Pasar

Membaca kisah tentang Slamet (45) pedagang gorengan di Jakarta yang bunuh diri karena pendapatannya terus menurun akibat naiknya harga tepung terigu, tempe, tahu dan minyak tanah adalah membaca tentang negara yang gagal (failed state).
Membayangkan tentang tubuh ayah empat anak yang menggantung di tengah kamar, dengan seutas tali plastik melilit di lehernya adalah membayangkan tentang “negara yang belum selesai”.
Suami dari Nuriah (40) ini adalah kepala rumah tangga biasa yang menggantungkan hidup anak dan istrinya pada dagangan gorengan di pinggir jalan (Kompas, 17/1).
Mungkin dia tidak tahu mengapa negara mengijinkan impor kedelai sehingga harga kedelai lokal sangat dipengaruhi harga kedelai dunia. Barangkali dia juga tidak mahfum mengapa harga barang kebutuhan pokok –yang sangat dibutuhkan oleh jutaan orang di negeri ini- begitu gampang diombang-ambing oleh harga minyak dunia.
Yang dia tahu pasti adalah jika modal dagang sehari Rp 50.000 dan setelah sebulan pendapatannya sehari tidak beranjak dari kisaran Rp 35.000 maka dagangan ini tidak bisa diteruskan.
Mungkin dia terlalu nekat atau putus asa, tapi negara punya andil bagi keputusan yang dia ambil. Sistem ekonomi negara ini tidak berpihak pada orang-orang kecil seperti Slamet. Dia berpihak pada hiruk-pikuknya pasar. Itulah kenapa Gereja menyebutnya dengan istilah “poros pasar” dimana hukum yang berlaku adalah hukum rimba, siapa yang kuat dia yang menang. Survival for the fittest.
Sialnya, di negara ini, poros pasar sudah terlalu “mesra” dengan poros negara. Poros pasar diwakili oleh perusahaan-perusahaan asing dan milyader-milyader lokal. Poros negara diwakili oleh para birokrat dan politisi yang punya kuasa mengatur kehidupan kita.
Klop. Uang dan kekuasaan berjumpa di titik yang sama dan bergerak ke arah yang sama bernama “kemakmuran diri sendiri”.
Satu poros lagi yang perlu disebut, dimana Gereja Katolik berpihak padanya yaitu poros warga/masyarakat. Di poros ini, Gereja (baca: kita) menyatakan keprihatinan, pembelaan dan bekerja untuk terus-menerus memberdayakannya. “Koalisi jahat” antara poros pasar dan poros negara akan bisa “ditaklukkan” saat poros warganya kuat dan berdaya.
Jutaan orang seperti Slamet sedang meratap nelangsa di negara ini. Seluruh usaha, doa dan hening kita hanya pantas untuk mereka.

Yudhit Ciphardian

Tidak ada komentar:

Kirim email


Nama
Alamat email
Subject
Pesan
Image Verification
Please enter the text from the image:
[ Refresh Image ] [ What's This? ]

Klik Dapat Dollar

Menjadi member Paid To Click

Klik Dapat Dollar