Ny Sinta (nama rekaan) dengan bangga bercerita bahwa putrinya yang baru berusia 4 tahun dan duduk di TK kecil sudah mengenal kosakata yang merujuk pada kategori etnis dan agama teman-teman sekelasnya. “Bella itu”, kata Ny. Sinta menyebut nama putrinya, “suda tahu lgo tentang suku bangsa dan agama teman-teman sekelasnya. Dia sudah tahu kalau si Uni itu anak Minang, si Lena anak Manado, si Anggie anak Tionghoa, si Tera anak Batak, si Ida anak Jawa. Dia juga sudah tahu kalau si Lena itu beragama Kristen, si Anggie Katolik, si Uni Islam, si Tera Dia sendiri juga sudah tahu kalau dia anak Jawa dan beragama Katolik”.
Yang menjadi teman bicara Ny. Sinta adalah bekas rekan kuliahnya, yang juga sesama ibu muda, yang mempunyai seorang putri berusia hampir tiga tahun. Obrolan di atas muncul ketika mereka sedang asyik ngobrol ngalor-ngidul di ruang tamu rumah Ny. Sinta. Di layar televisi muncul berita tentang aksi perusakan sebuah rumah ibadah agama tertentu oleh sekelompok orang yang mengenakan atribut-atribut agama lain.
Setelah berita itu berlalu, Ny. Sinta berkomentar bahwa sikap tidak toleran dan destruktif terhadap agama (dan etnis) lain seperti yang terlihat dalam berita itu kemungkinan kecil akan terjadi, atau bahkan bisa dicegah bila anak-anak dalam usia yang sedini mungkin diperkenalkan terhadap perbedaan sekaligus dididik untuk menghargai perbedaan.
Untuk membuktikan bahwa hal itu telah mulai dia tanamkan kepada anaknya, Ny. Sinta pun memanggil putrinya dan menanyai suku bangsa dan agama teman-teman sekelasnya.
“Bella, sini dik. Mama pengin tahu tentang teman-teman adik. Si Anggie itu orang apa?”
“Tionghoa”'
“Agamanya apa?”
“Katolik”
“Kalau si Ida?”
“Jawa”
Agamanya?”
“Islam”
“'Kalau Bella sendiri orang apa?”
“Jawa, deh”
“Agama?”
“Katolik”.
“Bella sayang nggak sama teman-teman yang bukan Jawa dan bukan Katolik?”
“Sayang dong. Kan mereka juga sayang sama Bella''
Ny. Sinta tampak bangga dan sekaligus berharap, bahwa sikap toleran atau menghargai perbedaan yang telah mulai tertanam di dalam diri putrinya yang baru berumur empat tahun itu terus berkembang seiring dengan pertambahan usia dan pertumbuhan kematangan jiwanya.
Kemudian ia pun berbicara panjang lebar tentang pentingnya pendidikan multikultural dalam konteks masyarakat Indonesia yang majemuk. la yakin bahwa konflik-konflik horisontal yang disebabkan oleh perbedaan agama, suku bangsa atau etnis yang belakangan ini muncul di berbagai wilayah Indonesia bisa dicegah bila pendidikan multikultural sebagaimana yang ia peragakan dengan putrinya itu ditanamkan baik dalam keluarga, sekolah, maupun masyarakat luas.
Lalu, ia bertanya bagaimana kawannya itu -sebut saja Ny. Ike- mendidik putrinya.
“'Ah, anakku masih terlalu dini untuk diberi pengertian seperti itu”.
''Nggak juga lho. Si Bella itu mulai aku beri pengertian seperti itu sejak setengah tahun yang lalu lho”.
“Aku nggak tahu ya. Cuma kalau aku punya pandangan lain. Anakku justru nanti aku persiapkan untuk mempertanyakan setiap upaya pembedaan. Bukan maksudku untuk menanamkan pandangan bahwa semua orang itu sama atau harus sama. Tetapi, yang mau aku tanamkan adalah pandangan bahwa perbedaan itu muncul sering karena pembedaan, dan perbedaan itu menjadi bermasalah tak jarang juga karena pembedaan. Kalau tak ada pembedaan, entah untuk tujuan baik atau buruk, perbedaan itu barangkali akan dianggap sebagai sesuatu yang normal”.
Ny. lke tak tahu apakah Ny. Sinta paham dengan jawabannya itu. Yang jelas, obrolan mereka pun dengan cepat berpindah ke soal melambungnya harga cabai rawit. Mereka sama-sama penggemar sambal dan makanan serba pedas. Mereka sama-sama merasa terpukul dengan melambungnya harga cabai rawit.
Mereka tidak mempersoalkan perbedaan etnis dan agama di antara mereka.
***
Cerita tentang obrolan sepasang ibu muda di atas akan mengantar kita pada topik keberagaman. Keberagaman adalah perbedaan identitas individu yang disadari tapi tidak dibedakan. Kata dasarnya, “beragam”, dalam kamus bahasa Indonesia diartikan sebagai bermacam-macam, dan berwarna-warni. Maka, dapatlah kita katakan keberagaman adalah anugerah kekayaan yang harus kita jaga.
Sayang sekali. di Indonesia, di masa lalu, keberagaman tidak mendapat tempat sewajarnya. Justru yang terjadi adalah penyeragaman. Kini, bangsa ini sedang menapaki era baru reformasi dan wacana tentang keberagaman semakin kuat dikampanyekan. Majalah kita tercinta ini juga mengemban tanggung jawab untuk menyebarluaskan wacana ini.
Keberagaman dan Kitab Suci
Dalam Perjanjian Baru, santo Paulus seringkali menggambarkan kata keberagaman dengan sebuah perumpamaan “tubuh” manusia. Lebih dari tiga puluh kali, Paulus memakai kata “tubuh” (soma, dalam bahasa Yunani), untuk menggambarkan sebuah gereja yang memiliki keunikan yang beragam.
Perumpamaan “tubuh” dipakai oleh santo Paulus untuk menggambarkan kesatuan dalam sebuah gereja yang terdiri dari berbagai macam orang dengan warna-warni perbedaan, karakter dan karunia yang mereka miliki. Perumpamaan tentang “tubuh” yang paling banyak dikutip misalnya ada dalam 1 Korintus 12:12, “Karena sama seperti tubuh itu satu dan anggota-anggotanya banyak, dan segala anggota itu, sekalipun banyak, merupakan satu tubuh, demikian pula Kristus”. Juga dalam Roma 12 : 4, “Sebab sama seperti pada satu tubuh kita mempunyai banyak anggota, tetapi tidak semua anggota itu mempunyai tugas yang sama”. Atau dalam Efesus 4 : 16, “Dari pada-Nyalah seluruh tubuh, --yang rapih tersusun dan diikat menjadi satu oleh pelayanan semua bagiannya, sesuai dengan kadar pekerjaan tiap-tiap anggota--menerima pertumbuhannya dan membangun dirinya dalam kasih”.
Keberagaman dalam keluarga besar
Lalu bagaimana jika keberagaman itu ada dalam keluarga besar kita? Sesungguhnya patutlah kita bersyukur jika itu terjadi. Dengan begitu hidup kita akan kaya warna dan sarat makna. Setiap perjumpaan, obrolan dan peristiwa-peristiwa kecil yang terjadi di keluarga besar kita akan meningkatkan batas toleransi kita.
Ya, yang paling susah menjalani hidup dalam keluarga besar yang beragam adalah menenggang rasa. Setiap individu dalam keluarga harus bersedia menerima tradisi, kebiasaan dan gaya yang berbeda dari individu yang lain. Sikap tenggang rasa adalah syarat penting bagi keharmonisan keluarga besar.
Akhir kata, jika keberagaman kita maknai sebagai kekayaan dan anugerah Allah, maka kita sepatutnya berterima kasih karena diperkenankan hidup dalam keluarga besar yang beragam.
Yudhit Ciphardian (dirangkum dari berbagai sumber)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar