Rumah Mewah Belum Tentu Indah

Burung-burung mempunyai sarang, serigala mempunyai gua, tetapi anak manusia tak punya tempat untuk membaringkan hatinya. Demikian sepenggal puisi “Laut” karya seniman Santo Yuliman, yang menjadi inspirasi bagi Peter Megantara (35), konsultan desain arsitektur dalam memaknai sebuah rumah. “Manusia di dunia ini punya dimensi ruang, seperti burung yang punya sarang dan serigala yang punya liang. Begitu pula manusia perlu rumah untuk jenak setelah beraktivitas seharian,” ujar ayah dari Ignasius Mahatma Gabriel  (2).

Berkesempatan untuk ngobrol intens dengan Harmoni, Peter menjelaskan bahwa bentuk fisik dan isi rumah dapat mencerminkan apa yang menjadi latar belakang (profesi, suku/ras, agama) sekaligus latar depan (harapan dan cita-cita) sebuah keluarga. Maka dalam hal mendesain rumah, seorang arsitek harus mampu menerjemahkan kebutuhan dan keinginan calon penghuni. Jika mungkin, rumah itu harus sangat khas sehingga bila rumah itu akan dijual, maka desain rumah perlu dirombak lagi. “Berbicara tentang rumah adalah berbicara tentang keluarga, tentang manusianya,” tegasnya.

Lantas, bagaimana jika dalam satu rumah ada dua keluarga? Bagaimana dengan “keluarga besar” yang tinggal dalam satu rumah? Saat pertanyaan-pertanyaan itu diajukan kepada Peter, ia menyarankan untuk memulai dari sesuatu yang ideal. Keluarga muda sebaiknya memulai “perjalanannya” dengan tinggal terpisah dari orangtua, kecuali karena alasan tertentu. Faktor kemandirian menjadi alasan utama bagi keluarga muda agar dapat mengusahakan tempat tinggalnya sendiri. Setidaknya mereka memiliki otoritas atas kehidupan keluarganya sendiri, misalnya dalam hal mendidik anak.

“Kalau tinggal dengan orangtua akan ada kecenderungan untuk mencari bantuan atau penengah ketika menghadapi konflik dalam rumah tangga,” ujar Peter yang masih aktif dalam komunitas orang muda Katolik di Keuskupan Surabaya ini. Baginya, konflik dalam keluarga adalah kesempatan untuk belajar guna membangun tingkat hubungan yang lebih tinggi.

Lebih lanjut Peter menjelaskan, kalau pun keterbatasan dana menjadi penghambat bagi keluarga muda untuk segera mengusahakan tempat tinggalnya sendiri dan masih harus bergabung di rumah orang tua, setidaknya disediakan dapur yang terpisah. “Umumnya masalah muncul dari dapur. Awalnya sepele, tapi lama kelamaan bisa menyulut konflik yang lebih besar,” ujar suami dari Maria Milagrosa (29). Yang dimaksud dengan “dapur” adalah masalah ekonomi rumah tangga.

Dilihat dari sudut pandang ilmu arsitektur, Peter menjelaskan bahwa sebuah rumah yang dibangun pasti dilandasi oleh filosofi tertentu. Filosofi itu sendiri berakar dari sebuah konsep yang matang tentang makna keluarga. Sebuah keluarga yang hendak membangun sebuah rumah, seharusnya sudah memiliki gambaran kemana konsep keluarga itu diarahkan.

Konsep itu akan mempengaruhi bentuk dan penataan ruang dari rumah yang akan dibangun. Contoh, konsep tentang cara mendidik anak dapat mempengaruhi penataan ruang tidur anak. “Orangtua yang ingin agar anaknya belajar mandiri, mungkin akan membuatkan kamar tidur yang luas lengkap dengan meja belajar. Ada juga keluarga yang menempatkan meja belajar untuk semua anggota keluarga. Dua pilihan ini sama benarnya, tergantung konsep orangtua. Termasuk juga pilihan menaruh televisi atau kamar mandi pribadi di kamar anak. Semua punya konsekuensi,” ujar arsitek yang sempat mengenyam pendidikan di bangku seminari menengah St. Vincentius A Paulo, Garum ini mencontohkan.

Konsep itupun dapat berubah seiring berjalannya waktu dan dengan berbagai alasan. Renovasi rumah yang dilakukan berkali-kali dapat menggambarkan dua hal, yaitu terjadinya perubahan konsep keluarga atau justru karena konsep itu sedang dicari.

“Kita bisa buktikan, sekalipun bentuk bangunan di komplek perumahan nyaris semua sama, lambat laun akan nampak perbedaan antara satu rumah dengan rumah lain yang mencerminkan konsep masing-masing keluarga yang tinggal di dalamnya,” tutur pria yang pernah mengisi rubrik konsultasi rumah “wastu” di halaman Griya di Jawa Pos Minggu selama 3 tahun ini.

Bentuk rumah modern saat ini adalah bukti bahwa konsep tentang keluarga jaman sekarang telah berubah. Peter mencontohkan, dalam budaya Jawa, letak dapur selalu di belakang dan tidak boleh terlihat dari luar. Dapur adalah “wilayah kekuasaan”  perempuan pada jaman itu. Semakin modern, dapur tidak lagi harus ada di belakang, bisa menyatu dengan ruang yang lain. Ini berarti ada cara pandang baru terhadap sosok perempuan.

Tentang konsep rumah indah, warga paroki St. Stefanus Tandes Surabaya yang gemar dengan bacaan-bacaan filsafat ini menggambarkan bahwa rumah besar dan mewah belum tentu dapat memancarkan keindahan.

Berpedoman pada sebuah motto dari St. Thomas Aquinas “Pulchrum Splendor Est Veritatis” (keindahan adalah pancaran akan kebenaran), Peter meyakini bahwa kehidupan keluarga yang harmonis dengan sendirinya akan memancarkan keindahan, sekalipun dengan bentuk rumah yang sederhana.

Ia menjelaskan, dalam dunia arsitektur, keindahan rumah berikut dengan interiornya bukan ditentukan dari mahalnya material atau bentuk yang neko-neko. Menurutnya, keindahan akan muncul dari rumah yang dibangun dengan 'benar'.

Maka, tugas kita adalah mencari kebenaran, bukan keindahan. Keindahan akan datang sendiri setelah kebenaran ditemukan. Ayat kitab suci dari Injil Matius 6:33, “tetapi carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semua itu akan ditambahkan kepadamu” menjadi landasan baginya untuk memperkuat pandangan ini.

Motto dan ayat inilah yang pada menjadi pedoman bagi Peter dalam setiap pekerjaannya. Bersikap jujur, tulus dan berusaha melakukan yang terbaik menjadi prinsip hidupnya. Ia percaya bahwa Tuhan akan selalu memberi jalan dan rejeki jika perbuatan-perbuatan yang benar sudah dilakukan.

Di ujung percakapan, Peter berharap agar setiap keluarga muda mulai merancang sebuah konsep berumahtangga sebelum membeli atau merancang rumah baru. “Agar ada keselarasan antara bentuk rumah dan fungsinya serta interaksi antar pribadi yang tinggal di dalamnya,” ujarnya.

Rumah memang haruslah berdiri di atas pilar kokoh yang disebut kepercayaan dan komitmen bersama. Pasutri yang tinggal di dalam rumah  beratap cinta dan berdinding keharmonisan niscaya akan menjadi keluarga teladan, seperti Keluarga Nazareth. (*)

Agnes Lyta Isdiana

 

Tidak ada komentar:

Kirim email


Nama
Alamat email
Subject
Pesan
Image Verification
Please enter the text from the image:
[ Refresh Image ] [ What's This? ]

Klik Dapat Dollar

Menjadi member Paid To Click

Klik Dapat Dollar