Momentum Bangkitnya Sekolah Katolik

Pendidikan Katolik sedang menjadi sorotan umat sehubungan dengan diterbitkannya Surat Gembala Tahun Pendidikan oleh Uskup Surabaya Mgr Sutikno Wisaksono.
Harmoni melacak langsung ke sumbernya, apa sesungguhnya keprihatinan yang mendasarinya terbitnya Surat Gembala ini.
Berikut petikan wawancara serius tapi santai bareng Uskup Sutikno setelah disunting seperlunya :

T: Apa yang bisa diandalkan dari pendidikan Katolik?
J: Dalam pendidikan Katolik yang bisa diandalkan adalah pendidikan nilainya. Kita perlu “developing virtue in children through parents and teachers colaboration”. (mengembangkan kebajikan melalui kolaborasi orangtua dan guru – Red). Nilai-nilai Katolik itu harusnya tidak hanya di dapat di sekolah tapi juga di rumah.
Di Filipina, orangtua dan guru saling mendukung. Di sana orangtua diperbolehkan berkunjung ke sekolah untuk berdiskusi dengan guru soal perkembangan anaknya. Jadi orangtua ke sekolah bukan karena panggilan sekolah saja. Di sini, kalau orangtua ke sekolah itu berarti anaknya nakal sekali atau pintar sekali.
T: Kalau pendidikan nilai yang diandalkan, lantas apa harapannya?
J: Sekolah Katolik dan orangtua (wali murid) harus bekerja sama menciptakan model pendidikan yang integral. Pendidikan harus bisa membuat seseorang menjadi lebih manusiawi. Otaknya terisi, akhlak dan hatinya juga.
T: Baru kali ini Keuskupan Surabaya menetapkan satu tahun khusus sebagai Tahun Pendidikan. Menurut kami ini sangat strategis dan progresif. Apa sebenarnya latar belakang munculnya Surat Gembala kemarin?
J: Sejak tahun 2000-an sekolah Katolik mengalami kemunduran dan penurunan mutu. Di desa-desa banyak sekolah yang kembang-kempis dan harus ditutup. Pertama, banyak sekolah Katolik di desa yang mengalami penurunan karena jumlah anak sedikit, apalagi ditambah kemunculan sekolah-sekolah negeri yang bagus. Kedua, minus guru berdampak juga terhadap menurunnya kualitas guru. Ketiga, fasilitas gedung juga 10 tahun juga mulai rontok. Keempat, minus misi.
T: Indikator pertama sampai ketiga tadi jelas, tapi yang keempat yaitu minus misi, indikatornya apa?
J: Kehadiran sekolah Katolik di suatu daerah kadang tidak tepat. Sumbangannya terhadap masyarakat juga tidak jelas. Minus misi itu bukan berarti menurunnya jumlah yang dibaptis tapi sumbangsih ke masyarakat.

Di tengah-tengah wawancara, tiba-tiba Uskup Sutikno meraih alat pembasmi nyamuk berbentuk raket. Sambil mengayun-ayunkan tangan menangkal nyamuk, beliau bercanda, “Ini pasti nyamuk se-kelurahan”.
Arek Suroboyo asli ini memang sangat tipikal gaya bicaranya. Ceplas-ceplos, kritis dan diselingi guyonan. Pengalamannya sebagai Rektor Seminari Tinggi Interdiosesan Giovanni Malang menumbuhkan keprihatinan pribadi terhadap masalah pendidikan.

T: 46 sekolah minus itu semua di bawah Yayasan Yohanes Gabriel (YYG)?
J: Ya. YYG punya 150 sekolah yang perputaran uangnya sekitar 40 milyar setahun untuk gaji guru dan lain-lain. Jadi ini sebenarnya usaha besar tetapi lama-kelamaan menjadi tak terkendali. Di regio 1 wilayah surabaya, gaji guru bisa dicukupi. Lha yang regio 2 sampai 4 itu memprihatinkan. Sejak tahun 2001 gajinya sudah sangat rendah. Di luar regio 1 standar gaji guru masih pakai peraturan 2003. Kasihan juga beberapa sekolah Katolik yang gemuk (“kaya” – Red) yang dijadikan sapi perah untuk menghidupi sekolah-sekolah minus ini.
Sekolah minus ini harus diangkat dari keterpurukan. Mereka punya peran penting mendidik generasi mendatang dengan pendidikan nilai manusia yang universal. Disiplin, jujur, tekun, teliti. Ini ciri khas sekolah Katolik.
Saya pernah ngobrol dengan polisi Islam yang pernah sekolah di SMP Katolik Walung Jayeng di Jatijejer. Dia bilang, “Romo, saya pernah bersekolah di sekolah Katolik, pernah dijemur karena ketahuan nyontek”. Sampai sekarang dia terkesan soal kedisiplinan sekolah Katolik.
Makanya Tahun Pendidikan ini akan menjadi momentum bagi kita: bangkitnya sekolah-sekolah Katolik untuk pendidikan generasi mendatang. Terutama bagi nasib guru yang memprihatinkan.
Keprihatinan ini sudah dari dulu, sebelum menjadi Uskup. Setiap kali saya memberi retret pada para guru, saya selalu pesan: “yang sabar, ya”. Biasanya mereka menjawab “nggih mugi-mugi romo dadi Uskup”. Eh kok malah jadi Uskup beneran. (tergelak) Ya, hitung-hitung bayar utang (tergelak lagi)
T: Berarti sebetulnya ini juga keprihatinan pribadi Monsinyur?
J: Ya. Ada keprihatinan pribadi sebetulnya. Setiap kali mengisi retret guru, yang saya dengar hanya penderitaan. Kasihan sekali. Mereka kan harapan gereja.
Saya kira ini harus diseriusi. Jadi Tahun Pendidikan ini bukan hanya untuk YYG. Tetapi kita mau bicara lebih serius mengenai peran sekolah-sekolah Katolik dalam mendidik generasi mendatang.
Saya mau bicara tanggal 25 Mei besok di depan anggota Majelis Pendidikan Katolik (MPK) Keuskupan, agar mereka pikir bahwa tantangan pendidikan ini juga milik mereka.
Kadang, tiap kali bicara mutu selalu ada yang dikorbankan yaitu biaya.
Dulu ketika membangun sekolah, perlu dingklik (meja kecil – Red), maka ada “sumbangan dingklik”. Kemudian butuh meja sehingga ada “sumbangan meja.” Lalu bangun gedung butuh “sumbangan uang gedung”. Tapi lama-kelamaan menjadi tidak jelas. Muncul yang namanya Sumbangan Pendidikan, Sumbangan Pemerataan Pendidikan, Sumbangan Penunjang Pendidikan, sumbangan sukarela, dll. Itu menjadi tidak profesional. Itu tidak ada di dalam manajemen pendidikan karena yayasan tidak menunjukkan transparansi pada walimurid. Juga ada model subsidi silang, tetapi seberapa besar yang digunakan tidak ada kejelasannya.
Kalau mereka tidak bisa melakukan transparansi paling tidak punya hati sedikit lah. Dahulukan umat Katolik yang memang perlu dibantu. Saya akan buatkan program “Umat Katolik dan Paroki Peduli Sekolah”.
T: Kenapa memilih model kolekte kedua pada Sabtu-Minggu pertama tiap bulan?
J: Yang sementara paroki bisa menyumbang adalah kolekte kedua di minggu pertama. Ini adalah semacam utang keadilan: mau menggenapi 100% utang di regio 2, 3, 4 sekaligus menggenapi Rp 425 juta perbulan untuk gaji guru. Untuk awal kita bisa bantu 80% (naik dari 60%). Ini saja sudah banyak yang senang. Saya meminta romo-romo paroki untuk memanusiakan guru. Disapalah, mereka ini kan dipakai oleh Tuhan
T: Monitoring terhadap model ini bagaimana?
J: Akan dievaluasi setelah 3 bulan. Bila itu dirasa kurang akan ditingkatkan. Bukan lagi kolekte kedua tapi kolekte pertama. Kalau kolekte pertama kurang akan diambil kolekte satu kali hari minggu. Sumbangan dan kolekte akan diumumkan di tiap gereja
T: Di setiap Paroki pasti ada sekolah. Kira-kira apa subsidi dari paroki untuk sekolah?
J: Ya. Selama ini memang jarang dipakai untuk sekolah. Maka sekarang dibuat gerakan bersama. Gerakan solidaritas berbentuk finansial.
T: Apakah nanti setelah mendapat bantuan, sekolah diwajibkan untuk membuat laporan keuangan yang transparan?
J: Sejak YYG dipegang oleh Rm Budi Hermanto, semua regio mulai tertib masalah keuangan dengan menerapkan sistem transparasi dan akuntabilitas. Harus transparan artinya tidak menimbulkan kecurigaan, sedangkan akuntabilitas artinya dapat ditelusur. Artinya kalau ditanya dari mana sumber uangnya dapat menjawab.
T: Menurut Monsinyur, strategi yang pertama adalah penguatan finansial sekolah minus. Kedua solidaritas terhadap guru-guru. Yang ketiga adalah program paroki peduli. Nah, di bagian mana umat bisa langsung terlibat?
J: Sementara ini hanya lewat kolekte minggu pertama tiap bulan itu. Juga perlu ditumbuhkan kesadaran agar orangtua mau menyekolakan anaknya di sekolah Katolik.
T: Di Harmoni edisi Juni ini kami mengangkat dua hal yaitu harapan dan tantangan bagi pendidikan Katolik. Menurut Monsinyur apa sebenarnya harapan dan tantangan kita?
J: Harapannya, sekolah Katolik kembali pada ke-khas-annya yaitu pendidikan keutamaan hidup. Bukan hanya intelektualnya saja. Bukan hanya cerdas secara ilmu tetapi cerdas dalam kehidupan.
Sekolah katolik harus mendidik muridnya menjadi seorang pemimpin atau wirausahawan dengan menanamkan rasa percaya diri dalam menguasai segala bidang. Orangtua harus dilibatkan.
Tantangannya, sekolah Katolik harus berani bersaing kualitas dengan sekolah lain.
T: Monsinyur punya pesan untuk keluarga Katolik soal pendidikan?
J: Sekolah Katolik mahal jangan dijadikan alasan dan beban berat dalam keluarga. Sekolah Katolik ini butuh dana untuk menjaga kualitas pengajaran dan hasil lulusan. Keuskupan sedang mengusahakan untuk mensubsidi sekolah Katolik agar tidak membebani keluarga.
Sekolah Katolik perlu dipertimbangkan sebagai tempat yang baik untuk pendidikan anak sampai SMA. Ini wujud kepedulian kita pada pendidikan Katolik.
Sekolah Katolik masih pantas untuk diperjuangkan. Kalau di tingkat perguruan tinggi silakan pilih yang bagus-bagus.
Saya juga sedang memikirkan usaha pengembangan sekolah kejuruan (SMK) agar juga diminati.
Sebelum berpamitan, Harmoni minta waktu khusus untuk sessi pemotretan. Ternyata gayung bersambut. Hasilnya; Uskup bergambar di sebelah ikon Wisma Keuskupan berupa jangkar besi.

Tidak ada komentar:

Kirim email


Nama
Alamat email
Subject
Pesan
Image Verification
Please enter the text from the image:
[ Refresh Image ] [ What's This? ]

Klik Dapat Dollar

Menjadi member Paid To Click

Klik Dapat Dollar