Desa global (global village), adalah misi yang dijalankan oleh kemajuan teknologi informasi dan modernisasi. Persisnya, menciptakan lalu lintas informasi dan komunikasi seluas mungkin tanpa batas ruang dan waktu. Tiap peristiwa di sudut dunia manapun dapat diketahui dalam sekejap lewat televisi dan internet. Dunia menjadi lebih kecil dan sempit, hanya “seukuran” sebuah dusun/desa.
Keluarga dalam kepungan televisi, adalah fenomena modernisasi. Bayangkan, di rumah kita “diserbu” tayangan sinetron atau infotainment yang hadir tiap detik dan kita kerap tidak berdaya, karena semua tayangan “jenisnya” sama saja. Mungkin ini yang disebut era junk-tainment atau tayangan sampah yang niatnya menghibur tapi tidak sehat. Ketidakberdayaan kita untuk memilah tontonan yang baik menjadikan kita permisif (terbuka dan pasrah) pada televisi.
Ketidakberdayaan masyarakat ternyata tidak ditanggapi serius oleh pemerintah. Pemerintah mandul dalam perannya mengawasi tayangan yang cerdas bagi rakyatnya. Regulasi yang tidak berpihak pada tontonan yang sehat dan cerdas, adalah contoh sikap pemerintah yang takluk pada media demi legitimasi kekuasaan. Banyak “pekerjaan rumah” yang kita lakukan tanpa menunggu pemerintah dengan regulasinya, kita bisa memulai dari rumah dan keluarga kita masing-masing.
Untuk mencermati fenomena ini lebih dalam, secara khusus Harmoni mewawancarai Redi Panuju, Komisioner Bidang Perijinan di Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Jawa Timur.
H : Bagaimana pendapat bapak selaku anggota KPID tentang siaran televisi sekarang ini?
RP : Siaran televisi yang kita konsumsi sekarang adalah dampak liberalisasi dunia penyiaran. Liberalisasi penyiaran mengisyaratkan kebebasan kreatif lembaga penyiaran dalam menyajikan dan memproduksi program untuk dijual kepada penonton. Semua stasiun TV berlomba-lomba menarik perhatian pemirsa. Buntutnya menimbulkan polarisasi (perbedaan sikap). Di satu sisi diharapkan ada tontonan yang cerdas dan bisa menjadi tuntunan. Di sisi lain hanya ingin menyajikan kesenangan dan kenikmatan instan. Dan kalau ditanya apakah siaran televisi kita mampu menyehatkan masyarakat, jawabanya relatif dan penilaiannya dikembalikan lagi pada pemirsa.
H : Melihat kondisi yang bapak gambarkan tadi, apa sesungguhnya peran KPI?
RP : KPI diberi mandat oleh Undang-Undang untuk mengawasi isi siaran. Undang-Undang itu mengatur apa yang boleh disiarkan dan apa yang tidak boleh disiarkan.
H : Dengan mandat itu, apa yang sudah dilakukan KPID?
RP : Sudah banyak, hanya kurang efektif. KPI hanya berwenang mengawasi, menegur dan mencabut program tapi tidak bisa memberi sanksi. Contohnya tayangan Empat Mata di Trans 7 yang dinilai melanggar etika kesopanan, pornografi dan sebagainya. Produsernya sudah ditegur sampai tiga kali, karena masih “mokong” acaranya kemudian dicabut. Tapi mereka lalu berganti menjadi “Bukan Empat Mata” dan sampai sekarang masih ditayangkan.
H : Ada apa sebenarnya di balik wewenang yang kurang efektif itu?
RP : Saya melihat bahwa industri televisi berhasil “meninabobokkan” pemerintah. Dengan model pengawasan seperti ini, pemerintah jadi mandul. Sekarang televisi menjadi media yang sangat “perkasa” sehingga bisa menayangkan acara apapun.
Lebih jauh saya melihat, masalah ini terjadi karena wewenang KPI dimandulkan hanya sampai pencabutan program, tidak sampai mencabut ijin siaran. Untuk pencabutan siaran harus ke pengadilan dulu. Dan itu butuh waktu yang panjang. Inilah yang menyebabkan industri televisi berada “di atas angin”.
H : Lepas dari lemahnya regulasi dan mandulnya pemerintah, faktanya hampir tiap rumah di Indonesia punya TV. Langkah apa yang dilakukan KPI untuk memberikan perlindungan bagi pemirsa kita?
RP : KPI punya program yang bernama Media Literasi (melek media). Dengan Media Literasi kita mengajak masyarakat untuk membuat peer group (grup sejawat atau sebaya dll. red) yang kegiatannya adalah menilai acara televisi secara kritis. Pemirsalah yang menjadi fokus kita. Dalam Media Literasi dibahas misalnya tentang sinetron yang irasional atau tidak logis. Ada orang buta yang ditampilkan begitu hebat. Atau orang yang cerdas tapi nasibnya tidak karuan. Jadi logika cerita dijungkirbalikan menjadi tidak jelas. Juga film anak-anak yang menonjokan kekerasan.
H : Bagaimana sikap masyarakat terhadap televisi, menurut KPID Jatim ?
RP : Masyarakat kita sudah menjadi permisif atau tidak lagi memandang hal itu sebagai persoalan penting dan menganggap itu biasa-biasa saja. Penyebabnya mungkin karena orangtua menjadi makin tidak berdaya dan tidak punya waktu untuk menemani anaknya selama 24 jam. Pada akhirnya televisi-lah yang jadi “teman” bagi anak-anak.
H : Apakah perlu ada gerakan sosial yang dilakukan masyarakat untuk membendung tayangan yang tidak sehat itu dan menjadi pemirsa cerdas?
RP : Untuk menjadi pemirsa cerdas tidak perlu sampai ekstrem membuat gerakan “Jangan Menonton TV”. Cukup dengan, pertama, pilihlah tayangan yang sehat. Pilah-pilah menu tontonan. Kedua, temani anak ketika menonton televisi. Ketiga, perbanyak aktifitas sosial di luar rumah. Jangan sebentar-sebentar kembali ke TV.
Jika aktivitas bermedia lebih banyak daripada interaksi sosial, dia disebut parasosial relationship atau penuh dengan hubungan sosial semu. Orang tidak kenal lingkungan dan tetangganya.
Ada got mampet di depan rumah tidak tahu, tapi kalau soal Manohara bisa ceritera sampai rinci. Ini kan aneh. Apa pentingnya Manohara? Nggak ada gunanya bagi keluarga. Keluarga harus mampu menyeimbangkan aktivitas sosial dan berani menyeleksi tayangan dan anak tidak boleh dilepas begitu saja.
H : Jika itu langkah awal yang bisa diperbuat masyarakat, apakah perlu langkah lain lebih strategis, semisal mengatur konsep penyiaran di masa mendatang?
RP : Pertelevisian kita ke depan masih liberal. Saya pesimis kalau mengandalkan regulasi pemerintah, karena pemerintah tidak berani. Yang bisa membendung adalah dengan memperbanyak lembaga penyiaran publik lokal dan lembaga penyiaran komunitas sebagai penyeimbang bagi lembaga penyiaran nasional.
Lembaga penyiaran lokal dan komunitas, artinya membuat siaran untuk masyarakat dan komunitasnya sendiri. Kita tidak bisa mengandalkan lembaga penyiaran swasta (baca : stasiun televisi nasional) karena mereka berbisnis. Mereka menggunakan segala cara untuk meraup keuntungan dengan mengacuhkan moral, etika, susila dan bila perlu melanggar hukum.
Memang butuh modal dan perijinan. Kalau pemerintah berniat mencerdaskan warganya, maka harus dibiayai.
H : Bagaimana dengan penyiaran lokal di Jawa Timur sendiri?
RP : Antusiasmenya sangat tinggi, tapi masalahnya kembali pada regulasi dan aturan yang berbelit-belit. Untuk mendirikan lembaga penyiaran harus ke Jakarta, urusannya ribet, semrawut dan lama. KPID hanya sebatas memberi rekomendasi bukan perijinan. Regulasinya harus diubah, harus ada desentralisasi penyiaran. Selama pertelevisian kita masih terpusat dan liberal, cita-cita “mencerdaskan kehidupan bangsa” masih sulit dicapai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar