Hak hidup layak menjadi barang langka yang hanya dapat dinikmati sebagian orang saja. Ketika tawaran hidup semakin menggila dan banyak orang berbondong-bondong menjemputnya, sebagian orang itu bahkan tidak memiliki pilihan apapun karena harus berjuang untuk bertahan dalam himpitan hidup yang mereka alami. Mereka menempati sudut-sudut kota yang tersisa dan menciptakan ruang dalam segala keterbatasan yang mereka miliki. Umat Katolik di Wilayah Carolus Borromeus Lingkungan 3 (CB3) Paroki Kelahiran Santa Perawan Maria (Kelsapa) Kepanjen, adalah sedikit dari sebagian orang itu.
Secara istimewa, Harmoni memperoleh kesempatan untuk berkunjung dan berbagi harapan dengan mereka atas undangan Elisabeth Retno (32) seorang aktivis gereja dan pegiat sosial. Diawali perjumpaan dengan pasutri sesepuh umat yang aktif dalam kegiatan pelayanan sosial, Harmoni membuka perjalanan istimewa ini.
Umat CB3 di Kermil
Luas Lingkungan 3 di Wilayah Carolus Borromeus sama dengan luas satu wilayah. Hampir 90% umat di sini adalah pendatang. Sebagian besar mereka berasal dari luar Jawa. Mereka menempati tanah kosong milik Jasa Marga yang berada tepat di bawah jalan tol Surabaya-Gempol, di sepanjang bantaran sungai Greges, Buzem Moro Krembangan. Daerah ini dikenal dengan sebutan Kampung 'Seribu Satu Malam' karena bercampur dengan lokalisasi Bangunsari (juga dikenal dengan Kermil) yang selalu gemerlap tiap malam. Sebagian dari mereka juga menempati daerah di seberang sungai, tanah bekas buzem Kalianak yang telah ditimbun. Daerah ini dikenal dengan Kampung Tambak Dalam Indah. Untuk mempermudah akses, kedua kampung yang berseberangan ini dihubungkan dengan gethek, alat transportasi kayu seperti kapal, yang dilengkapi dengan tali tambang yang melintang di atas sungai untuk membantu menjalankannya. Orang-orang menyebutnya tambangan. Perkampungan ini cukup padat.
Beberapa rumah tampak dibangun seadanya dengan pembatas tripleks yang tidak permanen. Rumah tanpa jendela yang berukuran sangat minim dan timbunan sampah di atas genangan air sungai memberi gambaran sanitasi yang tidak sehat. Kampung-kampung ini terbentuk antara tahun 1980-1990.
Mayoritas warga adalah penghuni tidak tetap yang menyewa tempat tinggal di daerah tersebut. Meski beberapa warga sering berpindah-pindah tempat tinggal, sebagian warga merupakan penghuni lama yang telah bertahun-tahun bertahan di kawasan tersebut.
Brigitta Rusia Wati (55) adalah salah satu warga yang telah sembilan tahun tinggal di Kampung 'Seribu Satu Malam'. Ibu dari Stefanus Anugraha Rusdiawan (19) dan Rizky Herliana Wati (12) ini dulu sempat bekerja di sebuah pabrik kayu. Ketika mengalami PHK secara masal, ia kemudian mencari nafkah dengan berjualan makanan. Sesekali ia berjualan di depan gereja, tetapi untuk membiayai kebutuhan hidup sehari-hari, ia berjualan tahu tek di depan rumah. Dengan bermodalkan 50.000 rupiah, ia mendapat keuntungan sekitar 20.000- 30.000 rupiah setiap hari.
Pendapatan yang jauh dari cukup untuk membiayai putra-putrinya mengenyam pendidikan di bangku sekolah. Wawan, putra pertamanya terpaksa harus putus sekolah ketika akan melanjutkan ke jenjang SMA.
Tak punya akta kelahiran, tak bisa sekolah
Kesulitan bersekolah bagi anak-anak di Kermil bukan hanya menyangkut persoalan biaya tetapi juga persoalan kelengkapan identitas. Warga yang sebagian besar pendatang seringkali tidak dilengkapi dengan kelengkapan identitas seperti akta kelahiran, akta perkawinan, kartu tanda penduduk (KTP), dan kartu susunan keluarga (KSK). Mereka mengalami kesulitan secara administratif ketika akan mendaftarkan anak untuk bersekolah karena ketiadaan kelengkapan identitas.
Ruby Herdelina (32), ibu dari Dessy (4) dan Christinawati (8 bulan) mengatakan akan menitipkan putri pertamanya ke Medan, ke rumah orang tuanya, bila hingga tahun depan tidak ada kepastian anaknya bisa masuk sekolah dasar lantaran tidak ada akta kelahiran. Kesulitan administrasi ini juga dibenarkan oleh sesepuh di CB3 yang enggan ditulis namanya. “Kebanyakan warga kesulitan untuk mendaftarkan anak masuk sekolah karena tidak memiliki akta kelahiran. Anak tidak memiliki akta kelahiran karena orangtua tidak memiliki akta perkawinan, KTP, dan KSK. Beberapa warga mengalami kesulitan ketika harus berhubungan dengan birokrasi pemerintahan karena biaya untuk mengurus pembuatan KTP dan KSK tidak sedikit.
Permintaan pembuatan akta perkawinan di Gereja pun mengalami kesulitan karena ketiadaan surat baptis dari pihak pasangan dan status perkawinan yang tidak dilakukan di gereja, seperti nikah siri, menyebabkan perkawinan tidak tercatat di kantor catatan sipil,” imbuhnya.
Ketua Lingkungan CB3, FX. Sandoyo (52) juga punya keprihatinan akan masalah administrasi kependudukan ini. Baginya, jika masalah legalitas ini belum terpenuhi, sulit bagi warga untuk mengakses hidup yang lebih layak. “Saya berharap gereja atau pihak-pihak lain yang punya perhatian terhadap masalah ini bisa ikut membantu masalah warga urban tanpa identitas ini,” ujar ketua yang gemar blusukan mengunjungi warganya ini. Sandoyo juga prihatin dengan rendahnya minat umat lingkungannya untuk aktif dalam kegiatan lingkungan. “Mungkin juga karena warga Lingkungan sini terlalu sibuk cari uang. Tapi, harus diakui gereja Katolik kurang intensif mendekati umatnya. Dibanding gereja lain kita kalah langkah,” lanjutnya.
Persoalan tidak berhenti sampai disitu, umat Katolik di lokalisasi Kermil sering mengalami kesulitan ketika ingin beribadah. Lokasi Gereja yang jauh menjadi tak terjangkau karena untuk datang ke Gereja mereka butuh biaya transportasi yang tidak sedikit.
Albertina Wora Deghu (35), ibu dari Yasinta Julita (9) dan Manasye Mardian (4) sering kebingungan ketika putra-putrinya merengek ingin ke gereja lantaran untuk mencapai gereja ia harus naik becak. “Kalau pas tukang becaknya kenal, dikasih 15.000 rupiah masih mau, tetapi kalau tidak kenal, biasanya harus bayar lebih,” tuturnya. Istri dari Hendrikus Ngongo (39), wakil ketua Lingkungan CB3 ini mengungkapkan bahwa pengeluaran itu cukup besar mengingat pendapatan yang dihasilkan dari pekerjaan suaminya sebagai buruh gudang di Margomulyo dan jualan kelontong di rumah tidaklah seberapa.
Hal serupa juga dialami oleh Brigitta Rusia Wati. Ia akhirnya memilih pergi ke gereja mana saja, yang terdekat, asal bisa beribadah dan menyampaikan kerinduan hatinya kepada Tuhan.
Selalu ada harapan
Meski dalam keterpurukan sekalipun, selalu ada harapan bagi warga Katolik di CB3. Di akhir perjalanan, Harmoni bertemu dengan Dominikus Darwanto Karwayu (37) dan Reyneldish Taghy (30), pasutri yang merintis perkumpulan Flobamora (Flores, Sumba, Timor, dan Alor) di daerah tersebut. Pasutri ini mengungkapkan cukup prihatin dengan keadaan umat di CB3. Beberapa muda-mudi yang ingin menikah mengalami kesulitan karena syarat seperti surat baptis dan status liber sulit untuk di-penuhi.
Darwanto berharap agar ada kunjungan dan kegiatan rutin yang diadakan oleh pihak Gereja bagi umat CB3. Darwanto sendiri tidak keberatan apabila kegiatan seperti sekolah minggu, katekumen, kunjungan iman, dan kegiatan lain diadakan di rumahnya, mengingat lokasi Panti Dharma Bakti, (rumah yang sering digunakan untuk kegiatan umat), di Taman Dupak Bandar Rejo letaknya cukup jauh dan sulit dijangkau oleh warga.
“Sebenarnya di dekat sini ada warga yang lulusan guru. Dia bisa mengajar anak-anak di daerah sini. Tetapi siapa yang membiayai tenaga yang akan ia berikan, itu yang menjadi masalah karena ia juga perlu dibantu. Bila itu bisa dipikirkan oleh pihak Gereja, maka itu bisa cukup membantu,” tuturnya. Untuk administrasi kependudukan, Sesepuh CB3 mengusulkan agar umat yang bekerja di bagian pemerintahan mau membantu umat CB3 dalam memperoleh akta kelahiran, KTP, dan KSK, sehingga biaya yang dikeluarkan untuk menyelesaikan administrasi kependudukan tidak terlalu besar.
Dalam rangka meningkatkan pendapatan, umat CB3 dapat dibekali dengan keterampilan dan diberi pinjaman modal usaha sehingga mampu meningkatkan taraf hidupnya sendiri. Harapannya, ketika taraf hidup meningkat, hak hidup layak dapat mereka rasakan. Kompleksitas masalah yang banyak diuraikan di atas memang melekat pada masyarakat urban yang tinggal di kota metropolitan besar. Meski sangat tipikal, labirin masalah itu masih dapat diurai satu-persatu dan diusahakan solusinya secara komprehensif.
Lantas, siapakah yang akan berjibaku mengusahakan solusi dan membantu mengangkat martabat mereka? Semoga Tuhan menggunakan tangan Anda untuk meringankan karya keselamatanNya. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar