Ayam-ayam itu mendapat rumah yang layak, sementara pemiliknya sendiri harus tinggal dalam rumah rendah, sempit dan pengap. Suara TV dan radio yang memutar musik pop terdengar jelas berbaur dengan lenguh ayam-ayam itu. Saat mengintip ke dalam salah satu rumah, tampak berjejal barang-barang yang ditempatkan sekenanya. Yang paling mencolok adalah ranjang dan TV yang tengah menyala. Di mana dapur dan kamar kecil yang umumnya “satu paket” dengan rumah? Jangan tanyakan itu karena petak rumah itu pun masih disekat untuk kamar orang lain. Bau kotoran ayam merebak di sepanjang jalan setapak itu bercampur dengan bermacam aroma yang muncul dari dalam rumah.
Di rumah paling ujung di bawah beton-beton itu, tampak pemandangan yang mencekat. Kakak-beradik sedang bermain kejar-kejaran dengan riang. Mereka tertawa dan berteriak-teriak gembira dengan permainan yang mereka ciptakan sendiri. Sang adik, sembari merangkak berusaha mengejar sang kakak yang berputar-putar mengitari seutas kain yang diikatkan persis pada beton di atasnya. Dilihat dari bentuknya, kain itu sengaja dipasang sebagai tempat tidur ayunan untuk menidurkan bayi. Kilatan blits kamera tidak mengganggu keceriaan kakak-beradik yang orangtuanya entah sedang ada dimana ini.
Rupanya itulah dunia mereka. Dunia yang sempit dan pengap. Sebidang “pelataran” kecil mereka manfaatkan untuk mereguk tawa dan canda di masa kanak-kanak.
Atap rumah dua anak ini adalah alas jalan tol Surabaya-Gempol yang membentang di atas buzem (danau buatan penampung air hujan) Kalianak di Kelurahan Dupak Kecamatan Asemrowo. Buzem itu ditimbun tanah dan dijadikan kampung dadakan oleh penduduk sekitar pada sekitar tahun 1980-an. Kampung itulah yang sekarang kita kenal sebagai lokalisasi Bangun Sari (biasa disebut lokalisasi Kremil). Keberadaan rumah-rumah itu jelas ilegal mengingat peraturan yang melarang mendirikan rumah di bantaran sungai, apalagi di bawah jalan tol.
Dua kakak-beradik itu masih terus bermain sementara pikiran ini menerawang entah kemana. Agak susah membayangkan bagaimana masa depan mereka. Bermacam pertanyaan aneh berkelebatan di kepala. Bagaimana situasi rumah jika malam hari? Bagaimana jika teman-taman sekolah mereka ingin berkunjung ke rumahnya? Atau bagaimana mereka akan menuliskan alamat rumah di buku rapor mereka? Lebih mendasar lagi, bagaimana mereka akan bermain dan belajar, melewati masa kanak-kanak yang (mestinya) indah, di dalam rumah yang tak layak itu? Di mana negara ketika mereka butuh diperhatikan?
Ah, pertanyaan-pertanyaan itu mestinya tak perlu ditanyakan. Bukankah yang mereka butuhkan adalah semakin banyak orang yang tahu kondisi mereka dan kelak menolong mereka?
Yudhit Ciphardian
Tidak ada komentar:
Posting Komentar