Yayasan Pendidikan Katolik Harus Dikelola Profesional

Ada tiga hal yang menjadi sorotan Christiana Trisnaningrum (43) tentang pendidikan Katolik. Ketiga hal itu adalah mutu, kedisiplinan dan mental pendidiknya. Guru Fisika di SMA St Yusup, Karang Pilang yang akrab disapa Bu Christin ini merasa ketiga hal itu harus terus-menerus diperbaiki.
Soal mutu dan kedisplinan, Christin membandingkannya dengan sekolah-sekolah Katolik di masa lampau. Sekolah Katolik jaman dulu secara kualitas dan kedisiplinan sangat diacungi jempol oleh sebagian banyak orang. Dia mencontohkan beberapa SMAK ternama di Yogjakarta. Masyarakat awam sangat meyakini bahwa lulusan dari sekolah-sekolah itu relatif gampang untuk melanjutkan ke universitas negeri sekelas UGM (Universitas Gadjah Mada). Singkatnya, lulusan sekolah Katolik dikenal sebagai “langganan” bagi kampus-kampus negeri yang bermutu.
Mengenai tantangan, perempuan kelahiran Ponorogo, 3 Desember 1965 ini menuturkan bahwa sekolah Katolik harus lebih siap menghadapi persaingan dengan sekolah-sekolah swasta lainnya. Sekolah Katolik harus bisa berlomba-lomba untuk dapat memberikan yang terbaik bagi masyarakat. Kesiapan menghadapi persaingan juga ditentukan oleh profesionalitas pengelolaan yayasan pendidikan Katolik. Warga Kedung Turi Permai ini merasa kurang setuju bila yayasan dipegang oleh seorang Romo. “Romo-romo sudah punya rutinitas pekerjaan yang berat di paroki, jadi baiknya dipegang oleh awam atau diserahkan ke ordo atau tarekat saja. Mungkin dengan begitu profesionalitas pengelolaan bisa ditingkatkan,” terangnya.
Tentang dekadensi (kemerosotan) mutu sekolah Katolik, Christin mencontohkan di daerah asalnya, Ponorogo, banyak sekali sekolah-sekolah Katolik yang sudah minim jumlah muridnya. Hal itu terjadi di daerah stasi maupun paroki. “Saya khawatir sekolah Katolik semakin lama akan semakin merosot kalau tidak dapat mempertahankan mutu,” paparnya.
Kekuatiran lain dari umat Paroki St Yusup Karang Pilang ini adalah tentang perkembangan teknologi informasi. Ia merasa was-was dengan keberadaan internet yang bisa diakses kapanpun dan dimanapun oleh siswa. “Untungnya sampai sekarang di sekolah kami belum pernah terjadi hal yang aneh-aneh”.
Dua hikmah yang dirasakan oleh ibu dari Reinardus Adrian Krisnanda, selama 11 tahun menjadi guru adalah kebahagiaan dalam mendidik murid-muridnya. “Saya bahagia sebab yang saya hadapi itu bukan benda mati, tapi “benda” hidup. Dari murid-murid saya belajar mencintai hidup dan mengamalkannya.” Hal kedua adalah soal gaji. “Menjadi guru jaman sekarang bukan untuk mencari gaji tinggi, tapi pengabdian. Itu lebih membanggakan daripada kekayaan duniawi,” pungkasnya.

Tidak ada komentar:

Kirim email


Nama
Alamat email
Subject
Pesan
Image Verification
Please enter the text from the image:
[ Refresh Image ] [ What's This? ]

Klik Dapat Dollar

Menjadi member Paid To Click

Klik Dapat Dollar