Perpustakaan di Tengah Lokalisasi

Siapa yang tidak tahu lokalisasi Dolly? Lokalisasi yang konon terbesar di Asia Tenggara ini, oleh kebanyakan orang dianggap sebagai sebuah tempat “hitam” yang harus dijauhi. Lalu bagaimana dengan masyarakat yang tinggal di sekitar Dolly yang di dalamnya juga ada anak-anak usia sekolah?

Kisah ini mungkin menakjubkan sekaligus mengharukan. Di tengah deretan wisma-wisma yang hingar-bingar oleh dentuman musik, warna-warni lampu yang suram-suram dan canda tawa para pekerja seks komersial (PSK), ada sebuah rumah kecil yang pantas dikunjungi. Dengan spanduk kumal bertuliskan “Taman Bacaan Kawan Kami,” rumah ini berbeda dengan rumah-rumah di kanan-kirinya. Rumah ini adalah perpustakaan.
Memasuki rumah di jalan Putat Jaya gang IIA no 36 ini, mata kita akan langsung tertuju pada sebuah tulisan, “Kalau mau pintar, yo mbaca rek”. Persis di bawah tulisan itu ada dua lemari yang penuh dengan berbagai macam koleksi buku, mulai dari buku pelajaran sekolah, buku umum, sampai komik. Buku-buku itu tampak berserakan, tanda baru saja ada aktivitas membaca di situ.
Taman Bacaan Kawan Kami (TBKK) didirikan oleh beberapa orang aktivis sosial pada awal 2007. Tujuannya adalah menyediakan bacaan untuk menambah pengetahuan bagi masyarakat sekitar. Tujuan lainnya adalah untuk membentengi anak-anak di daerah lokalisasi dari pengaruh negatif lingkungannya.
Adalah Kartono (45), salah satu aktivis LSM Abdi Asih yang bertugas mengelola secara penuh TBKK. Pria kelahiran Banyuwangi 29 Agustus 1963 ini merasa yakin bahwa anak-anak di kawasan ini tidak banyak berbeda dengan anak-anak di daerah lain. Hanya saja, mereka terpaksa tinggal di tempat di mana “aktivitas orang dewasa” dilegalkan. Kartono yakin bahwa sebuah taman bacaan akan menjadi sebuah tempat yang penuh keajaiban dengan buku sebagai guru yang jujur bagi pembentukan karakter anak-anak tersebut.
Sebagai aktivis sosial, Kartono telah banyak makan garam kehidupan sebelum akhirnya memutuskan mencurahkan perhatian mengelola TBKK. Kartono yang lulusan STM Pembangunan (sekarang SMKN 5) ini pernah bekerja di Dinas Perairan. Selepas itu ia pernah menjadi montir di bengkel, sampai akhirnya terjerumus menjadi seorang mucikari.
“Saat keluarga di Yogya tahu saya menjadi mucikari, mereka menjauh. Istri dan anak-anak tidak mau bertemu dengan saya. Setiap saya pulang ke Yogya, mereka malah pergi,” kenangnya dengan mata menerawang. Titik balik hidup Kartono terjadi saat bulan Ramadhan 2006. Perkenalannya dengan beberapa aktivis sosial yang sedang berkarya di Dolly memantapkan hatinya untuk berhenti dari “pekerjaan hitamnya”. Teman-temannya memperkenalkan sebuah dunia baru yang lebih berharga. Sejak saat itu, Kartono mencintai aktivitas sosial yang belum lama dikenalnya.
Seiring dengan makin sibuknya Kartono dalam dunia barunya, hubungan dengan keluarga juga semakin baik. “Dengan aktif di bidang sosial ini, saya ingin menunjukkan pada anak dan istri bahwa saya sudah bertobat dan bahwa saya adalah suami dan ayah yang bisa dibanggakan,” tuturnya sembari menyesali masa lalunya.
Dengan dukungan semangat dan modal dari teman-temannya, Kartono telah mewujudkan keyakinannya bahwa perubahan dapat dilakukan dimanapun, kapanpun dan oleh siapapun. Baginya bekerja dengan hati adalah hal yang paling penting. “Banyak lembaga-lembaga sosial yang masuk ke tempat ini. Namun setelah mengambil data atau jadwal programnya selesai, mereka keluar begitu saja,” ujar Kartono tampak sedih.
Kartono berharap banyak pihak yang mau membantu perpustakaan kecilnya ini agar jangan sampai tutup. Kartono juga berharap agar perpustakaan ini dapat menjadi tempat belajar dan penyadaran bagi para PSK. “Minimal mereka sadar resiko pekerjaanya, sehingga dapat lebih berhati-hati. Syukur-syukur mereka mau keluar dari dunia hitam ini,” lanjutnya.
Kartono sadar bahwa TBKK kalah bersaing dengan televisi dan permainan PlayStation yang digemari anak-anak. Namun, dia sungguh yakin bahwa TBKK ini akan dilirik dan disinggahi orang. “Fungsi buku sebagai jendela dunia tidak bisa digantikan oleh apapun,” katanya mantap. Mimpi paling indah bagi Kartono adalah, “Saya ingin semua anak-anak di sini dapat melanjutkan studi hingga perguruan tinggi.” Kartono ingin agar rantai kehidupan antara si anak dengan lokalisasi tempatnya tumbuh dapat terputus tanpa bekas.
Tantangan terbesar sebenarnya bukan pada pengelolaan TBKK, tapi pada rendahnya minat baca dan kurangnya penghargaan pada perpustakaan. Kepala Badan Arsip dan Perpustakaan Kota Surabaya Arini Pakistyaningsih mengatakan bahwa hanya 1% dari 2,8 juta warga Surabaya yang tercatat pernah berkunjung ke perpustakaan kota (Kompas, 21/05).
Karya Kartono dengan taman bacaannya telah memberikan kita semua pelajaran bahwa untuk melakukan sebuah perubahan hanya butuh keyakinan dan kerja keras.

Abner Paulus Raya

Tidak ada komentar:

Kirim email


Nama
Alamat email
Subject
Pesan
Image Verification
Please enter the text from the image:
[ Refresh Image ] [ What's This? ]

Klik Dapat Dollar

Menjadi member Paid To Click

Klik Dapat Dollar