Shalom, nama saya Sigrit. Lengkapnya Sigrit Rahayu Kusumawati (banyak yang bilang semakin ke belakang namanya semakin jawa, padahal saya bukan orang Jawa loh). Saya dilahirkan di Denpasar 10 Juni, 28 tahun yang lalu. Papi saya orang Bali asli seorang pekerja keras, dan sangat disiplin. Mami saya orang Finlandia, seorang ibu rumah tangga, seorang pelayan Tuhan yang sejati. Keluarga besar saya di Bali adalah keluarga Kristen Protestan yang giat melayani, bahkan rumah kami di kampung dijadikan gereja. Dari merekalah saya mengenal Kristus, sebagai seorang Protestan. Saya hanya mengetahui sedikit sekali tentang kampung halaman saya, karena setelah saya berumur lima tahun, kami sekeluarga pindah ke Jakarta, awal-awal di Jakarta pun kami harus berpindah-pindah tempat untuk kontrak rumah atau numpang dirumah saudara, sebelum akhirnya setelah saya duduk dikelas 3 SD saya benar-benar merasakan punya rumah sendiri. Tidak banyak kenangan yang saya dapat ingat mengenai masa kecil saya, mungkin karena terlalu sering pindah rumah.
Boleh dikatakan keadaan keluarga saya adalah broken home, karena komunikasi antar keluarga terutama suami istri tidak berjalan sebagaimana mestinya. Broken home bukan karena orang tua bercerai. Saya anak ke dua dari tiga bersaudara. Saya memiliki kakak perempuan dan adik laki-laki. Saya dan Kakak saya berjarak tiga tahun, sedangkan dengan adik saya, emapat tahun. Ada yang khusus dengan adik saya, dia penderita Down Syndrome (mungkin disinilah awal kekecewaan papi terhadap anak harapannya). Mungkin anda beranggapan saya pastilah memiliki panutan seorang kakak perempuan. Namun anda salah besar, karena kakakku adalah seorang pemberontak. Ya, karena pergaulan yang tidak benar dan kurangnya control dari orangtua, dia hamil di luar nikah waktu SMA (saya masih SMP waktu itu). Saking kecewanya, Papi akhirnya memborbardir saya dengan pernyataan yang diulang-ulang seperti ini: “Lihat, kakakmu sudah begitu, dan adikmu sudah tidak mungkin diandalkan, maka kamu harus jadi orang yang berhasil supaya ada yang bisa dibanggakan dari keluarga ini.” Bayangkan, anak ABG 14 tahun sudah didoktrinasi semacam ini. Saya pun tumbuh menjadi orang yang sangat penurut karena takut, seorang yang tidak dapat mengambil keputusan sendiri, seorang pencemas dan pemikir, seorang yang selalu penuh dengan kekhawatiran. Jadilah saya seperti orang yang merasa tidak mempunyai pegangan, tidak memiliki seseorang yang dapat saya andalkan, selain teman-teman saya.
Namun, saya adalah anak yang pintar dan di balik kecemasan saya, saya berpura-pura menjadi seseorang yang sangat ramah, agar orang-orang tidak tahu saya sedang sedih. Ya, seperti memiliki dua kepribadian yang berbeda. Sejak SMP, setiap selesai sekolah saya tidak pernah langsung pulang ke rumah. Saya pasti ke rumah teman sampai sore, dan baru pulang rumah setelah jam enam sore. Saya paling malas ke sekolah minggu karena saya berpikir dari Senin sampai Sabtu saya sudah sekolah, masak hari Minggu saya harus sekolah lagi, kapan liburnya…..? Dengan berbagai alasan saya selalu menolak.
Sampai pada suatu hari saya berkenalan dengan seorang teman baru di SMP saya. Dia yang akhirnya memperkenalkan kembali konsep keTuhanan dan Gereja kepada saya. Saya diajak ke gereja tempat dia biasa kebaktian, sebuah Gereja Pantekosta. Hasilnya luar biasa, saya lama-lama menjadi aktif sekali di sana, malah lebih aktif dari teman saya itu, entah itu merupakan suatu panggilan atau hanya pelarian. Saya menjadi singer, menjadi Guru Sekolah Minggu dan mengajar menari. Hal tersebut berlanjut samapai saya di SMA. Saya aktif di organisasi Kristen di sekolah, termasuk anak yang paling berpengaruh di lingkungan organisasi tersebut, tapi anehnya, cara hidup dan tingkah laku saya sama sekali tidak memcerminkan anak Tuhan. Tetapi toh menurut saya waktu itu, melayani Tuhan dan pergaulan saya adalah dua hal yang sangat berbeda dan keduanya tidak dapat dicampuradukkan.
Menjelang kelas 3 SMA Papi saya bertanya, karena beliau merasa ‘aneh’ melihat saya sangat santai, tidak pernah ikut bimbingan belajar untuk UMPTN. “Sigrit, kamu mau kuliah di mana nanti?” Dengan enteng saya menjawab, “Mau di Tarakanita saja Pi, jurusan sekretaris, biar kuliah tiga tahun saja bisa langsung kerja, jadi Papi ga repot”. Ya, saya sudah menyiapkan semuanya, saya sudah tau saya akan kuliah di Tarakanita. Karena jarak antara kampus dan rumah sangat jauh, maka saya minta masuk asrama. Alasannya, supaya tidak terlambat kuliah. Padahal ini hanya merupakan salah satu alasan untuk “melarikan diri dari rumah”. Dengan tekad bulat saya tidak ikut UMPTN, saya tidak ikut test masuk perguruan tinggi manapun, kecuali test masuk Tarakanita. Malamnya sesudah selesai test saya berdoa dengan sungguh-sungguh. Sepertinya hanya doa ini yang pernah saya doakan dengan paling sungguh-sungguh masa itu! Tuhan menjawab doa saya, saya lulus dan berhasil masuk asrama.
Di asrama, saya terkaget-kaget dengan sistem pengajaran di sebuah akademi Katolik, luar biasa disiplin dan ketat. Kami semua satu angkatan terdiri dari 600 orang, jadi total di kampus itu ada 1800 orang calon sekretaris yang semuanya perempuan. Hanya segelintir orang yang masuk asrama, hanya 120 orang dari tiga angkatan. Di asrama sendiri tidak ketat, hubungan antar kami dekat sekali seperti kakak-beradik. Namun di sinilah iman Katolik saya bertumbuh. Karena menjadi anak Asrama Mediatrix, saya harus mengikuti semua kegiatan yang diprogramkan termasuk doa malam di kapel.
Saya termasuk anak yang rajin ke kapel. Pertama-tama, saya melihat dan berkata dalam hati, “Cara berdoa orang Katolik aneh sekali, membosankan, begitu hening, tidak ada tepuk-tepuk tangannya, tapi kok pada tahan ya?” Itu anggapan saya pertama kali ikut doa malam. Anehnya lagi ketika saya ikut doa rosario, batin saya berperang… apa saya sudah benar ikut-ikut doa begini, kan ngga boleh menyembah yang lain selain Tuhan, tapi kenapa kita berdoa dengan menyebut nama Maria? Kan dia juga manusia sama seperti kita… Berbulan-bulan hati saya berkecamuk.. tidak tenang, gelisah.
Tetapi pelan-pelan saya penasaran, saya belajar sendiri, saya bertanya dengan teman-teman, dengan pastur, dengan para biarawati yang tinggal di biara belakan kapel, lewat buku dan sebagainya. Saya belajar, bahwa orang-orang Katolik tidak menyembah Maria. Mereka menghormatinya karena Maria adalah Bunda Kristus yang sudah dipersiapkan Allah sejak awal untuk dikuduskan bagi Kristus. Orang Katolik juga menghormati Malaikat dan Orang Kudus karena mereka dekat kepada Allah dan mereka senantiasa berkomunikasi kepada Allah. Sebuah konsep yang sama sekali asing buat saya sebagai seorang Protestan, yang sama sekali tidak pernah mengenal konsep Maria dan orang Kudus, malaikat, dan sebagainya. Yang saya pelajari selama ini di gereja Protestan adalah bahwa Maria adalah manusia biasa yang dipakai Tuhan untuk melahirkan Kristus. “Kita tidak menyembah atau berdoa kepada yang lain selain kepada Kristus saja. Tidak juga berdoa kepada santo/santa karena mereka juga manusia yang pasti ada dosanya,” itu kata Pendeta saya waktu itu. Bagi gereja tempat saya beribadah, menjadi Katolik adalah sesuatu yang murtad dan “haram” karena sudah jelas-jelas menyembah patung. (Setelah saya menjadi Katolik, saya menyadari betapa kelirunya pandangan ini. Orang Katolik tidak berdoa kepada Maria dan orang Kudus, dan juga tidak menyembah patung. Orang Katolik hanya berdoa memohon agar Maria dan para orang kudus itu mendoakan mereka).
Tetapi anehnya, semakin diyakinkan oleh Pendeta saya, saya semakin merasa penasaran ingin tahu lebih banyak lagi tentang kebenaran Gereja Katolik. Saya tidak pernah ke gereja saya lagi sejak tahun kedua saya di Tarakanita. Saya jarang pulang karena situasi di rumah juga sangat tidak nyaman, karena banyak pertengkaran orang tua. Setiap minggu pagi saya selalu antusias untuk ke gereja St. Anna bersama teman-teman saya yang Katolik, walaupun tidak ikut komuni. Saya mendengarkan homili, saya merasakan tenangnya keheningan gereja, saya berdoa minta petunjuk pada Tuhan, saya harus bagaimana. Tuhan tidak langsung menjawab atau memberikan jalan. Menurut saya, Tuhan hanya ingin melihat kesungguhan saya untuk menjadi seorang Katolik.
Selepas kuliah saya belum juga menjadi Katolik, tapi saya dipertemukan Tuhan oleh seorang yang luar biasa yang menunjukkan jalannya kepada saya. Dia seorang Katolik yang taat. Darinyalah saya belajar berdoa kembali setelah lama sekali tidak berani berdoa karena bingung dan takut salah. Dia meminjamkan buku doa kecil kepada saya, dan berkata, “Buku ini adalah hadiah krisma dari pastur parokiku waktu itu. Isinya banyak doa-doa. Kamu bisa belajar berdoa lagi dari buku ini.” Dia menyarankan kalau saya serius untuk menjadi Katolik lebih baik saya belajar dalam kursus katekumen di gereja. Akhirnya saya mendaftar kursus di Gereja dekat rumahnya. Ternyata dia yang mengajakku itu akhirnya menjadi suami saya.
Tuhan menjawab doa saya, saat saya minta izin menjadi Katolik kepada Mami saya. Beliau senang sekali, katanya pada calon suami saya waktu itu: “Terimakasih, kamu sudah mengembalikan Sigrit ke jalan Tuhan.” Wow, saya tidak pernah mengira akan semulus ini jalannya. Lain cerita dengan reaksi Pendeta saya. Beliau hanya diam, tapi sejak saat itu, setiap kali bertemu, beliau selalu “menyempatkan diri” untuk mengajak saya kembali ke kebaktian di gerejanya dengan berbagai cara. Sampai-sampai saya merasa kok sepertinya dia berfikir saya dan suami saya adalah orang yang paling berdosa dan paling perlu diselamatkan dari Gereja Katolik.
Teman-teman kantor juga mulai bertanya, kenapa saya berpindah ke Gereja Katolik. Mereka pikir saya ikut-ikutan hanya karena ingin menikah dengan suami saya. Lalu saya bercerita tentang mengapa saya menjadi Katolik, mereka malah berkata, “Kamu kan tahu Gereja Katolik itu kayak apa bobroknya, masak dosa bisa dihapus pake surat?” (Setelah saya menjadi Katolik, saya mengetahui, yang dibicarakan adalah penyimpangan ajaran tentang Indulgensi, yang terjadi di abad ke-16). Saya hanya tersenyum dan berkata, “Memang di jaman dahulu terjadi penyimpangan dalam penerapan ajaran Gereja, walaupun sebenarnya, ajarannya tidak salah. Lagipula, sekarang sudah tidak ada lagi penyimpangan itu. Dan Bapa Paus bahkan mengakui bahwa hal tersebut adalah kesalahan yang dilakukan oleh putera- puteri Gereja Katolik di masa lalu. Selanjutnya Gereja memperbaiki diri dan bertumbuh dari situ, untuk menjadi Gereja yang lebih baik. Sama seperti kita, Paus-paus terdahulu juga manusia biasa, yang bisa juga berdosa dan melakukan kesalahan, namun jangan lupa, mereka itu sudah dipilih Tuhan untuk menggantikan Rasul Petrus. Maka walaupun mereka dapat melakukan kesalahan sebagai manusia, namun pada waktu melaksanakan wewenang mengajar, mereka tidak dapat salah, karena kuasa Kristus sendiri yang menjamin demikian.” Pertanyaan seperti ini bukan hanya satu atau dua kali. Bahkan ada yang mengajak berdebat, namun saya menolak. Menurut saya percuma saja, maka saya katakan padanya, “Kalau mau cari info lebih lanjut, tanyalah kepada Pastur yang lebih tahu banyak atau baca buku, tapi jangan ajak saya debat, saya tidak mau”.
Saya diterima secara resmi di Gereja Katolik 31 Juli 2004 dengan mengambil nama baptis Theresa (St. Teresa dari Kanak-kanak Yesus) karena saya sebenarnya dibaptis di gereja protestan pada bulan Oktober, bulannya St. Teresa dan saya mau meneladani semangat St. Teresa berkarya bagi Tuhan melalui hal-hal yang kecil, untuk mengasihi Tuhan dan semua orang karena Tuhan mengasihiku.
Yang saya pelajari dari menjadi Katolik adalah menjadi pribadi yang lebih stabil, tidak melayani Tuhan hanya karena pelarian, tetapi karena Tuhan sendiri. Selanjutnya, saya belajar bahwa iman harus nyata dalam perbuatan, dan bukan hanya dalam perkataan saja, agar hidup kita dapat menjadi contoh dan teladan bagi orang lain. Saya menyanggupi panggilan hidup berkeluarga, menjadi istri dan ibu yang bekerja dari dua orang anak, Sebastian 3,5 thn dan Rafael 5 bulan. Saya melayani keluarga untuk Tuhan, dan aktif menjadi pengurus Perkumpulan Katolik di gedung Sentra Mulia tempat saya bekerja.
Saya, suami dan anak pertama kami Sebastian, biasanya mengikuti misa kedua di Gereja kami St. Matius Penginjil Bintaro. Anakku selalu berusaha untuk mengikuti dengan khidmat keseluruhan misa (dengan gaya kanak-kanaknya yang menggemaskan tentunya) dan selalu antusias untuk bersalaman dengan “Opa Pastur-nya” setiap kali habis misa. Pastur Paroki ingat sekali padanya, dan selalu berpesan…, “Jadi Uskup ya kalau sudah besar.” Sebastian tersenyum senang dan saya mengaminkannya. Semoga Tuhan mengijinkan…
Source : katolisitas.org
Tidak ada komentar:
Posting Komentar