Tema kita kali ini adalah tentang single mom. Berbeda dengan istilah single parent yang menyebut orangtua tunggal secara umum, penyebutan single mom adalah afirmasi (penegasan) terhadap peran dan tugas seorang ibu. Terutama dikhususkan untuk ibu-ibu yang berjuang bangkit dari kondisi “nol” dan memilih melanjutkan hidup sendirian tanpa pasangan.
Situasi “sendiri” tidak akan pernah mudah terlebih saat pondasi keluarga belum kokoh benar. Inilah sumber inspirasi terbesar bagi keluarga-keluarga yang masih utuh, berjibaku membangun hidup yang lebih baik. Begitu pula bagi kami.
Dapat kita bayangkan, hanya keyakinan dan kepasrahan yang memayungi ibu-ibu ini menerobos situasi serba tidak menentu dan menjawab sebuah tantangan nyata yaitu life must go on. Situasi ini bukan tuna opsi, tapi dengan modal nyali besar menantang hidup maka segala opsi yang bisa meringankan beban harus dimarginalkan dulu.
Nah, keyakinan dan kepasrahan semacam itu pulalah yang menjadi tiang api bagi kita dalam menyambut Paskah tahun ini. Bahwa hidup harus dijalani maksimal dan selebihnya dipasrahkan pada-Nya. Saban kali kita limbung selalu saja ada secercah cahaya yang menjadi tujuan kita melangkah.
Selamat Paskah. Kristus bangkit, Kristus jaya!
Tentang Single Mom
Cita-cita Jadi Pastor Diteruskan Anaknya
Dalam perjalanan hidup sebuah keluarga sering kita jumpai kisah-kisah unik maupun istimewa. Kisah tersebut kadang memberikan kesan yang mengharukan namun juga sebaliknya dapat menjadi suatu kebanggaan dalam keluarga. Momen itulah yang akan selalu dikenang sepanjang usia.
Berawal dari seminari Mataloko tepatnya di Bajawa Flores NTT, Yustus I Ketut Sudjana (61) anak keempat dari enam bersaudara ini mulai mempersiapkan diri untuk menjadi seorang Pastor. Ketut (sapaan akrabnya) mempunyai cita-cita luhur untuk turut ambil bagian dalam karya dan tugas pelayanan di gereja dengan menjadi pastor.
Keinginan mulia itulah yang membuat pria kelahiran Bali 1 Januari 1948 ini rela meninggalkan sanak saudaranya. Dengan kecakapannya ia mampu menjadi salah satu murid terbaik di seminari Mataloko pada tahun 1964. Namun harapan yang begitu besar harus ia relakan hangus terbakar ketika mengetahui bahwa kondisi ekonomi keluarga sudah tidak memungkinkan untuk membiayai studinya. Perasaan kecewa yang sangat luar biasa dialami oleh anak seorang petani ini. “Saya sangat kecewa sekali, tapi saya serahkan semuanya pada Tuhan dan mungkin ini bukan jalan saya,” ucapnya dengan pasrah.
Namun kegagalan itu tidak membuat ciut hati pria bertampang kalem ini. Setelah angkat kaki dari seminari Mataloko, pria yang pandai bermain organ ini kembali ke kampung halamannya di desa Canggu Denpasar Bali dan bergabung menjadi marinir pada tahun 1966. Saat itu Indonesia berada dalam cengkraman teror peristiwa Gerakan 30 September.
Ketut mulai mengawali kehidupan barunya dengan perasaan yang sangat berat dan seperti terbebani. Ini merupakan pukulan yang telak bagi dirinya dimana seorang mantan seminaris yang belajar tentang cinta kasih, harus bergelut dengan dunia militer yang sadis dan kejam dimana orang hanya dihadapkan pada dua pilihan antara membunuh atau dibunuh.
“Sangat berlawanan dengan hati nurani saya, saya harus berperang dan membunuh orang, saya tidak tahu apakah yang saya lakukan ini dosa?” ungkapnya. Diakuinya sendiri bahwa mengemban tugas sebagai seorang tentara pada masa itu sangatlah berat. “Seragam selalu sobek, tidak pernah utuh. Belum lagi harus selalu siap tempur 24 jam,” kenangnya sambil menunjukkan bekas luka goresan di kedua tangannya karena terlalu sering merangkak dan bergulung-gulung di tanah saat perang. Saking frustasinya sampai-sampai muncul pemikiran dalam benaknya untuk kembali melanjutkan studi di seminari. “Kalau ingat waktu itu rasanya ingin sekali kembali masuk seminari,” tuturnya.
Di awal 1970-an, Ketut memulai awal kehidupan berumah tangga dengan menikahi wanita pilihannya Ni Ketut Priska Pura (61) tepatnya pada 17 Januari di Denpasar Bali. Saat itupun pria yang sempat tergabung dalam pasukan Garuda VIII ini masih sibuk dengan tugas dan tanggung jawabnya sebagai tentara. Ketut harus rela meninggalkan istri yang sedang mengandung. “Saat bertugas saya terima kabar kalau istri saya sudah mengandung atau hamil,” tuturnya dengan logat khas Bali.
Ayah dari lima orang anak ini merasakan kebahagiaan ketika anak ke duanya, Agustinus I Made Adiprasetyo (36) ditahbiskan menjadi Diakon pada 5 Februari 2008 silam. Ketut tidak pernah menduga bahwa putra keduanya itu menyimpan keinginan untuk menjadi seorang pastor, sama seperti dirinya.
Agustinus I Made adalah seorang anak yang istimewa. Ia telah menampakkan kecerdasannya sejak duduk di bangku SD. Ketika hendak melanjutkan ke bangku SMP, kepala sekolah sempat menyarankan pada Ketut agar menyekolahkan anaknya di Surabaya, untuk memperoleh pendidikan yang lebih baik. Namun Agustinus memiliki keinginan yang kuat untuk merintis pendidikan menjadi pastor. Akhirnya, ia menempuh pendidikan di sekolah Katolik berasrama di Denpasar, Bali. Setelah tamat SMP, Agustinus melanjutkan pendidikan di Seminari Menengah Garum, Blitar. Usai menamatkan studi di Garum tahun 1991, ia menempuh masa pranovis di Kalimantan selama satu tahun.
Agustinus memiliki keinginan yang kuat untuk menjadi seorang pastor lantaran ingin mengabdi bagi sesama. Ia ingin memberikan hidupnya untuk menyayangi umat. “Saya bangga sekali mengetahui anak saya sudah ditahbiskan menjadi diakon. Semoga putra saya bisa menjadi pastor yang suci,” ungkap Ketut dengan mata berkaca-kaca. Ia bangga karena putranya selangkah lagi akan mewujudkan harapannya yang tidak tercapai untuk menjadi seorang pastor. Ketut yang saat ini bertugas sebagai satpam di gereja Kristus Raja Surabaya ini merasa cita-citanya yang terkubur sudah digantikan oleh putranya.
Yonathan Beda Turra
Resepnya Tabah dan Tegar
Hidup terpisah dari suami merupakan suatu pilihan, yang meski sangat berat harus diambil oleh Fransiska Sriani (55). Jalan hidup yang harus dilalui oleh ibu empat anak ini memang begitu berat, penuh liku-liku dan kerikil tajam. Namun dengan tabah umat Paroki St Maria Gresik ini menjalani hidup yang sudah digariskan oleh Tuhan. Bahkan, ia memandang jalan hidupnya sebagai salib yang harus ia pikul dalam mengikuti Kristus.
Perpisahan dengan suaminya pada awal dekade 1990 merupakan masa-masa yang terasa berat bagi ibu Fransiska Sriani, atau yang akrab dipanggil sebagai Ibu Sri. Waktu itu, ketiga anak laki-lakinya Ricardo (26), Antonius Petriko (24), serta Leandro (22) masih kecil dan duduk di bangku sekolah dasar. Ditambah lagi ia sedang mengandung putri bungsunya yang kemudian dinamakan Birgita Gloria (16).
Keputusan untuk tetap melanjutkan hidup sendiri sembari mengasuh anak-anak dipilihnya dengan keyakinan Tuhan akan senantiasa menolongnya. Terbukti sampai sekarang anak-anaknya tumbuh sebagaimana anak-anak dari keluarga yang lengkap. “Resepnya hanya tabah dan tegar, Tuhan tidak akan memberi cobaan melebihi kemampuan umatnya,” ujar aktivis gereja ini mantap. (Rosi)
Rumah Hadiah Dari Tuhan
“Waktu sakit itu bapak tidak pernah mengeluh, tidak pernah dirasakan. Mungkin maksudnya agar kami tidak dibuatnya repot,” ujar Katarina Welianti (48) mengenang kepergian suaminya. 30 Januari 2005, umat Paroki St. Yusup Karangpilang ini harus kehilangan suami tercinta Bernardus Bayorista Kotha Meo karena sakit hipertensi. Perempuan asli Palembang ini menikah dengan Bayorista yang asli Flores pada 1985 di kota asal sang istri dan tiga tahun kemudian hijrah ke Surabaya.
Di Surabaya pasutri ini harus mengontrak dulu di Kebraon sebelum pindah di Pondok Manggala A2/11. Berawal dari perkenalan dengan salah satu rekan umat di lingkungan, Thomas, keluarga ini bisa membeli rumah di kompleks Angkatan Laut ini.
Dengan gaya yang familiar ibu dari Aristi (21) Ariska (19) dan Arista (13) ini bertutur, ”dulu waktu suami masih hidup, beliau pernah bilang bahwa rumah ini adalah hadiah dari Tuhan.” Waktu itu Bernardus terpilih untuk menjadi ketua panitia Paskah, tapi karena kesibukan pekerjaan yang tak bisa ditinggal, akhirnya Bernardus meminta tolong pada Thomas yang saat itu tinggal di Pondok Manggala untuk menghandle semua persiapan Paskah. Karena seringnya bertemu untuk urusan panitia, timbulah kecocokan antara Bernardus dan Thomas untuk bertetangga. Akhirnya lewat informasi dan tawaran dari Thomas, Bernardus bisa membeli rumah dengan harga ”hanya” tiga juta rupiah.
Maria selalu menyakini bahwa setiap kejadian pasti ada hikmah yang bisa diambil sama seperti saat suami dipanggil pada usia 52. ”Saya belajar banyak hal setelah suami pergi,” lanjutnya. ”Saya percaya Tuhan akan selalu memberikan kemudahan jika kita selalu menyerahkan seluruh doa dan usaha padaNya.”
Menutup pembicaraan, Welianti berharap agar anak-anaknya dapat mandiri dan mendapat jodoh orang Katolik. (Gandhi)
Sebatang Pensil yang Akan Selalu Berguna
“Kita ini seperti sebatang pensil, sekecil apapun jika orang membutuhkannya maka tetap akan berguna”. Kata bijak dari Mother Theresa ini menjadi ilham bagi Maria Theresia Eka Indrawati (58) single mom umat Paroki Marinus Yohanes Kenjeran.
Ibu 4 anak, Andreas Tresna (38), Maria Caecilia (35), Yohanes Dominicus (28) dan Eduardus Erwan (26) ini sudah enam tahun hidup tanpa didampingi lagi oleh suami tercinta. Sepeninggal suaminya Martinus Didi Soepardi, seorang pensiunan angkatan laut sekaligus dosen Universitas Hang Tuah Surabaya, Beliau tetap yakin bahwa berkat Tuhan selalu menyertai. Keteguhan iman yang mendalam membuatnya begitu yakin akan rencana Tuhan yang baik dalam hidupnya. Semangat perempuan yang selalu ramah ini malah semakin menyala-nyala. Keaktifannya dalam kegiatan-kegiatan gereja tidak terhalangi oleh usia.
“Dalam pelayanan kita harus punya rohnya, jadi bukan semata-mata kewajiban”, ungkapnya. Hal tersebut sekaligus menjadi suatu upaya bagi kakak kandung Rm. Sad Budi, CM (mantan Provinsialat CM) ini untuk menghilangkan rasa kesepian dan kesendirian.
Sikap berwibawa, tegas dan berpegang teguh pada prinsip membuat beliau begitu disegani oleh anak-anak. “Mami ini bener-bener ‘the real Mom’, ungkap Erwan sang anak bungsu menunjukkan kekagumannya. Kedekatan Indrawati dengan anaknya terlihat dari foto yang ditampilkan dalam majalah ini. (Lyta)
Terbuka dan Jujur pada Anak
Percaya bahwa Tuhan selalu mendampingi mereka adalah kunci ibu dan anak ini melewati berat dan kerasnya hidup tanpa seorang suami dan ayah. 16 tahun Veronika Gambut (biasa disapa Ibu Erni) merawat dan membesarkan putri gadisnya seorang diri. Begitu banyak cerita suka dan duka yang harus mereka lewati. “Saya dan Angel pernah harus tinggal di kamar kost-kostan kecil untuk buruh di Wadung Asri. Kasurnya adalah tumpukan pakaian bekas karena tidak punya kasur” ujar umat Paroki Sakramen Maha Kudus ini. Pengalaman berkesan lainnya, “waktu itu (tahun 1994) Angel sakit dan saya tidak punya uang untuk berobat, lalu saya bilang ke Angel untuk berdoa minta kesembuhan supaya besok tidak perlu ke dokter. Eh, ajaibnya Tuhan mengabulkan permohonan kami, besoknya Angel sudah sembuh.”
Bagi Ibu Erni anak gadisnya yang bernama lengkap Natalia Angelica Belasario De Evagam ini adalah malaikat yang dikirim Tuhan untuk hidup bersama-sama dengannya. Suatu ketika Ibu Erni sedang membersihkan lantai depan kamar kostnya, seorang pengemis tua tanpa sengaja menginjak lantai yang baru ia bersihkan, sontak saja ibu Erni memarahi pengemis tua itu, Angel yang saat itu juga ada di situ langsung mengingatkan ibu Erni pada apa yang pernah ibu Erni ajarkan pada Angel, bahwa setiap orang mempunyai kedudukan yang sama di mata Tuhan, ibu Erni sampai sekarang tidak bisa melupakan peristiwa itu.
Angel punya pendapat sendiri tentang ibunya, gadis manis kelahiran Desember 1991 yang juga adalah murid kelas 1 di SMU Katolik St Carolus ini berpendapat bahwa ibunya adalah seorang ibu yang tegas “Ibu itu baik walaupun agak cerewet, selain itu ibu orangnya tegas supel, sekaligus smart” kata Angel pada Harmoni sambil menatap ibunya dengan penuh rasa sayang.
Telah melewati jalan yang berliku untuk membesarkan dan merawat anak seorang diri, Ibu Erni punya banyak pengalaman yang bisa digali untuk menjadi sebuah inspirasi bagi para single mom, “selalu terbuka dan jujur pada anak agar dia merasa bahwa orangtua juga adalah teman. Saya harus menjadi teladan bagi dia, bukan gaya mendikte.” (Abner)
Konsentrasi Mendidik Anak
“Saya sudah ikhlas dengan keberadaan suami saya,” demikian Maria Magdalena Herlis Susiana (51) mengawali percakapan. Ibu dari Lorentia (28), Carolina (26), Stefanus (24), Adrianus (21), Mery (18) dan Audy (11) ini bercerita bahwa suaminya yang bekerja sebagai kontraktor pertambangan emas di Kalimantan, sejak 2002 hingga sekarang tak pernah terdengar lagi kabar keberadaannya. ”Saya sempat bingung waktu tiba-tiba hilang kontak dengan papinya anak-anak,” katanya.
Hampir 6 tahun hidup dalam kesendirian tidak membuat umat paroki St. Yusup, Karangpilang ini terganggu konsentrasinya untuk mendidik anak-anak. Maria tahu bahwa anak-anak masih membutuhkan maminya, maka dengan keahlian yang dimilikinya, perempuan asli Surabaya ini mencoba mengais rejeki dengan menerima pesanan kue ataupun makanan. Berjualan rujak di depan rumah juga dilakoninya. Dari sinilah Maria bisa menghidupi dan menyekolahkan anak-anaknya. Berpindah-pindah rumah juga pernah dijalaninya.
”Air mata saya sudah kering,” ujarnya. ”Mungkin hanya si sulung Lorentia yang masih kepingin mencari papinya sampai ketemu,” kata istri dari Yosefus Stanley ini.
Perempuan yang menikah di Katedral Surabaya ini mengatakan bahwa kunci dari setiap permasalahan adalah dengan kita bersabar, nrimo dan jangan pernah mengeluh apalagi menyalahkan Tuhan. ”Itu malah akan membuat kita menderita,” ujarnya.
Mempertahankan kebahagiaan lebih sulit daripada meraih kebahagiaan itu sendiri dan Maria sudah membuktikannya dengan selalu bersyukur. (Gandhi)
Pasrah dalam Pengharapan
Delapan tahun menjalani hidup sebagai seorang single mom bukanlah hal yang mudah bagi Theresa Kencanawati (53), umat paroki Kristus Raja. Perjuangan gigih dilakukan semata-mata hanya demi kelangsungan hidup bersama tiga anaknya, Frida Jenny Sugiarto (22) karyawati swasta, Yustinus Jerry Sugiarto (20) mahasiswa salah satu perguruan tinggi swasta dan David Jimmy Sugiarto (15) pelajar kelas 3 di salah satu SMP Katolik.
Hal ini nampak terutama pada masa-masa awal sepeninggal suami tercinta Fransiscus Sarjono Sugiarto pada usia 47 tahun. Sebelumnya, penghasilan sebagai penyedia jasa pembuatan surat-surat kendaraan bermotor ini mampu menopang kebutuhan keluarga secara finansial. Kehilangan sosok kepala keluarga memunculkan pergulatan batin yang mendalam baginya. Rasa kehilangan dan tidak berdaya seakan meliputinya kala itu. Namun, suatu keyakinan dan kepasrahan akan kehendak Tuhan membuat beliau mampu untuk bangkit dan memandang ke depan.
“Waktu itu kalau nggak kerja kita mau makan apa. Tapi kalau kerja pun nggak bisa konsen karena memikirkan anak-anak,” kenangnya. Keputusan untuk berhenti dari pekerjaan sebagai penjahitpun diambil. Sempat pindah haluan dengan berjualan makanan di kantin sekolah namun tidak bertahan lama.
Akhirnya perempuan yang masih segar di usia senja ini kembali pada aktivitas menjahit di rumah dengan peralatan seadanya. Dengan aktivitas tersebut, beliau justru merasa semakin banyak waktu untuk mendekatkan diri pada Tuhan. Terbukti, beliau tidak pernah absen pada acara-acara doa, baik di Gereja maupun di lingkungannya. Dukungan dari kerabat terdekat dengan disertai doa dan kepasrahan, mampu mengahantarkan beliau dan anak-anak pada suatu kehidupan yang lebih baik. (Lyta)
Tiga Bulan Mogok ke Gereja
Wajahnya yang tegar menegaskan bahwa beliau adalah seorang ibu yang sangat disiplin mendidik anaknya, itulah kesan pertama bila kita bertemu dengan Zyta Dewi Dany. “Awalnya memang berat, tetapi bila kita yakin akan iman kita pada Yesus maka semua akan baik-baik saja” ucapnya mengawali obrolan.
Kisah perjuangannya menjadi single mom dimulai ketika Tuhan memanggil Ismono Sarwo Santoso, suaminya, pada Agustus 1992, saat kandungannya baru memasuki dua bulan. Sejak saat itu Ibu Zyta harus merawat dan membesarkan anaknya seorang diri. Saat pertama kali ditinggal oleh suami yang dinikahinya pada tahun 1989 itu, Ibu Zyta sempat merasa bahwa Tuhan tidak adil padanya. Pasalnya, setahun sebelum suami meninggal, ia keguguran dan kehilangan anak pertamanya. Dengan jujur Ibu Zyta mengaku sempat tiga bulan tidak menginjakkan kaki di gereja. Dua orang yang dicintainya meninggalkan dia dalam waktu yang berdekatan.
Ibu Zyta melanjutkan ceritanya, “waktu kandungan saya berjalan delapan bulan, perusahaan tempat saya bekerja harus ditutup. Saya limbung. Suami baru meninggal, persalinan kurang sebulan lagi, tiba-tiba kehilangan pekerjaan. Namun puji Tuhan beberapa bulan kemudian saya kembali mendapatkan pekerjaan di perusahaan yang lain.”
14 tahun ia merawat anaknya Antonio Ishiardi Santoso sendirian. Ibu Zyta tetap berpegang pada imannya, beliau yakin bahwa Oni (panggilan anaknya) adalah warisan paling berharga dari suaminya, yang harus dia jaga dengan penuh cinta. Alumnus IKIP Negeri (sekarang Unesa) ini berharap anaknya menjadi orang yang sukses dan tetap berpegang teguh pada ajaran Katolik.
Bagi Oni ibunya adalah ibu yang baik. “Ibu itu baik banget. Terimakasih ya mama, udah ngerawat Oni sampai sebesar ini,” katanya dengan mata berkaca-kaca.
Menapaki Keberhasilan Lewat Kemandirian
Maria Yustina (62) adalah single mom yang berhasil menguliahkan puterinya sampai lulus sarjana meski sudah ditinggal suami Petrus Faber Herminto empat tahun lalu. 2 November 2003 Petrus Faber meninggal karena penyakit diabet akut. Sejak saat itu segala urusan keluarga harus diselesaikan sendiri oleh Maria. Beruntung ia masih memiliki toko kelontong dan uang hasil pensiunan yang bisa menopang ekonomi keluarga.
Tapi keberhasilan ini tidak diraih dalam waktu singkat. Sedari kecil wanita kelahiran Malang, 27 Juli 1945 ini sudah terbiasa hidup mandiri karena menjadi yatim piatu sejak kecil dan hidup bersama kerabatnya. Saat SMP, Maria tinggal di asrama dan semakin mandiri. Selepas SMP, Maria hijrah ke Surabaya dan bekerja di RKZ lalu pindah ke RS Darmo. Di sinilah Maria bertemu dengan Petrus dan memutuskan menikah di Yogjakarta pada 30 April 1968. Pada waktu menikah, Maria masih berusia 20 tahun dan Petrus berusia 22 tahun.
Setelah menikah Maria keluar dari pekerjaan dan menjalani hidup sebagai ibu rumah tangga. Sejak saat itu ekonomi keluarga sepenuhnya ditopang oleh Petrus yang waktu itu bekerja sebagai kelasi angkatan laut. “Bapak meminta saya berhenti dari pekerjaan karena harus mengurus keluarga”, ujar Maria.
Lima tahun setelah menikah, tepatnya 21 September 1973, Maria melahirkan anak pertama yang diberi nama Agustinus Hermawan dan anak kedua Christina Hermawati lahir pada 23 Maret 1986.
Penggalan kisah yang paling dikenang oleh Maria adalah ketika menyaksikan suaminya harus operasi batu ginjal, karena mengidap diabet yang terlalu lama. “Saya tidak tega melihat suami saya dan ketika rumah sakit mengabari bahwa bapak telah meninggal kami langsung berangkat ke Jogjakarta untuk doa keluarga dan pemakaman,” kenang Maria. Kini jalan keberhasilan sedang ditapaki dan Maria terus mengajarkan kemandirian kepada anak-anaknya sebagaimana dia menjalaninya sebagai single mom. (Hanny)
Komunikasi Penting Untuk Keluarga
Di usia persis setengah abad, Lusiana masih bersemangat melanjutkan hidup. Hal ini ia lakukan demi dirinya dan ketiga anaknya. Semenjak suaminya Freddy Setiono berpulang karena sakit, Lusiana harus melanjutkan hidup dengan ketiga puteranya David Setiono (24), Robert Setiono (18) dan Benny Setiono (13).
Lusiana menikah dengan Freddy pada 5 September 1977. Waktu itu Freddy masih bekerja di pabrik korek api. “Dulu kantornya di jalan Bungkaran dan saya adalah tetangganya,” kenang Lusiana yang asli Surabaya ini.
Sepeninggal Freddy, diakui oleh Lusiana, bahwa relasi dengan lingkungan sekitar semakin baik. Perekonomian keluarga yang sempat drop berhasil diatasi dengan cara membuka toko kelontong di depan rumah. “Tetangga juga ramah, sudah seperti keluarga sendiri”.
Baginya cerita paling menyedihkan adalah ketika ia mengandung anak ketiga dan suaminya meninggal. “Waktu itu usia kehamilan saya 8 bulan. Saya membayangkan bagaimana anak ini bisa mengenal ayahnya sedangkan berjumpa saja tidak,” ujarnya lagi. Keluarga yang tinggal di jalan Jagir Sidomukti 5 ini selalu melibatkan ketiga puteranya untuk ikut terlibat dalam pengambilan keputusan yang ada hubungannya dengan kehidupan keluarga mereka. “Komunikasi itu penting apalagi ini keputusan keluarga,” ujar alumnus SMA YPPI 2 Surabaya ini.
Lusiana yang kelahiran 5 Juli 1957 juga aktif dalam kegiatan lingkungan di wilayah Andreas paroki Yohanes Pemandi. Tak jarang Lusiana mengajak kedua puteranya Robert dan Benny untuk ikut hadir dalam doa lingkungan, retret, novena, dan kegiatan lingkungan lainnya. “Sebagai single mom, kita harus tabah dan selalu mengikuti perkembangan anak-anak kita,” tegasnya menutup bincang-bincang.
Kaget Ditinggal Karena Biasa Dimanja
“Menerima keadaan dan selalu berdoa” itulah kunci mengatasi masalah yang diungkapkan ibu Tientje, panggilan dari ibu yang bernama lengkap Martina Philipa Ngasu (51), yang telah ditinggal almarhum bapak Dominicus Lalu, suami tercinta sejak 26 Februari 1996 secara mendadak tanpa sakit.
Memiliki suami yang begitu mencintai bahkan cenderung memanjakan Ibu Tientje membuatnya terlena sejenak dan tersadar ketika harus mandiri setelah suami tiada. Pernah merasa kaget ketika tiba-tiba harus mengurus semua keperluan rumah tangga, membeli keperluan rumah tangga sendiri. “ Dulu suami melarang saya membelanjakan gaji saya untuk keperluan rumah tangga, suami sudah mencukupi sehingga saya bisa pakai untuk keperluan lain yang saya suka,” ujar umat Paroki Salib Suci ini. Setelah suami berpulang, Ibu Tienje harus memenuhi kebutuhan rumah tanga dengan hasil keringat sendiri sebab almarhum tidak meningalkan uang pensiun, hanya tabungan yang selanjutnya dipakai untuk keperluan anak-anak sekolah serta hal-hal yang penting.
“Sampai sekarang saya tidak bisa menjalankan mesin jahit sebab dulu suami selalu menyiapkan segala sesuatu dan saya tinggal menjalankan mesin jahitnya saja”. Ketika anaknya yang saat itu duduk di kelas 3 SMP akan ujian dan harus menjahit seragam, semalaman dia berada di depan mesin jahit, stress karena jarum yang dipakai meloncat-loncat saat dipakai. Kesulitan lain adalah ketika sang putri mendaftar di SMA negeri dan harus mengurus surat kepindahan di Depdikbud Sidoarjo. Karena tidak tahu jalan, akhirnya Ibu Tienje tersesat sampai Porong dan terlambat mengurus surat tersebut hingga akhirnya sang putri tak bisa masuk ke SMA negeri.
Menangis dan berteriak keras-keras, itulah yang dapat dilakukan ibu Tientje saat merasa tidak berdaya dan menjadi stres ketika menghadapi masalah. Satu-satunya jalan adalah datang ke Rm Thoby Kraeng, SVD dan bercerita sepuasnya, setelah lega baru bekerja kembali.
Dua anaknya, Eduardus (25) lulusan ITS, sudah bekerja dan Theodora (21) saat ini sedang kuliah semester 7. Perempuan ramah kelahiran Ende, NTT ini mendorong anak-anaknya untuk aktif di kegiatan gereja seperti koor, mudika, KMK. Sekretaris Diklat Keperawatan RKZ ini hanya ingin diberi umur panjang untuk melihat anak-anaknya sukses dan terus bisa bekerja dengan baik sebab itulah bukti persembahan cinta Ibu Tienje kepada almarhum suami tercinta.
Terbiasa Hidup Tirakat
Perjuangan Birgita Puspita Yanti (57) sebagai seorang ibu sudah dimulai sejak awal pernikahan yaitu untuk segera mempunyai momongan. Menikah Mei 1975, pasangan Birgita Puspita Yanti dan FX Suseno Lukito baru dianugerahi momongan 12 tahun kemudian. Melalui berbagai usaha medis serta novena tanpa henti, pasangan ini akhirnya dikaruniai seorang putri, Maria Stefani Lukito (21). Dua tahun berikutnya, mereka kembali dikaruniai seorang anak perempuan yang dinamakan Melisa Caroline Lukito (19) .
Saat anak pertamanya baru lahir, pasangan ini mengalami cobaan berat setelah sang suami di-PHK dari pekerjaan. Selanjutnya, pasutri umat Paroki St Maria Gresik ini memenuhi kebutuhan sehari-hari dengan berwiraswasta. Meskipun tidak hidup mewah, keluarga ini hidup bahagia bersama kedua anaknya.
Kebahagiaan bersama keluarga yang utuh sempat terusik saat kepergian sang suami, FX Suseno Lukito pada tahun 2002. Sebelum meninggal, Suseno sempat berpesan agar Birgita selalu kuat dalam membesarkan anak-anaknya. Setelah kepergian suaminya, Birgita harus berjuang sendiri untuk memenuhi kebutuhan seluruh keluarga.
Bagi Birgita, pendidikan dan iman merupakan dua hal penting yang harus ia perjuangkan bagi anak-anaknya. Ia selalu berusaha memberikan pendidikan terbaik bagi kedua anaknya. Meskipun biaya pendidikan sangat tinggi, namun Birgita selalu berusaha sekuat tenaga untuk menyekolahkan anak-anaknya di sekolah terbaik. Anak pertamanya kini kuliah di Sekolah Tinggi Pariwisata di Bali, sedangkan anak keduanya sedang kuliah di Universitas Katolik Widya Mandala.
Birgita sering dihadapkan pada tantangan untuk memenuhi kebutuhan sekolah anak-anaknya. Namun di saat-saat mendesak, ia selalu mendapatkan bantuan, baik dari pinjaman rekan-rekan, ataupun kemudahan dalam usaha yang dilakoninya. Berbekal usaha yang keras dengan diiring doa, ia berhasil mengatasi banyak kesulitan. “Dalam kesendirian, saya tidak pernah takut. Meski kesulitan yang dihadapi terasa sudah mentok, selalu terselesaikan. Setiap kekhawatiran akan terselesaikan, asal kita mau berjuang,” ujar perempuan yang tidak pernah absen berdoa Rosario tiap tengah malam ini. Kebiasaan hidup tirakat memperlancar hidup keluarga ini meski sang Ayah sudah tiada.
Bersama Keluarga Dalam Perayaan Ulang Tahun Pernikahan
Pada Minggu 3 Februari 2008 lalu Sie Keluarga Paroki Sakramen Maha Kudus Pagesangan Surabaya mengadakan Misa Perayaan Pesta ulang tahun pernikahan bagi pasutri yang menikah bulan Desember sampai Januari. Acara ini iakan ulang tahun ibuk rutin diadakan empat bulanan. Misa ini adalah pengganti jadwal rutin misa yang seharusnya jatuh pada bulan Desember 2007.
Sebanyak 81 pasutri menghadiri perayaan yang digelar di aula paroki. Sebagai imam dalam perayaan misa ini adalah moderator Komisi Keluarga Keuskupan Surabaya Rm Thoby Kraeng, SVD.
Menurut ketua Sie Keluarga Paroki SMK FX Widodo Juwono (57) perayaan ini diminati oleh banyak pasutri di parokinya. Umumnya dihadiri lebih dari 100 pasutri. “Kali ini hanya 80-an pasutri karena sebagian besar dari mereka punya kesibukan sendiri,” ujar pria yang tinggal di perumahan Pepelegi ini.
Perayaan yang dilaksanakan pukul 11.00 WIB setelah Misa kedua pukul 08.00 WIB ini berlangsung meriah karena para pasutri ini juga mengajak seluruh anggota keluarganya. Tampak hadir dalam acara itu Pastor Paroki Rm Anano Sri Nugroho, Pr dan Rm Aratia Wardhana, Pr.
Menurut Yosaphat Hariyono (56) Ketua Dewan Paroki II acara ini bertujuan untuk agar setiap keluarga menumbuhkan dan melestarikan nilai-nilai perkawinan dalam keluarga dengan mengenang ulang tahun perkawinan mereka. “Dengan acara yang menghadirkan seluruh anggota keluarga, diharapkan komunikasi dalam keluarga antara orangtua dan anak lebih terjaga, terlebih di jaman teknologi informasi yang dapat menghalangi komunikasi,” tuturnya.
Paroki SMK Pagesangan yang terletak di wilayah Surabaya Selatan dan berdampingan dengan Masjid Agung Al-Akbar kebanggaan kota Surabaya ini ternyata mengalami perkembangan jumlah umat dengan cukup baik. Menurut data paroki tahun 2006, tercatat 772 kepala keluarga menjadi umat paroki yang dulu pendiriannya diresmikan oleh Abdurrahman Wahid (Gus Dur) saat menjadi presiden tahun 2001.
Menurut rencana, acara yang sama akan digelar pada April 2008 mendatang dan diisi seminar bertema keluarga.
Tarja
Dia ibu rumah tangga biasa berputri tunggal. Memang pernah menjadi menteri untuk banyak bidang, mulai komunikasi sampai keuangan. Juga pernah menjadi anggota parlemen kota. Tapi dia tetap ibu rumah tangga biasa di negara yang hanya berpenduduk lima juta jiwa dan luas wilayahnya hanya seperempat pulau Jawa.
Kebetulan hari ini dia adalah presiden kesebelas sekaligus presiden perempuan pertama yang dimiliki oleh negara tempat perundingan perdamaian Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan republik ini. Dia dicintai dan dikagumi oleh rakyatnya justru karena dia adalah ibu rumah tangga biasai, seorang perempuan separuh baya yang bersahaja dan berkharisma. Oleh rakyat di negara tempat bercokolnya pabrik pembuat telepon seluler terbesar dunia ini ia disapa dengan nama kecil karena sikapnya yang hangat terhadap siapa saja. Dia disegani oleh politikus di negaranya meski ia adalah ibu rumah tangga biasa yang hobi melukis dan menguasai tujuh bahasa.
Tarja Kaarina Halonen adalah ibu rumah tangga biasa yang kebetulan presiden Finlandia.
* * *
Kata “ibu rumah tangga biasa” sengaja diulang-ulang agar kita tidak terpeleset dalam tipisnya perbedaan pengertian antara kodrat dan gender. Kodrat perempuan adalah hamil, menyusui dan menstruasi. Sedangkan gender (kata yang menunjukkan konstruksi sosial masyarakat) biasa dipakai untuk menegaskan peran dan posisi perempuan.
Lemah, tidak berdaya atau bertempat di “belakang” biasa dialamatkan kepada perempuan, padahal itu bukan kodrat, melainkan bias gender yang parah. Generasi satu dasawarsa terakhir mungkin sudah mulai melek gender, meski beberapa tingkat generasi di atasnya justru sering risih dan marah jika harus berdiskusi topik sensitif seperti gender. Tapi, “cerita” ini harus disebarkan kemana saja dalam setiap kesempatan sambil sesekali mencuplik inspirasi dari perempuan-perempuan hebat di penjuru dunia. Karena sampai sekarang saya masih percaya, nasib peradaban manusia ada di tangan perempuan. Semoga Anda juga.
Kirim email
Penting Bagi Keluarga
Sujana
Artikel Suami Istri
Artikel Kehamilan
- Biar Hamil, Latihan Jalan Terus!
- Tanda-tanda Lain Kehamilan
- Menghitung Usia Kehamilan
- 7 Benda Wajib Dimiliki Ibu Hamil
- Keguguran? Jangan Pesimis!
- Optimis Atasi Kehamilan Berisiko
- Operasi Caesar: Bersenang-senang Dulu, Bersakit-sakit Kemudian?
- Bahagianya Hamil Berkat Yoga
- Peran Pria dalam Kehamilan
- Pengelolaan Keuangan Keluarga Menyambut Hadirnya si Buah Hati