Doa Bapa kami merupakan salah satu warisan yang paling berharga dari Yesus, guru kita. Doa ini mengandung tujuh permohonan yang terbagi menjadi dua bagian. Bagian pertama untuk memuliakan Tuhan (Mat. 6:9-10) sedangkan bagian kedua untuk kebutuhan kita yang berdoa (Mat. 6:11-13). Doa ini mengandung penyembahan, penyerahan diri, pertobatan dan permohonan sekaligus.
Namun, betapapun indahnya suatu doa, yang terpenting adalah bagaimana kita meresapkannya, sehingga kata-kata yang diucapkan bukan hanya hafalan tetapi sungguh keluar dari hati. Santa Teresa dari Avila memberikan tips yang sangat berharga, “Arahkanlah matamu ke dalam batin dan lihatlah di dalam dirimu. Engkau akan menemukan Tuhanmu”.
Baiklah kita menghayati tiap kata dalam doa yang sempurna ini
Bapa, atau “Abba” dalam bahasa Aramaic adalah panggilan yang erat seorang anak kepada ayahnya. Setiap kita mengucapkan kata “Bapa”, selayaknya kita mengingat bahwa kita ini telah diangkat oleh Allah Bapa menjadi anak-anak-Nya oleh jasa Kristus Tuhan kita. Saat kita katakan “Bapa” resapkanlah bahwa kita berada dalam hadirat Allah yang Maha Mulia, namun juga yang Maha Pengasih. Ia yang lebih dahulu rindu kepada kita, sehingga kita diberikan kerinduan untuk berdoa, dan memanggil nama-Nya.
Bapa Kami: Alangkah baiknya, jika dalam mengucapkan doa ini kita membayangkan bahwa kita berada di antara para rasul pada saat pertama kali Yesus mengajarkan doa ini kepada mereka. Bayangkan bahwa kita memandang Kristus yang mengajar kita untuk memanggil Allah sebagai Bapa kami, karena Kristus tidak hanya mengangkat “saya saja” menjadi saudara angkat-Nya, tetapi juga orang-orang lain yang dipilih-Nya, yaitu anggota-anggota Gereja.
Yang ada di surga: Kita mempunyai seorang Bapa di surga, yang mengasihi kita sedemikian rupa, sehingga tak menyayangkan Anak-Nya sendiri untuk wafat bagi kita, supaya dosa-dosa kita diampuni dan kita dapat mengambil bagian dalam kehidupan ilahi-Nya.
Dimuliakanlah nama-Mu, datanglah Kerajaan-Mu: “Dimuliakanlah nama-Mu, ya Tuhan, dalam keluargaku, pekerjaanku, perkataanku, segala sikapku….; Jadilah Engkau Raja dalam rumahku, pekerjaanku, studiku, dalam pikiran dan perbuatanku.” Ini mengingatkan kita agar kita jangan mencari dan mengejar kemuliaan diri sendiri dalam segala sesuatu, karena segala sesuatu yang ada pada diri kita sesungguhnya adalah milik Tuhan dan harus kita gunakan untuk kemuliaan nama Tuhan.
Jadilah kehendak-Mu di atas bumi seperti di dalam surga: Ketaatan dan penyerahan diri kepada Tuhan mensyaratkan kerendahan hati. Sering manusia berkeras dalam memohon sesuatu kepada Allah, namun Yesus sendiri mengajarkan kepada kita untuk berserah kepada Allah Bapa. “…tetapi bukanlah kehendak-Ku melainkan kehendak-Mulah yang terjadi.” (Luk 22:42).
Berilah kami rejeki pada hari ini: Yesus mengingatkan kita bahwa rejeki dan nafkah kita, “our daily bread“, adalah berkat dari Tuhan. “Ingatkanlah aku bahwa semua rejeki yang kuterima adalah semata-mata berkat-Mu, dan bukan milikku sendiri.” Maka kitapun harus teringat pada orang lain, terutama mereka yang berkekurangan, agar merekapun beroleh berkat Tuhan. Santo Agustinus mengkaitkan “our daily Bread” dengan Ekaristi. Ini mengingatkan kita agar tidak semata-mata mencari rejeki duniawi, tetapi juga berkat rohani. Berkat rohani yang tertinggi maknanya adalah Ekaristi, saat kita boleh menerima Kristus Sang Roti Hidup. Di sini kita diingatkan oleh para Bapa Gereja untuk memohon kehadiran Yesus, Sang Roti Hidup, di dalam hidup kita setiap hari. Dan jika “setiap hari” ini diucapkan setiap hari, maka artinya adalah selama-lamanya.
Dan ampunilah kesalahan kami seperti kamipun mengampuni yang bersalah kepada kami: Dikatakan di sini bukan “ampunilah kami, seperti kami akan mengampuni yang bersalah kepada kami.” Artinya, Tuhan akan mengampuni kalau kita terlebih dahulu mengampuni orang lain. Maka mengampuni orang lain sesungguhnya bukan saja demi orang itu, tetapi sebaliknya, demi kebaikan diri kita sendiri: supaya kita-pun diampuni oleh Tuhan.
Dan janganlah masukkan kami ke dalam pencobaan tetapi bebaskanlah kami dari yang jahat: Pencobaan yang datang pada kita bisa bermacam- macam: ketakutan akan masa depan, sakit penyakit, masalah keluarga, pekerjaan, dan seterusnya. Namun bisa juga merupakan ‘pencobaan rohani’, terutama godaan untuk menjadi sombong, karena merasa telah diberkati dengan aneka karunia dan kebajikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar