Pesimis!
- Optimis Atasi Kehamilan Berisiko
- Operasi Caesar: Bersenang-senang Dulu, Bersakit-sakit Kemudian?
- Bahagianya Hamil Berkat Yoga
- Peran Pria dalam Kehamilan
- Pengelolaan Keuangan Keluarga Menyambut Hadirnya si Buah Hati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar