Guru Ideal SMA Se-Jawa Timur

Pada waktu sedang mengajar pelajaran Bahasa Inggris di kelas XII IPA-6 SMAN 5 Surabaya, separuh murid menghilang tidak ada di kelas. Padahal saat pelajaran sebelumnya murid-murid tersebut masih berada di kelasnya.
Ibu guru yang masih penasaran atas kejadian ini mencoba menanyakan pada bagian tata usaha yang ternyata tidak tahu-menahu. Setelah bertanya pada seorang murid, baru diketahui kalau para murid yang menghilang itu sedang mengantar salah seorang teman mereka yang sedang mengikuti program pertukaran pelajar.Ibu guru yang kecewa dengan tingkah para muridnya ini akhirnya memberi ultimatum bahwa dia tidak akan mengajar lagi di kelas tersebut. Para murid pun terdiam.
“Sore itu juga, para murid yang menghilang tersebut langsung ke rumah saya dan mereka meminta maaf,” kisah sang ibu guru.
Pada tahun 2003, saat perpisahan kelas XII SMAN 5 Surabaya, terbit sebuah buku kenangan sekolah. Pada profil kelas XII IPA-6 mereka menceritakan kembali tentang kejadian bersama ibu guru Clara lengkap dengan karikatur dirinya yang memakai kalung salib dan ucapan terimakasih mereka.
“Saya tidak mengira kalau mereka akan menceritakannya dalam buku kenangan, saya biasa menyebut mereka magnificent seven,” kenangnya.
Itulah sekelumit cerita Clara Sri Sudarmi (58) yang tidak akan pernah dilupakannya. Dalam kesehariannya Clara adalah seorang guru bidang studi bahasa Inggris. Baginya, menjadi seorang guru lebih dari sekadar profesi tapi juga pengabdian. “Yang kita hadapi bukan benda mati, mereka adalah calon penerus bangsa. Lain dengan kerja kantoran,” terang perempuan yang menekuni pekerjaan ini sejak tahun 1972.
Pada awalnya ibu tiga anak ini mengajar sekolah guru pendidikan luar biasa di Gedangan-Sidoarjo. Sekolah ini diperuntukan bagi para calon guru yang nantinya akan mengajar di Sekolah Luar Biasa (SLB). Waktu itu Clara mengajar bidang studi bahasa Inggris. Barulah pada tahun 1995 ia dipindahkan di SMAN 5.
Di SMAN 5 ia mengajar bahasa Inggris untuk kelas X, XI dan XII. Ada tiga konsentrasi yang ia ajarkan pada para muridnya yaitu akselerasi, Standart Belajar Internasional (SBI) dan kelas reguler.
Perempuan kelahiran Kuala Simpang-Aceh ini juga dinobatkan menjadi guru ideal dalam Pemilihan Guru Ideal (PGI) 2008 versi Jawa Pos. Ia berhasil menyisihkan sekitar 1206 peserta dari seluruh Jawa Timur dan diantara mereka Clara merupakan satu-satunya guru Katolik.

Clara berhasil menembus babak final setelah melewati beberapa kriteria. Kriteria dibagi menjadi beberapa tahap. Tahap pertama adalah kompetensi mengajar, kepribadian, sosial, komunikasi dan profesi. Tahap kedua meliputi psikotest, wawancara, abstraksi dan perencanaan program. Sedangkan tahap ketiga adalah tanya jawab dengan para juri.
Diakuinya ia selalu mendesahkan kata Yesus setiap kali akan mempresentasikan program kerjanya dan menjawab pertanyaan juri. “Itu memberi kekuatan bagi saya. Pernah suatu kali LCD proyektor mati, tapi atas bantuanNya banyak orang yang menolong saya,” kenang penyuka nasi pecel ini..
Bagi Clara menjadi seorang guru harus dekat dengan para muridnya dan orang-orang di lingkungan sekolah. Misalnya, makan siang di kantin bersama para murid dan bercakap-cakap dengan mereka. “Mencoba bersosialisasi tetapi tetap harus ada batasan,” terang lulusan IKIP Surabaya (UNESA) jurusan Sastra Inggris ini.
Pengalaman ikut workshop bersama 30 guru se-Asia Pasifik di Korea membekalinya banyak hal dalam mengajar. Di mata muridnya, Mam Clar, demikian dia biasa dipanggil, dikenal sebagai guru yang cerdas
Clara Sri Sudarmi menikah dengan Johanes Soepangat pada tahun 1972 di Paroki Yohanes Pemandi Wonokromo dan memiliki tiga orang anak yaitu Catherine Ratna Damayanti, Rosalia Rina Nilasari dan Bernardus Khrisma Wibisono. Saat ini Clara tinggal di jalan Mangga 71, Aloha-Sidoarjo
“Kedua puteri saya sudah menikah dan anak saya yang ketiga sedang menempuh pendidikan Yesuit di STF Driyarkara Jakarta saat ini memasuki tingkat 3,” ujar Clara yang suka berbusana santai saat di rumah.
Di rumah, Clara hanya tinggal bertiga bersama adiknya dan rekannya seorang guru agama yang juga mengajar di SMAN 5. Hal ini bisa dimaklumi mengingat kedua puterinya sudah berkeluarga dan tinggal terpisah sedangkan Bernardus memilih untuk hidup membiara. Johanes Soepangat meninggal dunia pada tahun 1996 pada usia 55 tahun akibat kanker kelenjar getah bening.
“Suami saya marinir pangkatnya Letnan Kolonel, ia juga seorang atlet,” kenang perempuan penyuka warna krem ini yang juga memiliki prinsip hidup pasrah kepada Tuhan. “Prinsip itu membuat saya survive sampai sekarang,” lanjutnya. Nenek tiga cucu ini juga aktif dalam kegiatan paduan suara di paroki dan di lingkungan selain menjadi ketua Lingkungan Yakobus 3 Paroki Sakramen Maha Kudus Pagesangan.
Mencapai puncak tertinggi dalam profesinya sebagai pendidik jelas membanggakan. Kini gelar Guru Ideal SMA Se-Jawa Timur yang disandangnya membawa konsekuensi peningkatan kualitas pengajaran baik bagi anak didiknya maupun bagi dirinya sendiri. (Leonard Hanny)



 

Tidak ada komentar:

Kirim email


Nama
Alamat email
Subject
Pesan
Image Verification
Please enter the text from the image:
[ Refresh Image ] [ What's This? ]

Klik Dapat Dollar

Menjadi member Paid To Click

Klik Dapat Dollar