MENDIDIK DENGAN HATI


MENDIDIK DENGAN HATI


Menjadi guru adalah pilihan yang tak pernah dibayangkan olehnya, tetapi semangatnya untuk mencintai profesi sebagai pendidik mampu membuatnya mengabdi hingga 25 tahun. Pak Bosco, demikian bapak yang bernama lengkap Yohanes Bosco (50) ini akrab dipanggil.
Berawal dari kuliah keguruan di Universitas Katolik Widya Mandala, ia kemudian mengajar di Yayasan Pendidikan Pengajaran Indonesia (YPPI) selama 1 tahun dan kemudian pindah ke SMP Katarina hingga tahun 1990. Guru yang kini mengajar mata pelajaran matematika di SMP Angelus Custos (AC) II Kebraon ini mengaku tidak pernah bosan mengajar karena keterlibatannya dengan orang lain selalu membawa hal baru dalam hidupnya.
Warga Paroki St. Yusuf Karang Pilang ini menceritakan, jika dulu metode menghukum siswa dirasa cukup efektif dalam proses mendidik maka tidak demikian saat ini. Saat ini, ruang gerak guru lebih dibatasi karena orang tua merasa bahwa hal itu bukan merupakan proses mendidik. Padahal kesulitan menghadapi siswa saat ini adalah sikap malas terbebani oleh tugas dan PR sehingga banyak dari mereka yang sering bolos dan tidak mengerjakan kewajibannya.
Metode efektif yang dipraktekkan untuk mengatasi masalah ini adalah dengan melakukan komunikasi dengan orang tua siswa. Konfirmasi antara guru dan orang tua banyak membantu mengatasi persoalan ini. Ayah dari Yohanes Bayu Kusnanto (17) dan Fransisca Indah Kurniawati (13) ini berharap kerjasama dan pengertian yang baik antara orang tua, murid, guru dan yayasan dapat terus dibangun untuk mendukung tercapainya pendidikan yang berkualitas.
Menyoal pendidikan katolik, pria kelahiran Ngawi, 11 Maret 1958 ini mengatakan bahwa kesulitan yang dihadapi sekolah katolik saat ini adalah penurunan jumlah murid. Lantaran banyak bermunculan sekolah negeri hingga tingkat kecamatan.
“Di daerah, masuk sekolah katolik gratis saja banyak yang tidak mau. Misalnya, anak tidak mampu bersekolah di sekolah A maka biaya sekolah akan ditangani umat di daerah A, tetap saja banyak yang tidak mau. Karena saking banyaknya kesulitan yang dihadapi mengakibatkan banyak sekolah katolik yang tutup”, papar Bosco.
Sekolah AC II sendiri saat ini memiliki jumlah siswa kurang lebih 300 orang, dengan rata-rata jumlah siswa 100 orang per angkatan. Menempati 3 ruang kelas dengan 34-35 orang siswa dalam satu kelas. Jumlah ini termasuk sedikit karena dalam setiap tahun selalu dibuka empat kelas untuk masing-masing angkatan. Dalam situasi yang demikian, seringkali dilakukan kompromi terhadap kualitas standar masuk siswa.
Suami dari Maria Yosephin (42) ini juga merasakan turunnya nilai kedisiplinan sebagai ciri khas yang seharusnya melekat dan ditanamkan di sekolah katolik saat ini juga menjadi pemicu turunnya minat untuk bersekolah di sekolah katolik. Meskipun demikian, Pak guru yang masih bersemangat untuk kuliah ini tetap berharap siswanya menjadi manusia yang berbudi luhur, tahu sopan santun, dan menghormati orang yang lebih tua.

. Ch Reza Kartika P. R.

Tidak ada komentar:

Kirim email


Nama
Alamat email
Subject
Pesan
Image Verification
Please enter the text from the image:
[ Refresh Image ] [ What's This? ]

Klik Dapat Dollar

Menjadi member Paid To Click

Klik Dapat Dollar