Keluarga adalah unit masyarakat yang terkecil. Maka kondisi keluarga sangat dipengaruhi oleh kondisi masyarakat di sekitarnya. Kondisi keluarga Katolik di Keuskupan Tanjung Selor tentunya berbeda dengan kondisi keluarga di Surabaya. Keluarga-keluarga di masing-masing daerah itu diikat oleh konteks budaya dan sistem sosial yang berbeda. Mgr. Justinus Harjosusanto, MSF, Uskup Tanjung Selor memaparkan kondisi keluarga serta tantangan-tantangan yang dihadapi oleh keluarga Katolik di salah satu keuskupan di pulau Kalimantan ini.
”Pada dasarnya, masyarakat di Tanjung Selor dapat dipetakan menurut lingkungan tempat tinggalnya. Yang pertama yaitu masyarakat yang tinggal di pedalaman, masyarakat perkotaan di Tarakan, dan masyarakat yang tinggal di daerah transmigrasi. Kondisi-kondisi keluarga dalam masing-masing masyarakat tersebut sangat berbeda,” papar Ketua Komisi Kepemudaan (Komkep) Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) ini.
Keluarga-keluarga yang tinggal di pedalaman misalnya, merupakan keluarga-keluarga besar yang tinggal bersama dalam satu kampung. Karenanya, kehidupan perkawinan juga sangat dipengaruhi oleh adat dan tradisi. Keluarga-keluarga ini hidup dalam lingkungan yang komunal. Ikatan-ikatan tradisi sangat kuat mengikat aspek-aspek kehidupan keluarga. Dalam hal pendidikan anak misalnya, orang tua cenderung longgar dan tidak terlalu menerapkan aturan yang ketat pada anak. Anak diberi kebebasan untuk memilih apa yang ingin dilakukan. Ketika si anak tidak ingin sekolah, maka hanya dibiarkan saja. Orangtua memberikan pengarahan yang ketat pada anak hanya dalam hal perkawinan. Dalam masyarakat Kalimantan di pedalaman, sangat marak terjadi pernikahan dini, dan hal tersebut merupakan bagian dari tradisi.
Monsinyur Harjo (demikian beliau akrab disapa) yang dijumpai Harmoni di sela-sela acara Komkep se-Indonesia di Jatijejer Mojokerto awal April lalu melanjutkan gambarannya tentang keluarga di keuskupannya. Di Tarakan, tantangannya nyaris sama seperti keluarga di kota-kota besar lainnya. Persoalan utamanya adalah pendidikan formal. ”Pembangunan sarana pendidikan di Tarakan dan sekitarnya sebenarnya sudah cukup bagus, namun sayang sumber daya manusianya sangat kurang. Profesionalisme juga guru kurang terjaga, ” tutur Uskup yang dikenal dekat dengan dunia orang muda ini. ”Sekolah-sekolah Katolik jumlahnya cukup banyak, namun hanya berada di perkotaan,” lanjutnya.
Kesulitan utama Gereja dalam membina keluarga-keluarga Katolik di keuskupan Tanjung Selor berkaitan dengan persoalan jarak. Jarak antara paroki yang satu dengan yang lain sangat jauh. Ditambah dengan sarana dan prasarana transportasi yang kurang memadai. Luas wilayah keuskupan ini juga cukup besar. Namun gereja sudah mulai berhasil menanamkan pendidikan-pendidikan pastoral keluarga, terutama bagi keluarga Katolik di pedalaman. Kini, kasus-kasus pernikahan dini sudah jauh berkurang. Gereja dengan tegas melarang adanya pernikahan anak-anak di bawah umur.
Agnes Rosari Dewi
Benturan Modernisasi dan Adat Istiadat
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Kirim email
Penting Bagi Keluarga
Sujana
Artikel Suami Istri
Artikel Kehamilan
- Biar Hamil, Latihan Jalan Terus!
- Tanda-tanda Lain Kehamilan
- Menghitung Usia Kehamilan
- 7 Benda Wajib Dimiliki Ibu Hamil
- Keguguran? Jangan Pesimis!
- Optimis Atasi Kehamilan Berisiko
- Operasi Caesar: Bersenang-senang Dulu, Bersakit-sakit Kemudian?
- Bahagianya Hamil Berkat Yoga
- Peran Pria dalam Kehamilan
- Pengelolaan Keuangan Keluarga Menyambut Hadirnya si Buah Hati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar