Oleh ERIYANTI
PAUL Johnson, jurnalis yang juga ahli sejarah Amerika menyebutkan, ada tujuh dosa (seven deadly sins) dari kebebasan dunia televisi, yaitu distorsi informasi, dramatisasi fakta palsu, mengganggu privasi, pembunuhan karakter, eksploitasi seks, meracuni benak pikiran anak-anak, dan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power).
SALAH satu adegan sinetron berbau mistik yang ditayangkan sebuah televisi swasta. Sinetron berbau agama dan mistik, cenderung hanya menakut-nakuti tentang surga dan neraka.
Sementara itu, laporan Unesco menyebutkan, 27% remaja yang dihukum karena tindak kejahatan, terdorong melakukan aksinya setelah menonton aksi serupa dalam televisi. Sedangkan laporan di AS menyebutkan, di antara kejahatan anak-anak yang telah dihukum oleh pengadilan, sebanyak 10% anak laki-laki dan 25 % anak perempuan mengakui, mereka tertarik melakukan tindakan kejahatan akibat tayangan film yang mereka saksikan di televisi.
Hasil riset Globescan & We Media Global Forum tentang kepercayaan masyarakat terhadap jurnalistik dibandingkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah menyebutkan, di Nigeria mencapai 88% versus 43%, di Indonesia 86% versus 71%, di India 82% versus 66%.
Survei lain menyatakan, 49% penjahat yang tertangkap membawa senjata api ilegal, 28% yang melakukan pencurian, 21% yang melarikan diri dari jerat hukum, dan 25% perempuan yang menjadi pekerja seks komersial, semuanya mengaku mendapat inspirasi dari film-film yang mereka tonton dari televisi.
Lalu, bagaimana dengan Indonesia? Apa saja content (isi) yang disuguhkan televisi swasta yang notabene sudah merangsek semua ruang kehidupan? Seberapa jauh tayangan tersebut memengaruhi pola perilaku masyarakat? Padahal literasi sebagian masyarakat Indonesia juga masih sangat rendah.
HASIL pemantauan BTW (BTW)terhadap tayangan acara yang disuguhkan sepuluh TV swasta dan satu TV nasional seperti yang tertuang dalam buku Laporan Ringkas BTW menyebutkan, beberapa materi berita keras (hard news) yang disampaikan cenderung masih memihak dan tidak netral. Ditemukan pula sejumlah tayangan tanpa sensor dengan visualisasi yang dapat mengakibatkan traumatik bila tayangan tersebut ditonton anak-anak.
Sedangkan untuk berita-berita yang bersifat ringan (soft news) ditemukan banyak pelangaran kode etik, seperti tidak layak tayang, vulgar, korban kejahatan yang tidak disensor, pengambilan gambar korban secara close up, reka ulang tindak kejahatan yang tidak etis (seperti reka ulang kasus perkosaan), dan nama pelaku kejahatan tidak disamarkan. Padahal, pelaku belum ditetapkan sebagai terdakwa.
Isi berita juga cenderung makin sadis. Sedangkan jam tayang tidak proporsional (pagi hari) dan segmennya tidak jelas. Akibatnya, memberi inspirasi modus operandi baru untuk tindak kriminal, karena umumnya berita yang disampaikan adalah usaha penangkapan. Tetapi tidak disertai informasi pemberlakuan tindakan hukum perundang-undangan yang semestinya.
Hasil pemantauan terhadap tayangan acara infotaintment menyebutkan, tayangan infotaintment melenceng dari kebutuhan memberikan informasi menjadi memberikan asumsi yang ambigu dan membingungkan. Bukan kebenaran yang disampaikan, tetapi lebih pada pembenaran. Objektivitas juga diragukan, karena terlalu dibuat-buat dan didramatisasi. Tidak ada pemisahan antara profesi dan privasi. Mengangkat hal-hal pribadi ke ruang publik. Tidak ada pencantuman segmentasi batasan umur. Padahal jumlah jam tayang sangat banyak dan disaksikan semua umur.
Hasil pemantauan tadi dilakukan 100 relawan BTW yang terbagi dalam tiga bidang pemantauan, yaitu bidang pendidikan, bidang informasi, dan bidang hiburan. Ketiga bidang ini melakukan uji coba pemantauan terhadap acara-acara yang ditayangkan sepuluh televisi swasta (TransTV, TV7, GlobalTV, Lativi, RCTI, SCTV, Indosiar, MetroTV, ANTV, TPI) dan satu televisi nasional (TVRI). Acara-acara yang dipantau terbagi ke dalam 11 genre, yaitu berita (news), dokumenter, film (meliputi sinetron, seri, dan lepas), kuis, reality show, talk show, musik & tari, olah raga, iklan (meliputi iklan produk, iklan layanan masyarakat, iklan acara/thriller), pengetahuan agama, dan puspa ragam (variety show).
Pemantauan dilakukan dengan menggunakan format pedoman penilaian tayangan televisi. Pedoman ini dibuat 28 orang dari berbagai latar belakang yang berbeda, mulai dari beragam dasar pendidikan, usia, status ekonomi, sosial, sampai pekerjaan. Aspek penilaian meliputi isi, bahasa, gambar, jam tayang, dan usia. Untuk memperoleh nilai hasil pemantauan tersebut diberikan predikat tidak layak tonton (TLT) dengan pembobotan mencapai skor 1, hati-hati (H2) skor 2, dan layak tonton (LT) skor 3.
Uji coba pemantauan dilakukan selama sepekan dari tanggal 4 hingga 10 Mei 2006. Namun, karena keterbatasan waktu, setiap bidang pemantau tidak dapat memantau semua tayangan acara yang ada. Bidang pendidikan memantau enam materi acara, bidang informasi memantau 27 materi acara, dan bidang hiburan memantau 67 acara.
Bidang pendidikan memantau tiga tayangan umum dan tiga tayangan agama. Bidang informasi memantau berita (enam tayangan acara), kriminal (enam tayangan acara), dokumenter (11 tayangan acara), dan talkshow (enam tayangan acara).
Bidang hiburan memantau film kartun (sembilan tayangan acara), film lepas (empat tayangan acara), telenovela (empat tayangan acara), sinetron (18 tayangan acara), reality show (delapan tayangan acara), dan variety show (24 tayangan acara).
Hasil pemantauan tersebut menyatakan, kategori bidang pendidikan berjumlah enam (6 %) dari total 100 (100 %) yang terdiri atas lima aspek penilaian, yaitu isi, bahasa, gambar, jam tayang, dan usia, menghasilkan predikat 100 % layak tonton. Kategori bidang informasi berjumlah 27 (27 %) dari total 100 (100 %) dengan lima aspek penilaian yang sama menghasilkan predikat layak tonton adalah 95 (13 %), hati-hati adalah 14 (7,5 %), dan tidak layak tonton adalah 19 (6,5 %). Kategori bidang hiburan berjumlah 67 (67 %) dari total 100 (100 %), dengan lima aspek penilaian yang sama menghasilkan predikat layak tonton adalah 100 (20 %), hati-hati adalah 114 (22,4 %), dan tidak layak tonton adalah 121 (24,6 %).
Hasil pemantauan bidang hiburan menyebutkan, tayangan film dan sinetron sebagian besar kering dari pesan moral, ”menawarkan” kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), seks bebas di kalangan remaja dengan jam tayang yang tidak sesuai dan kostum yang tidak mendidik. Sinetron berbau agama dan mistik, cenderung hanya menakut-nakuti tentang surga dan neraka.
Khusus untuk pemantauan acara musik dan lagu, sebagian besar lebih menonjolkan goyang dan bentuk tubuh daripada kemahiran olah vokal. Yang lebih parah terjadi pada acara-acara lawak, pada umumnya tayangan lawak mengangkat topik dan cerita-cerita yang berbau seks (pelecehan seks) dan menjadikan perempuan sebagai objek lawakan tersebut.
BERKACA dari hasil pemantauan tersebut, acara-acara televisi di Indonesia, menurut catatan BTW, tidak mengajak masyarakat untuk berpikir dan menambah wawasan pengetahuan, tetapi lebih mengajak masyarakat untuk menghibur diri. Atau seperti disampaikan George Orwell & Neil Postman, ”Menghibur Diri Sampai Mati”. Padahal, televisi seharusnya memiliki tiga fungsi sosial, yaitu sebagai pengawas sosial, korelasi sosial, dan sosialisasi. Sebagai pengawas sosial, merujuk pada upaya penyebarluasan informasi dan interpretasi yang objektif mengenai berbagai peristiwa yang terjadi di dalam dan luar lingkungan sosial dengan tujuan kontrol sosial agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
Dalam kapasitas korelasi sosial, merujuk pada upaya pemberian interpretasi dan informasi yang menghubungkan satu kelompok sosial dengan kelompok sosial lainnya atau antara satu pandangan dengan pandangan yang lainnya agar tercapai konsensus. Sedangkan dalam kapasitas sosialisasi, merujuk pada upaya pewarisan nilai-nilai dari satu generasi ke generasi yang lainnya atau dari kelompok ke kelompok yang lainnya.
Namun, televisi di Indonesia belum seperti itu! Televisi di Indonesia lebih menggiring pemirsa kepada ”penjara” hiburan. Bukan dengan paksaan tetapi atas kemauan sendiri. Kondisi seperti itu tentu saja sangat berbahaya mengingat televisi juga menjadi ”guru” dalam mengubah perilaku seseorang.
Cukup beralasan, jika BTW mengeluarkan rekomendasi untuk ”menyelamatkan” masyarakt dari ”sihir” televisi semacam itu. Rekomendasi tersebut adalah, membentuk lembaga pemantau di daerah-daerah lain di Indonesia, sehingga semangat BTW untuk merepresentasikan suara masyarakat terhadap televisi dapat terbangun. Selain itu, posisi tawar masyarakat sebagai mitra potensial terhadap tayangan TV akan tetap dibutuhkan bukan saja untuk rating tetapi juga untuk ”pencerdasan” pada pengelola televisi.
Rekomendasi lainnya adalah, membuat paket pedoman menonton tayangan televisi dalam bentuk tertulis maupun visual untuk disosialisasikan dan diimplementasikan ke seluruh lapisan masyarakat. Selain itu, juga direkomendasikan kampanye menonton tayangan televisi yang sehat dan cerdas. Sehingga televisi menjadi representasi nurani dan mata hati bagi silent majority yang masih dominan di Indonesia.
BTW juga mendorong optimalisasi fungsi dan peranan TVRI selaku televisi publik. Dengan program acara yang memberi edukasi pada publik dalam kemasan edutainment dan technotainment agar TVRI sebagai stasiun televisi nasional menjadi pilihan utama masyarakat dalam menonton tayangan televisi.***
Eriyanti, wartawan media mingguan