Meletusnya gunung kelud pertama kali pada tahun 1949, merupakan saksi bisu pengenalan iman katolik yang lebih mendalam bagi Hubertus Redjo. Pasalnya meletusnya gunung yang terletak di kota tahu kediri ini bertepatan dengan perjanjian sakramen baptis yang diterimanya. pak Jo, begitu ia lazim disapa, adalah salah satu umat paroki Kristus Raja, yang tahun pembaptisannya bertepatan dengan gunung yang sampai sekarang masih aktif ini meletus. ”saya dibaptis saat gunung kelud pertama kali meletus mas”, katanya.
Di daerah sekitar stadion Tambaksari, semua orang pasti tidak asing dengan nama pak Jo. Sebab bapak tua yang kini usianya telah genap 76 tahun ini sehari-hari bekerja sebagai tukang parkir. Beban hidup tak dirasakan sebagai rintangan. Bahkan terik matahari yang selalu menyirami tubuhnya adalah bentuk kegigihan dari perjuangan hidup.
Sebelum menjadi tukang parkir pak Jo pernah bekerja sebagai pemborong tukang cat, menerima panggilan mulai dari Jakarta, Purworkerto, Bumiayu, Probolinggo dan kota-kota besar lainnya.
Menjadi juru parkir harus selalu dalam kondisi fit. Karena melihat usia yang tidak muda lagi suami dari Dasmi (58) ini harus pintar menjaga kesehatan. ”Saya selalu minum kopi paitan dicampur dengan garam” ujarnya mencoba memberikan resep dalam menjaga kondisi tubuh agar selalu fresh.
Saat ditemui dirumahnya, kakek asli kota gudeg ini menuturkan kisahnya menjadi tukang parkir. Dengan logat jawa yang masih kental ia berkisah tentang peliknya hidup. ”sebelum menjadi tukang parkir dulu saya bekerja di kelurahan sebagai penjaga. Tetaapi karena ada suatu masalah akhirnya saya diberhentikan”, kisahnya. Meski diberhentikan dari pekerjaan pak Jo masih merasa beruntung karena ada warga menolongnya, namanya pak Ampi. ”yo wis pak jo, pak jo kerja disini saja sebagai tukang parkir nanti setiap bulan saya gaji” kenangnya.
Selama kurang lebih 6 tahun mengais rejeki menjadi tukang parkir banyak hal yang membuat penggemar olah raga kasti ini selalu was-was ketika mendapat giliran jaga malam. ”nang kene akeh malinge mas” (disini banyak pencurinya mas). Pernah suatu hari pak Jo harus dipotong gajinya hanya gara-gara untuk nempui barang yang hilang.
Menjaga parkir khusus mobil pemilik warga perumahan jalan nanas mungkin tak seberapa berat bagi sebagian orang, tapi bagi pak Jo bekerja mulai dari jam 6 pagi hingga 6 sore tanpa ada hari libur adalah suatu tanggung jawab yang berat. Dari hasil jerih payahnya pak Jo mendapatkan gaji 300 ribu hingga 400 ribu untuk per bulan. Pendapatan yang tak begitu banyak, namun pak Jo tetap mensyukurinya.
Saat ditanya tentang keluarga-keluarga muda saat ini, pak Jo mengatakan bahwa anak-anak muda sekarang tak seperti dulu, ibaratnya kebo nyusu gudel (orang tua menurut sama anak). Pak Jo membandingkan dengan anak muda dulu lebih nurut. Merasa prihatin, ia ingin memberikan saran untuk pasangan yang akan menikah ”sebelum menikah sebaiknya dipikirkan dulu, ojok sampai ngeropoti wong tuwo (jangan sampai merepoti orang tua), dilihat dulu, bibit, bebet dan bobotnya” ujarnya sambil tersenyum.
Berbicara mengenai kehidupan rohani, pak Jo mengaku tak pernah ada masalah meskipun berbeda kenyakinan dengan sang istri yang memeluk Islam. Perbedaan kenyakinan yang dianut dalam keluarga ini bukanlah suatu halangan bagi keduanya, malahan mereka bisa saling bertoleransi antara satu sama lainnya. ”kalau waktunya sholat, istri saya ya saya suruh sholat dulu,” tutur pria yang menikah pada tahun 1968 di kota Yogjakarta ini. Banyak hal besar dalam hidup yang harus kita perjuangkan, dan semuanya harus dimulai dari hal yang terkecil.
Dikalangan warga gereja sendiri maupun tempatnya sehari-hari mengais rejeki, pak Jo dikenal cukup baik, murah senyum dan mudah bergaul dengan siapa saja. Kesederhanaan yang dimiliki pria periang ini membuat semua orang iba bila melihat di masa tuanya masih harus bergelut dengan kerasnya kehidupan. Termasuk tantangan selama kurang lebih 40 tahun berumah tangga dengan wanita asli Banyumas tanpa dikaruniai anak. Meski demikian semangat untuk tetap bertahan hidup selalu tertanam dalam hatinya.
Saat pagi sebelum matahari tampak Pak Jo bergegas ke gereja untuk mengikuti misa pagi. Menurut beberapa warga di lingkungan, pak Jo tak pernah absen bila ada doa lingkungan. Hal ini dibenarkan oleh salah satu warga yang tahu betul tentang hidup pak Jo.
Pak Jo selalu bersyukur bahwa di sela-sela kesibukannya bekerja dia masih bisa menyisakan waktunya pergi kegereja menyapa Tuhan dengan penuh syukur. Imannya yang sekecil biji sesawi tetap dipelihara sebagai landasan hidupnya. Pak Jo berharap di usianya yang masih tersisa itu ia akan tetap mencintai Tuhan.
Fransiskus Gandhi Muda
Biji Sesawi Dari Gunung Kelud
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Kirim email
Penting Bagi Keluarga
Sujana
Artikel Suami Istri
Artikel Kehamilan
- Biar Hamil, Latihan Jalan Terus!
- Tanda-tanda Lain Kehamilan
- Menghitung Usia Kehamilan
- 7 Benda Wajib Dimiliki Ibu Hamil
- Keguguran? Jangan Pesimis!
- Optimis Atasi Kehamilan Berisiko
- Operasi Caesar: Bersenang-senang Dulu, Bersakit-sakit Kemudian?
- Bahagianya Hamil Berkat Yoga
- Peran Pria dalam Kehamilan
- Pengelolaan Keuangan Keluarga Menyambut Hadirnya si Buah Hati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar