Teror


Modernisasi yang menjadi anak kandung abad 21 membagi manusia menjadi tiga jenis. Jenis pertama menjalani, menikmati dan menuai keuntungan dari remeh-temeh produk barang dan jasa. Orang-orang di golongan ini tidak hanya modern dalam tingkah-polahnya, tapi juga dalam pikirannya. Mereka lahir dan tumbuh besar dalam “cuaca dan atmosfer” yang dalam modernisasi kita kenal dalam istilah rasionalisme (logis dan dapat dicerna indera), efektivitas (cepat-tepat-ringkas), individualis (tentang aku dan kelompokku) dan hedonis (memburu kenikmatan ragawi).

Jenis kedua adalah mereka yang gagap, minder dan takluk pada modernisasi. Orang-orang di jenis kedua ini sesekali kritis pada modernisasi tapi tak kuasa menahan gempurannya. Mereka melakoni dengan pasrah hidup secara modern dalam masyarakat yang (sejatinya) masih primitif. Acapkali golongan ini merindukan nilai-nilai hidup yang lebih otentik, oriental dan orisinil demi kesempurnaan hidupnya. Tapi, apa daya, “cuaca dan atmosfer” itu begitu kuat berhembus menelusup sumsum tulang dan memperlambat peredaran darah. Tubuh, jiwa dan pikiran tak bebas bergerak meski kehendak begitu kuatnya. Anda dapat menduga, saya ada di golongan ini.

Jenis ketiga ada di pinggiran dan terlempar daripadanya. Modernisasi adalah “dunia lain” menurut golongan ini. Sesungguhnya mereka telah menjadi korban

Tidak ada satu golonganpun yang layak dianggap bersalah atau lebih unggul daripada yang lainnya. Tiap golongan memiliki “cacat jaman” yang kelak akan di

Khusus untuk golongan ketiga, ada yang spesial. Mereka percaya, modernisasi lahir dari belahan barat dunia. Dari Eropa dan Amerika, gampangnya. Kehadirannya merenggut dan menghancurkan kebijaksanaan-kebijaksanaan yang lahir dari sisi timur dunia (east wisdom). Mereka serta-merta menolak dan berniat membendungnya dengan apa saja yang mungkin. Jika dianggap perlu, mereka hendak meluluh-lantakan modernisasi agar kehidupan kembali pada kesucian dan kemurnian.

Modernisasi bukan soal agama. Sialnya, golongan ini melakukan simplifikasi yang ceroboh. Mereka meredusir masalah ini sedemikian piciknya hingga tampak seolah-olah seperti perjuangan agama tertentu melawan agama yang lain. Mereka dengan telak telah salah mengartikan modernisasi seperti imperialisme agama modern terhadap agama tradisional.

Maka, mereka melakukan teror bom.

Mereka bunuh diri sembari membunuh orang lain yang tak berdosa demi sebuah pesan pada dunia, “kami ada dan rela mati untuk menolak Barat”. Kesucian dan kemurnian hidup harus dipertahankan, meski dengan kematian diri dan orang lain. Begitu pikir mereka. Lucunya, tak ada satupun manusia normal yang simpati dengan perjuangan mereka, kecuali kelompok mereka sendiri.

Lantas, apakah modernisasi akan terusik oleh teror-teror itu? Jelas tidak. Modernisasi adalah jaman yang bergerak.

Apakah teror-teror itu akan membuat kita takut dan mengubah cara pandang kita tentang kehidupan? Lebih baik jangan. Jika pesan itu sudah salah sejak awal, maka caranya pun juga salah. Jika kita takut, lalu diam dan mengundurkan diri sebagai agen kebaikan, kita ada dalam kendali para pelaku teror itu. Saya sungguh berharap, Anda tidak salah mengartikan teror sebagai masalah agama. Agama hanya kedok bagi mereka yang menjadi korban modernisasi beserta seluruh turunannya.

Maka kita seharusnya bisa jadi golongan keempat dalam himpitan modernisasi, yakni mereka yang teguh mempertahankan nilai-nilai hidup yang luhur sembari menikmati modernisasi sebagai “cuaca dan atmosfer” yang tak sekalipun dapat mengganggu hidup keseharian kita.

Yudhit Ciphardian

 

Tidak ada komentar:

Kirim email


Nama
Alamat email
Subject
Pesan
Image Verification
Please enter the text from the image:
[ Refresh Image ] [ What's This? ]

Klik Dapat Dollar

Menjadi member Paid To Click

Klik Dapat Dollar